Kasus Bermain tak Terkontrol di SD: Siswi Cedera, Orang Tua tidak Menerima
Pendidikan | 2025-12-11 17:40:11
Kasus kecil di lingkungan sekolah sering kali berawal dari aktivitas yang tampaknya biasa, misalnya ketika siswa bermain bersama di kelas. Bermain pada jam istirahat memang menjadi bagian dari keseharian siswa, terlebih pada jam istirahat di mana mereka bebas berinteraksi, bercanda, dan melakukan kegiatan ringan bersama teman. Namun, pada saat bercanda yang berlebihan dan tidak terkendali dapat berubah menjadi masalah serius, seperti sebuah kejadian yang menimpa dua siswa di salah satu sekolah dasar. Mereka sering bermain bersama dan sering saling berkejaran sambil bercanda bersama temannya. Awalnya pada saat bermain berlangsung seperti biasanya tanpa niat buruk dan hanya bersenang-senang tetapi kali ini situasinya berubah di luar dugaan.
Pada hari itu, siswa laki-laki mengambil topi milik siswa perempuan sebagai bagian dari permainan yang biasa mereka lakukan. Topi tersebut dilemparkan dan dipindahkan dari satu meja ke meja lain. Siswa laki-laki tertawa, menganggap itu hanya main-main, sedangkan siswi ikut bermain tetapi lama-lama merasa kesal karena topinya tidak segera dikembalikan. Mereka tetap melanjutkan bermain kejar-kejaran di dalam kelas. Karena suasananya sedang seru, keduanya berlari dengan cepat tanpa memperhatikan kondisi ruang kelas yang penuh meja serta kursi. Bermain yang awalnya menyenangkan berubah menjadi situasi berbahaya ketika siswi terpeleset dan jatuh cukup keras mengenai sudut meja. Dalam kejadian itu, ia mengalami memar pada beberapa bagian tubuh seperti lengan dan lutut.
Ketika pulang sekolah, orang tua mendapati anaknya pulang dengan memar. Mereka terkejut dan menjadi khawatir, sebab anak mereka sedang berada dalam tanggung jawab sekolah. Setelah siswi menceritakan apa yang terjadi, orang tua merasa khawatir meskipun itu hanya bercanda, tetap tidak seharusnya berakhir dengan cedera. Mereka kemudian mendatangi sekolah dan melaporkan kejadian tersebut kepada guru kelas. Guru kelas menjelaskan bahwa kedua siswa memang sering bermain bersama, dan selama ini tidak pernah terjadi masalah. Namun, kali ini bercandanya berubah menjadi tidak terkendali dan menyebabkan pada fisik siswa.
Orang tua siswa perempuan tersebut merasa perlu adanya penanganan lebih serius, sebab anak mereka mengalami luka meskipun tidak disengaja. Kasus ini kemudian diteruskan ke kepala sekolah untuk diselesaikan secara berkeluarga. Keluarga siswa perempuan yang berprofesi sebagai polisi juga hadir untuk memastikan penyelesaian berjalan baik. Tujuan utama bukan untuk mencari siapa yang paling salah, tetapi bagaimana mencegah hal ini terulang.
Kasus ini berkaitan dengan teori Erik Erikson yaitu perkembangan sosial dan emosional pada peserta didik sekolah dasar. Pada tahap ini anak masih belajar berinteraksi, mengenali batas dalam bercanda, serta mengelola emosi. Siswa laki-laki mengambil topi milik siswi dengan maksud bercanda, namun belum memahami bahwa tindakannya dapat menyinggung dan membuat temannya kesal. Sementara itu, siswi perempuan menunjukkan reaksi emosional karena merasa ketika barang pribadinya diambil tanpa izin.
Selain berkaitan dengan perkembangan sosial emosional menurut teori Erik Erikson, kasus ini juga menjadi pengingat mengenai peran penting guru dalam mengarahkan perilaku siswa di sekolah. Guru tidak hanya mengajar, tetapi turut membimbing anak dalam belajar berempati, menghargai barang milik teman, dan mengendalikan emosi saat bermain. Pengawasan dan pengelolaan kelas yang baik diperlukan agar aktivitas siswa tetap aman dan tidak berujung pada cedera. Langkah konseling, serta pembinaan yang dilakukan sekolah menunjukkan tanggung jawab pendidik dalam menciptakan lingkungan belajar yang nyaman dan mendidik. Melalui kejadian ini, sekolah dan guru dapat menjadikannya sebagai evaluasi untuk memperkuat karakter siswa dan menanamkan pemahaman mengenai batasan dalam berinteraksi.
Setelah musyawarah kedua belah pihak, sekolah mengambil keputusan untuk memindahkan siswa laki-laki ke kelas lain sebagai bentuk pencegahan agar tidak terulang. Keputusan ini bukan untuk memberi hukuman, melainkan demi menciptakan suasana belajar yang kondusif dan menghindari kemungkinan terulangnya kejadian serupa. Kedua siswa dipertemukan untuk saling meminta maaf. Guru memberikan pembinaan agar mereka memahami batas saat bermain, pentingnya menjaga perilaku, dan lebih berhati-hati ketika beraktivitas di lingkungan sekolah. Tidak hanya itu, pihak sekolah juga memberikan pendampingan konseling agar suasana kelas tetap aman dan nyaman bagi semua siswa.
Kasus ini memberikan pelajaran penting bahwa bercanda pada saat bermain dapat berubah menjadi masalah jika tidak dikendalikan. Siswa perlu dibimbing untuk memahami risiko dalam bermain, sementara sekolah harus memastikan lingkungan yang aman. Dengan penanganan yang tepat, sekolah tetap menjadi tempat belajar dan bermain yang menyenangkan bagi semua siswa.
Oleh : Bella Ahdiyanti, Mahasiswa Guru Sekolah Dasar, Universitas Pamulang
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
