Harga Diri di Dunia Kampus
Sastra | 2025-12-11 17:32:45HARGA DIRI DI DUNIA KAMPUS
Nuril muqtadimah*)
Dalam buku “Kamu yang Diremehkan” karya Ardi Darmawan, terdapat sebuah pesan kuat mengenai harga diri dan perjalanan seseorang dalam menemukan kembali pijakan hidupnya. tokoh utama buku ini akhirnya sadar bahwa nilai diri tidak bisa di ambil dari penilaian orang lain, melainkan ada pada diri kita sendiri. Ia bangkit bukan karena orang lain melainkan karena diri sendiri. Nilai ini sangat realitas dengan kehidupan para mahasiswa masa kini, mereka yang hidup dalam lingkungan akademik penuh ekspektasi, persaingan, dan tekanan yang terus berlangsung. Di tempat inilah, harga diri seseorang diuji, ditempa, bahkan kadang dipatahkan sebelum akhirnya dibangun kembali.
Banyak mahasiswa yang memulai perkuliahan mereka dengan penuh semangat, harapan, serta mimpi mimpi besar mereka. Namun seiring waktu, semangat, harapan, dan mimpi itu hancur karena ekspektasi orang tua yang begitu tinggi, tuntutan IPK yang tinggi, dan kecemasan akan masa depan . Misalnya, pada mahasiswa farmasi sendiri, mereka banyak menghadapi kurikulum yang padat, materi sains yang kompleks, praktikum yang memakan waktu berjam-jam, serta tuntutan untuk memiliki ketelitian ekstra tinggi sebagai calon apoteker. Meskipun demikian, mahasiswa dari jurusan lain pun menghadapi tantangan yang tak kalah berat mulai dari tekanan proyek kreatif, tanggung jawab organisasi, hingga persaingan mencapai karier impian. Semua ini turut membentuk, menekan, sekaligus menguji ketahanan mental serta harga diri mereka.
Dalam perjalanan tokoh di buku Ardi, proses menemukan diri bukan terjadi secara instan. Ia harus melewati fase menerima kekurangan, memahami batas, dan menajamkan kekuatan yang sebelumnya tidak ia sadari. Sekilas, proses ini tampak sederhana, tetapi sebenarnya membutuhkan keberanian besar. Hal yang sama juga banyak terjadi pada mahasiswa. Banyak di antara mereka mulai meragukan diri sendiri ketika dihadapkan pada perbandingan sosial yang semakin intens di era teknologi ini, mulai dari melihat teman yang lebih berprestasi, lebih aktif, atau terlihat “lebih sukses” di media sosial. Padahal, apa yang tampak di permukaan belum tentu sama dengan kenyataan. Setiap orang menempuh jalannya dengan ritme dan tantangan masing-masing. Pesan ini tercermin kuat dalam buku Ardi yaitu, bahwa perjalanan personal tidak pernah identik dari satu orang ke orang lain.
Fenomena academic burnout yang semakin banyak terjadi di kalangan mahasiswa adalah contoh nyata bagaimana tekanan akademik dapat memengaruhi harga diri. Burnout bukan hanya tentang tubuh yang kelelahan, tetapi juga perasaan tidak mampu, hilang motivasi, dan meragukan diri sendiri. Mahasiswa yang tadinya percaya diri bisa mendadak merasa tidak cukup baik, tidak cukup cerdas, atau bahkan tidak layak berada di lingkungan akademik tersebut. Pada titik inilah pesan Ardi sangat membantu bagi orang yang merasa diremehkan baik oleh orang lain, keadaan, maupun pikiran diri sendiri bukanlah akhir dari perjalanan. Justru dari titik itu seseorang dapat menemukan kekuatan untuk bangkit.
Jika kita telaah lebih dalam, salah satu akar rendahnya harga diri mahasiswa adalah budaya akademik yang terlalu menonjolkan angka sebagai ukuran keberhasilan. Mulai dari nilai rapor, IPK, jumlah sertifikat, dan capaian formal lainnya, itu semua memang penting, tetapi tidak mampu menangkap keseluruhan kualitas seseorang. Seorang mahasiswa farmasi mungkin memiliki IPK yang tidak mencolok, tetapi sangat unggul dalam komunikasi pasien, keterampilan laboratorium, ataupun kemampuan bekerja dalam tekanan. Begitu juga mahasiswa dari jurusan lain yang mungkin memiliki kreativitas luar biasa, kemampuan memimpin, atau kecakapan sosial yang tinggi. Semua ini adalah kemampuan yang berharga, namun sering kali tidak tercermin dalam angka-angka akademik yang kaku.
Dengan demikian, membangun harga diri berarti memberi ruang bagi diri sendiri untuk menghargai segala proses. Proses belajar, proses gagal, proses bangkit, dan proses memahami diri. Dalam perspektif yang lebih humanis, Ardi mengajak pembaca untuk melihat bahwa pengalaman diremehkan seharusnya bukan menjadi alasan untuk menyerah, tetapi menjadi sumber energi untuk berkembang. Penghargaan terhadap perjuangan pribadi sering kali jauh lebih penting daripada sekadar mengejar hasil akhir.
Lingkungan kampus pun memegang peran besar dalam mendukung tumbuhnya harga diri mahasiswa. Dosen, organisasi mahasiswa, teman sekelas, dan komunitas akademik lainnya dapat menciptakan ruang yang inklusif dan suportif. Ketika mahasiswa merasa didengar, dihargai, dan diterima, mereka akan lebih mudah mengembangkan potensi diri. Kebiasaan berkompetitif dan bersaing pada lingkungan mahasiswa tidak akan mudah dihilangkan. Tetapi setidaknya Ketika mereka di dengar oleh orang disekitarnya dapat memberikan dukungan. Dukungan itulah yang bisa menyebabkan mereka percaya diri.
Pada akhirnya, tulisan ini mengajak para mahasiswa untuk memahami bahwa nilai diri tidak dapat ditentukan oleh seberapa keras dunia meremehkan, melainkan seberapa kuat kita memberi responnya. Kampus bukanlah arena untuk mengalahkan orang lain, tetapi ruang untuk mengasah diri, menemukan arah hidup, dan tumbuh menjadi pribadi yang matang. Ketika kita mampu melihat makna di balik setiap proses yang kita jalani, maka kita tidak hanya menjadi mahasiswa yang berprestasi secara akademik, tetapi juga individu yang kuat, bijaksana, dan percaya akan potensi diri.
*)Nuril muqtadimah
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
