Carut Marut Darurat Bencana Nasional di Sumatera
Info Terkini | 2025-12-11 15:22:21
Sudah lebih dari sepekan sejak tanggal 26-30 November 2025 yang menjadi puncak bencana banjir bandang dan longsor di pulau Sumatera tepatnya 3 provinsi yaitu Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat yang mengakibatkan setidaknya 964 orang meninggal dunia, 262 hilang serta ribuan orang harus mengungsi akibat rumahnya yang rusak bahkan hanyut terbawa arus banjir yang sangat deras. Kondisi alam yang kian lama makin memprihatinkan akibat tindakan illegal logging dan illegal mining di hulu sungai, tidak hanya itu pemberian izin konsesi di kawasan hutan kepada korporasi ini juga membuat kondisi hutan di hulu menjadi gundul dan mudah terkikis yang ditambah cuaca ekstrim dengan curah hujan tinggi mengakibatkan bencana ekologis ini tidak bisa dihindari.
Sudah seharusnya menjadi perhatian kita, melihat bagaimana mudahnya pemerintah memberikan izin konsesi kepada perusahaan-perusahaan ekstraktif untuk melakukan pemanfaatan hutan dengan menebang kayu-kayu yang menjadi payung pelindung dari perbukitan itu sendiri agar tidak mudah terkikis sehingga menyebabkan banjir bandang dan longsor seperti yang terjadi saat ini. Hal ini terjadi akibat pemerintah yang hanya fokus dengan kalkulasi ekonomi yang didapatkan ketika pemberian izin itu terjadi, tapi sangat minim perspektif lingkungan dalam mengambil keputusan tersebut. Padahal dampak lingkungan yang terjadi akibat pemberian izin konsesi tersebut tidak akan pernah sebanding dengan uang yang didapatkan pemerintah apalagi bencana yang terjadi.
Selanjutnya kita tarik ke bencana ekologis yang telah terjadi saat ini pun, saya melihat keengganan pemerintah pusat khususnya Presiden sebagi pihak yang berwenang untuk melakukan penetapan bencana ini sebagai bencana nasional. Padahal telah banyak kepala daerah yang sudah mengatakan bahwa mereka tidak sanggup dalam penanganan bencana ini serta meminta bantuan dari pemerintah pusat maupun luar negeri bahkan meminta DPD RI untuk mendorong pemerintah pusat untuk menetapkan status bencana banjir dan longsor di Sumatera menjadi bencana nasional.
Tidak hanya itu, fungsi pengawasan dan penindakan tegas terhadap kegiatan-kegiatan ekstraktif di kawasan hutan juga menjadi sorotan karena sampai saat ini kegiatan illegal logging maupun illegal mining masih masif dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab dan imbasnya nanti justru masyarakat menjadi korbannya. Namun, sampai saat ini belum terlihat keseriusan pemerintah pusat maupun daerah dalam menangani permasalahan ini, padahal seperti saat sekarang contohnya ketika terjadi bencana ekologis yang sangat besar tidak ada pihak yang mengaku bertanggung jawab akan hal itu.
Tapi seakan-akan sampai saat ini pemerintah pusat masih gengsi untuk menetapkan bencana yang terjadi di 3 provinsi setara pulau jawa tersebut sebagai bencana nasional. Hal ini jika dilihat dari sisi politiknya masih terkait dengan kalkulasi serta gengsi pemerintah pusat khususnya Presiden mengenai akses yang akan terbuka terhadap bantuan-bantuan dari negara luar serta Non-Government Organization (NGO) internasional. Karena dengan penetapan ini juga bisa dinilai sebagai ketidakmampuan pemerintah dalam menangani bencana tersebut dan pastinya satu per satu fakta lapangan kerusakan alam di Indonesia akan terekspos ke media-media internasional.
Apalagi usut punya usut Presiden Prabowo Subianto memiliki kebun sawit yang luas di Aceh dibawah naungan PT. Tusam Hutani Lestari (THL) seluas 97 ribu hektare hutan di Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Utara, dan Bireun. Tidak hanya itu kalau melihat peta yang di share oleh JATAM, akan tampak bahwa kawasan inilah yang memiliki kepadatan konsesi paling tinggi dengan setidaknya 30 izin tambang minerba yang mencakup lebih dari 132 ribu hektare di hulu DAS belum termasuk izin HPH, HTI, dan Perkebunan sawit yang berada berdampingan.
Hal-hal seperti inilah disinyalir menjadi pertimbangan Presiden dalam menetapkan status bencana ini sebagai bencana nasional karena bencana yang terjadi di 3 provinsi tersebut tidak terlepas dari aktivitas deforestasi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan ekstraktif yang salah satu pemiliknya adalah presiden itu sendiri. Tentu hal ini tidak boleh terus menerus dibiarkan walaupun salah satu aktor yang terlibat ialah presiden itu sendiri, mengingat dampak yang dihasilkan sangat besar dan selalu masyarakat yang tidak tahu apa-apa menjadi korbannya.
Oleh karena itu, YLBHI-LBH Padang yang melihat pembiaran dan kelalaian negara dalam pengelolaan lingkungan hidup dengan temuan banyak titik bencana berada di daerah rawan dengan seperti daerah aliran sungai yang mestinya ditumbuhi pohon-pohon tapi dialihfungsikan menjadi pemukiman dan diberikan izin oleh pemerintah. Kemudian, mengingat hal ini tidak bisa dibiarkan terus menerus terjadi, YLBHI-LBH Padang mengajukan gugatan warga negara (Citizen Lawsuit/CLS) terhadap dugaan kelalaian negara dalam mencegah dan menangani bencana ekologis ini.
Ini merupakan langkah lanjutan dari YLBHI-LBH Padang bersama YLBHI-LBH se Sumatera yang sebelumnya telah melakukan seruan publik agar pemerintah menetapkan status bencana nasional tidak kunjung mendapat yang serius oleh pemerintah. Melalui gugatan warga negara ini masyarakat menuntut agar pemerintah mengevaluasi total perizinan yang telah diberikan, hentikan semua praktik yang melanggar tata ruang, tegakkan hukum atas kejahatan lingkungan, lakukan pemulihan ekologis & korban, dan menjamin hak atas lingkungan hidup yang aman & berkelanjutan. Untuk itu, mari kita kawal bersama-sama tuntutan ini karena sudah waktunya warga gugat negara atas pembiaran dan kelalaian yang mengakibatkan banyak nyawa orang tidak bersalah menjadi korban.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
