Perempuan dan Kepemimpinan: Menembus Batas Konservatif Indonesia
Agama | 2025-12-11 14:23:49Isu kesetaraan gender dan peran perempuan dalam kepemimpinan masih menjadi perdebatan hangat di Indonesia, sering kali dibenturkan dengan interpretasi hukum dan nilai-nilai agama. Di tengah tuntutan modernitas dan demokrasi, perjuangan untuk melihat perempuan menduduki posisi puncak setara dengan laki-laki terus menguat, menantang pandangan konservatif yang membatasi ruang gerak mereka. Membahas isu ini dari perspektif hukum dan Islam menjadi penting untuk mengurai mitos dan menegaskan posisi perempuan yang bermartabat.
Perspektif Ahli dan Data Partisipasi Politik Secara hukum dan social
kesetaraan gender diakui sebagai prinsip universal. Menurut data yang dihimpun oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), tingkat keterwakilan perempuan di Parlemen (DPR RI) masih jauh dari target minimal 30%, meskipun ada peningkatan bertahap. Hingga Pemilu terakhir, keterwakilan perempuan di legislatif hanya mencapai sekitar 20,8% (Sumber: KPPPA dan BPS). Profesor Hukum Tata Negara, Prof. Dr. N.H. Tingkat, menegaskan bahwa secara konstitusional tidak ada batasan gender untuk menduduki jabatan publik tertinggi, dan data rendah ini mencerminkan tantangan struktural dan kultural yang harus diatasi.
Implementasi Kuota 30% dan Pemilu
Contoh kasus nyata terlihat dalam pelaksanaan Kuota 30% bagi calon legislatif perempuan, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Meskipun UU ini mewajibkan setiap partai mencantumkan minimal 30% calon perempuan, implementasinya di lapangan kerap terhambat oleh minimnya dukungan internal partai dan pandangan masyarakat yang masih meragukan kapabilitas kepemimpinan perempuan. Dalam banyak Pemilu, partai politik kesulitan memenuhi kuota ini dengan calon yang berkualitas, dan pada akhirnya, jumlah perempuan terpilih tetap rendah, menunjukkan bahwa peraturan afirmatif saja tidak cukup tanpa diikuti perubahan kultur politik.
Pro Kontra Kepemimpinan Perempuan dalam Hukum dan Islam
Perdebatan mengenai kepemimpinan perempuan selalu memuat argumen pro dan kontra yang berasal dari interpretasi hukum positif maupun tafsir keagamaan.
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan..." Inti pasal ini memuat prinsip persamaan hak (equality before the law), yang secara tegas meniadakan diskriminasi berbasis gender dalam segala aspek kehidupan, termasuk politik dan kepemimpinan.
Argumen kontra umumnya bersandar pada tafsir tekstual hadis tertentu. Namun, ulama kontemporer seperti Prof. Dr. Musdah Mulia berpendapat bahwa secara substantif, Al-Qur'an justru menjunjung tinggi keadilan. Inti dari tafsir keadilan gender dalam Islam adalah al-Qawwâmah (kepemimpinan) tidak bersifat absolut milik laki-laki, melainkan merujuk pada tanggung jawab dan kualitas kepemimpinan, yang dapat diemban oleh siapa pun yang memenuhi syarat, baik laki-laki maupun perempuan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
