Tiga Pemikir Besar Utsmaniyah yang Warisannya Masih Relevan untuk Indonesia
Agama | 2025-12-11 08:31:35
Kesultanan Utsmaniyah sering dikenang sebagai kekuatan politik dan militer yang luas, tetapi ada satu warisan lain yang tidak kalah penting: gagasan moral, sosial, dan ekonomi yang dibangun oleh para ulama serta intelektualnya. Warisan intelektual inilah yang membentuk karakter masyarakat mereka dan memberikan arah yang jelas bagi pembangunan negara. Menariknya, nilai-nilai yang mereka rumuskan pada masa lampau justru terasa semakin relevan di zaman modern, termasuk bagi Indonesia.
Pada abad ke-16, muncul sosok Kınalızade Ali Çelebi, seorang ulama yang memandang moralitas sebagai fondasi terbesar sebuah negara. Ia melihat bahwa kondisi individu, keluarga, dan pemerintahan adalah tiga hal yang saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan. Bagi Kınalızade, negara tidak mungkin stabil jika masyarakatnya kehilangan etika, sementara pemimpin pun tidak akan berhasil tanpa menegakkan keadilan. Ia menekankan bahwa kegiatan ekonomi juga harus berlandaskan kejujuran dan kemaslahatan, bukan sekadar mengejar keuntungan. Pemikiran ini menjadi pengingat bahwa pembangunan yang memerlukan integritas moral, bukan hanya kekuatan ekonomi atau kebijakan modern yang sejati.
Memasuki abad ke-19, tantangan Utsmaniyah semakin besar karena pengaruh modernisasi yang datang dari Eropa. Pada masa inilah Mustafa Nuri Bey tampil sebagai tokoh yang mencoba menyeimbangkan tradisi dan tuntutan zaman. Ia memahami bahwa birokrasi yang kuat bukan hanya soal aturan, tetapi juga soal karakter orang yang menjalankannya. Menurutnya, teknologi atau sistem baru tidak akan berfungsi optimal jika mentalitas para pejabatnya tetap lemah. Reformasi, bagi Nuri Bey, harus dimulai dari pendidikan, pembentukan nilai, serta penanaman rasa tanggung jawab publik. Gagasannya sangat mirip dengan kondisi Indonesia saat ini, di mana digitalisasi terus berkembang, namun masalah korupsi dan korupsi masih menjadi tantangan yang harus diperbaiki melalui perubahan mentalitas.
Di masa akhir kekuasaannya, lahirlah tokoh lain bernama Mehmed Akif Ersoy. Ia melihat langsung bagaimana kemerosotan moral dan hilangnya semangat kerja termasuk bangsanya. Melalui karya dan kritiknya, ia menekankan bahwa sebuah bangsa tidak mungkin bangkit tanpa etos kerja yang kuat, jujur, dan disiplin. Ia menolak gaya hidup instan dan konsumtif yang menurutnya menjadi akar referensi umat. Bagi Ersoy, bekerja keras bukan hanya kewajiban sosial, tetapi juga bentuk ibadah. Pesannya terasa sangat relevan dengan kenyataan saat ini, terutama ketika banyak orang terjebak pada kecepatan teknologi namun kehilangan ketekunan.
Tiga tokoh ini hidup pada masa yang berbeda, tetapi gagasan mereka memiliki benang merah yang sama. Kınalızade mengingatkan pentingnya moralitas; Nuri Bey menegaskan perlunya reformasi yang berbasis nilai; sementara Ersoy mengajak umat untuk membangun kembali semangat kerja yang kuat. Jika disatukan, ketiganya memberikan pelajaran besar bagi Indonesia. Negara tidak akan kuat tanpa karakter masyarakat yang jujur. Reformasi birokrasi hanya akan berhasil jika dijalankan oleh aparat yang berintegritas. Dan kemajuan ekonomi tidak mungkin dicapai tanpa kerja keras dan disiplin kolektif.
Meskipun Kesultanan Utsmaniyah telah lama runtuh, pemikiran para intelektualnya tetap hidup dan relevan hingga hari ini. Nilai-nilai tentang keadilan, etos kerja, dan moralitas bukan hanya menjadi bagian dari sejarah, tetapi dapat menjadi pedoman penting dalam membangun bangsa yang lebih beradab dan berkeadilan. Warisan ini mengingatkan kita bahwa pembangunan sejati selalu dimulai dari manusia—dari sikap, etika, dan tanggung jawab yang kita tanamkan di dalam diri dan masyarakat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
