Jeda Adalah Nafas: Menghargai Diri di Tengah Dunia yang Bergegas
Eduaksi | 2025-12-10 18:37:12Ada satu kebiasaan yang diam-diam kita warisi: mengukur harga diri dari seberapa sibuk kita terlihat. Dalam ruang kelas, ruang kerja, bahkan ruang digital, sibuk telah menjadi simbol status. Seolah-olah semakin padat jadwalmu, semakin tinggi nilaimu sebagai manusia.
Namun, di balik layar penuh notifikasi dan kalender yang tak menyisakan ruang bernapas, ada tubuh yang lelah dan pikiran yang mulai kehilangan arah. Kita hidup dalam budaya yang menjadikan kelelahan sebagai mata uang sosial. Tapi apakah benar, nilai kita hanya setara dengan produktivitas kita?
Saya percaya tidak.
Produktivitas memang penting. Tapi ketika ia menjadi satu-satunya lensa untuk melihat diri, kita kehilangan banyak hal: rasa cukup, rasa hadir, bahkan rasa hidup. Kita mulai merasa bersalah saat beristirahat, seolah jeda adalah dosa. Padahal, justru dalam jeda itulah kita bisa mendengar diri sendiri.
Ada perbedaan besar antara bekerja keras dan mengorbankan diri. Yang pertama lahir dari semangat, yang kedua dari tekanan. Dan sering kali, tekanan itu datang bukan dari luar, tapi dari dalam—dari suara kecil yang berkata, “Kalau kamu tidak sibuk, kamu tidak berarti.”
Saya menolak suara itu.
Sebagai mahasiswa pascasarjana, saya tahu bagaimana rasanya tenggelam dalam tuntutan. Tapi saya juga belajar bahwa menjaga kewarasan bukanlah kemewahan, melainkan kebutuhan. Istirahat bukan bentuk kemalasan, melainkan bentuk perlawanan terhadap sistem yang lupa bahwa kita manusia.
Kita perlu mendefinisikan ulang arti keberhasilan. Bukan hanya soal berapa banyak yang kita capai, tapi juga bagaimana kita mencapainya. Apakah dengan tetap utuh? Apakah dengan tetap bisa tersenyum, bukan hanya di foto kelulusan, tapi juga di tengah prosesnya?
Saya membayangkan dunia akademik dan profesional yang lebih manusiawi. Di mana keberhasilan tidak hanya diukur dari angka, tapi juga dari keberlanjutan. Di mana kita tidak hanya ditanya “apa yang kamu hasilkan?”, tapi juga “apa yang kamu rasakan?”
Karena pada akhirnya, kita bukan mesin. Kita tidak diciptakan untuk terus bergerak tanpa henti. Kita butuh ruang untuk bernapas, untuk merasa, untuk menjadi. Dan itu bukan kelemahan. Itu adalah kekuatan yang paling manusiawi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
