Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muliadi Saleh

Retakan Relasi Manusia dan Alam: Renungan dari Sumatera

Khazanah | 2025-12-10 09:50:01

Penulis: Muliadi Saleh — Arsitek Ekologi Sosial

Sumatera tidak tiba-tiba menjadi negeri bencana. Banjir bandang, longsor, sungai yang berubah menjadi monster air, dan hilangnya kampung-kampung dalam semalam bukanlah peristiwa acak. Ia adalah rangkaian panjang dari keputusan-keputusan manusia yang memutus hubungan harmonis antara ruang hidup, alam, dan etika sosial. Bencana di Sumatera adalah tanda retak peradaban—retak yang makin hari makin melebar.

Dalam perspektif arsitektur ekologi sosial, alam bukan sekadar latar tempat manusia hidup, melainkan sistem hidup yang saling terhubung. Ketika satu elemen rusak, seluruh sistem merespons. Hutan Sumatera yang ditebang tanpa jeda pemulihan, rawa yang ditimbun atas nama pertumbuhan ekonomi, sungai yang disempitkan demi kawasan komersial, dan lereng yang dipaksa menampung bangunan—semuanya adalah intervensi kasar terhadap struktur ekologis pulau ini.

Hakekat persoalan Sumatera adalah kegagalan membaca ruang secara utuh. Tata ruang diperlakukan sebagai peta administratif, bukan sebagai organisme hidup. Padahal, hutan adalah atap air, sungai adalah nadi, rawa adalah paru-paru, dan tanah adalah memori alam. Ketika hutan hilang, air kehilangan penahan. Ketika rawa dikeringkan, banjir kehilangan ruang istirahat. Ketika sungai dikurung beton, luapan mencari jalannya sendiri—dan selalu menemukannya di rumah manusia.

Penyebabnya bukan alam. Alam hanya menjalankan hukumnya. Penyebabnya adalah keserakahan yang dilegalkan: perizinan yang mengabaikan daya dukung, pembangunan yang mendahulukan keuntungan jangka pendek, dan kebijakan yang memisahkan ekonomi dari etika ekologi. Pelaku perusakan bukan satu wajah. Ia adalah sistem: gabungan kepentingan modal, kelalaian pengawasan, kompromi kebijakan, dan budaya konsumsi yang tidak pernah merasa cukup.

Namun yang paling menderita justru mereka yang paling sedikit mengambil manfaat. Masyarakat desa di hilir sungai, petani di kaki bukit, anak-anak yang kehilangan sekolah, dan keluarga yang kehilangan rumah adalah korban berlapis dari kerusakan yang mereka tidak rancang. Inilah ironi ekologis terbesar Sumatera: yang memanen laba sering jauh dari lokasi bencana, sementara yang menanggung akibatnya tinggal di zona risiko.

Dampak bencana tidak berhenti pada kerugian fisik. Ia melukai struktur sosial. Ketika rumah hilang, rasa aman ikut runtuh. Ketika ladang rusak, masa depan menjadi kabur. Ketika sekolah terendam, generasi baru kehilangan waktu emasnya. Bencana ekologis selalu berubah menjadi krisis sosial, ekonomi, bahkan kultural. Ia memutus ingatan kolektif, memindahkan manusia dari ruang hidupnya, dan memaksa mereka beradaptasi dalam kondisi yang tidak pernah mereka pilih.

Sebagai arsitek ekologi sosial, saya melihat bahwa yang runtuh bukan hanya bangunan, tetapi cara kita merancang hidup. Kita membangun melawan kontur, bukan bersahabat dengannya. Kita mendirikan kota tanpa memberi ruang pada air. Kita menamai semua itu “kemajuan”, padahal sesungguhnya sedang menggadaikan keselamatan generasi mendatang.

Sikap kita hari ini akan menentukan wajah Sumatera esok hari. Jika bencana hanya direspon dengan bantuan darurat tanpa perubahan tata kelola, maka kita hanya menunda tragedi berikutnya. Jika pembangunan tetap menyingkirkan kearifan lokal dan ilmu ekologi, maka longsor dan banjir akan menjadi siklus tahunan yang dinormalisasi. Alam tidak pernah lupa. Ia mencatat setiap luka, lalu membalasnya dalam bahasa yang paling kita pahami: krisis.

Masa depan Sumatera menuntut keberanian moral untuk berubah. Perubahan cara membangun, cara memetakan ruang, dan cara memandang kepentingan sektoral. Hutan harus dipulihkan sebagai sistem air, bukan hanya kawasan konservasi di atas kertas. Sungai harus diberi ruang untuk bernapas. Kota dan desa harus dirancang sebagai bagian dari ekosistem, bukan penakluknya.

Bagi generasi mendatang, Sumatera akan menjadi warisan—entah warisan bencana atau warisan kebijaksanaan. Mereka akan bertanya: apakah pendahulunya belajar dari rangkaian kesalahan ini? Ataukah memilih lupa demi kenyamanan sesaat?

Alam Sumatera masih memberi kita waktu. Ia masih mengirim peringatan, bukan vonis akhir. Pertanyaannya bukan lagi seberapa besar bencana berikutnya, tetapi seberapa cepat kita berani mengubah arah. Karena pada akhirnya, keselamatan manusia dan kelestarian alam bukan dua pilihan yang berlawanan. Keduanya adalah satu kesatuan. Merusak yang satu, berarti mengorbankan yang lain. Dan menjaga alam, sesungguhnya adalah upaya paling rasional untuk menjaga masa depan manusia itu sendiri. Masa depan nusantara, masa depan kita semua.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image