Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Putri Wulandari

Revolusi Digital: Membangun Ekosistem Anti-Kekerasan Gender Online

Agama | 2025-12-09 22:57:22
Ilustrasi gambar

Setiap tahun, kita memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Namun peringatan ini sering terasa seperti gema di ruangan kosong, lantang tetapi tidak mengguncang struktur yang menyebabkan kekerasan itu sendiri. Didukung dengan kemajuan teknologi digital yang semakin canggih, menyebabkan semakin kompleks pula bentuk kekerasan yang lahir darinya. Kekerasan Gender Berbasis Online (KBGO) menyebabkan korban mengalami trauma, kecemasan berlebih, penurunan prestasi akademik, kehilangan pekerjaan, isolasi sosial, bahkan percobaan bunuh diri.

Statistik yang dirilis Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) memberikan gambaran mencolok mengenai skala masalah tersebut, KBGO meningkat hampir 300%, dan kasus penyebaran konten intim tanpa persetujuan melonjak sekitar 400%. Menurut laporan tahunan Komnas Perempuan 2024, total kasus kekerasan terhadap perempuan tercatat sebanyak 445.502 kasus, naik sekitar 9,77% dibanding tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut, kekerasan berbasis gender terhadap perempuan (KBGtP) mencapai 330.097 kasus, meningkat 14,17% dari 289.111 kasus sebelumnya.

Lebih spesifik pada ranah digital pada tahun 2024, Komnas Perempuan menerima 1.791 laporan kasus KBGO di ranah siber (online), jumlah ini meningkat 40,8% dibanding 2023. Dari data internal Komnas, dari total kasus tersebut, 54,77% yaitu 981 kasus, terjadi di ranah publik seperti teman media sosial, orang tidak dikenal, rekan kerja, dan lain-lain, sedangkan 45,23% atau 810 kasus terjadi di ranah personal seperti mantan pacar, pacar, dan suami atau keluarga.

Realita tersebut menunjukkan bahwa perempuan masih kerap menghadapi komentar seksis, pelecehan verbal, catcalling, hingga perlakuan merendahkan yang dianggap biasa sehingga dibiarkan. Normalisasi inilah yang membuat budaya kekerasan sulit dihentikan. Teknologi yang diharapkan menghadirkan kemudahan justru melahirkan bentuk kekerasan baru, seperti penyebaran foto tanpa izin, doxing, body shaming, ancaman melalui pesan pribadi, stalking, bahkan rekayasa visual seperti deepfake porn. Banyak korban enggan melapor karena takut disalahkan, tidak dipercaya, atau dianggap membuka aib sendiri.

Salah satu persoalan terbesar adalah narasi publik yang keliru. Opini umum sering terjebak pada anggapan bahwa perempuan harus lebih berhati-hati, seolah-olah merekalah penyebab kekerasan itu terjadi. Padahal hal tersebut terletak pada sistem, masyarakat yang masih menyalahkan korban, institusi yang menutupi kasus demi reputasi, platform digital yang lamban merespons, serta negara yang belum mempersiapkan aparatnya untuk menangani bukti digital dan dinamika KBGO. Pelaku merasa aman karena sistem membiarkan mereka aman.

Menuju Ruang Aman: Enam Solusi yang Harus Dilakukan

Gerakan mengembalikan ruang aman tidak bisa berhenti pada edukasi atau poster kampanye. Permasalahan ini membutuhkan rekonstruksi sosial, intervensi kebijakan, dan transformasi budaya. Berikut enam solusi yang dapat dikembangkan secara mendalam.

1. Transformasi Cara Pandang Publik: Dari Menghakimi Korban menjadi Mengoreksi Pelaku

Kesalahan terbesar masyarakat adalah melihat kasus KBGO dari perspektif moral, bukan perspektif kejahatan. Akibatnya, korban sering dianggap bersalah, sementara pelaku terlindungi oleh narasi “hanya bercanda”, “laki-laki wajar begitu”, atau “korban harusnya menjaga diri”. Transformasi cara pandang harus melibatkan penolakan total terhadap victim blaming, pemahaman bahwa tubuh perempuan bukan objek publik, dan pengakuan bahwa KBGO adalah kekerasan, bukan kesalahan etika. Mata rantai yang harus diputus adalah pemahaman bahwa jika korban disalahkan, maka pelaku akan semakin kuat dan banyak.

2. Menghentikan Budaya Diam: Aksi Kolektif Masyarakat

Budaya diam merupakan wujud mendukung pelaku. Karena itu, masyarakat harus berani menegur candaan seksis, menghentikan perilaku pelecehan di lingkaran pertemanan, melaporkan akun pelaku, menyebarkan informasi layanan bantuan, dan menciptakan ruang digital yang mendukung keberanian korban. Tanpa aksi publik, gerakan anti-kekerasan tidak akan memiliki daya.

3. Reformasi Institusi: SOP KBGO di Kampus, Sekolah, dan Tempat Kerja

Institusi adalah aktor penting dalam memastikan perlindungan. Namun banyak institusi masih minim SOP, atau memiliki SOP tetapi tidak pernah dijalankan. SOP harus mencakup mekanisme pelaporan yang aman dan rahasia, unit pendampingan berbasis perspektif gender, sanksi administratif dan etik yang jelas, perlindungan terhadap pelapor dan saksi, larangan pembungkaman kasus atas nama nama baik institusi. Institusi harus berhenti bersikap defensif. Menutupi kekerasan tidak membangun nama baik, ia justru mempermalukan institusi secara moral.

4. Literasi Digital Berbasis Gender: Pendidikan yang Tidak Bisa Ditawar

Literasi digital bukan sekadar kemampuan menggunakan gawai, melainkan kemampuan memahami konsekuensi etik, legal, dan sosial dari aktivitas digital. Program literasi harus mencakup pemahaman mengenai consent digital, pencegahan dan deteksi sextortion, edukasi bahaya deepfake dan manipulasi visual, penguatan kontrol keamanan akun, pengenalan UU TPKS dan sanksi hukum KBGO. Literasi digital berbasis gender harus menjadi kurikulum wajib, bukan materi tambahan. Tanpa itu, generasi muda akan terus menjadi korban budaya digital yang misoginis.

5. Tanggung Jawab Platform Digital: Akhiri Netralitas yang Merugikan Korban

Platform media sosial memiliki kekuatan yang sangat besar dalam membentuk keamanan digital. Namun selama ini, banyak platform bersikap netral atas nama kebebasan pengguna, padahal netralitas dalam konteks kekerasan gender berarti memihak pada pelaku. Sehingga platform harus mempercepat respons laporan, memanfaatkan algoritma untuk mendeteksi konten berbahaya, memblokir pelaku yang berulang, menyediakan fitur keamanan berbasis gender seperti anti-screenshot ataupun filter pelecehan, transparan dalam laporan tahunan mengenai kekerasan online. Keamanan pengguna perempuan tidak boleh menjadi prioritas opsional, ia harus menjadi standar etis platform.

6. Penegakan Hukum yang Tegas dan Responsif

UU TPKS memberi dasar hukum yang kuat, tetapi implementasi masih tertahan oleh minimnya kapasitas aparat, budaya patriarki dalam proses hukum, sulitnya pengumpulan bukti digital, dan platform internasional yang tidak responsif. Sehingga negara harus melakukan pelatihan khusus bagi aparat terkait bukti digital, pembentukan unit siber berbasis gender, pemutusan akses cepat terhadap konten ilegal, kerja sama transnasional untuk menangani kasus lintas platform. Penegakan hukum yang tegas bukan sekadar memberi efek jera, tetapi memulihkan kepercayaan perempuan terhadap negara.

7. Pelibatan Laki-Laki sebagai Transformator Sosial

Gerakan perempuan tidak akan berhasil tanpa melibatkan laki-laki. Bukan karena perempuan lemah, tetapi karena laki-laki adalah bagian dari struktur sosial yang selama ini menciptakan dan mempertahankan ketimpangan. Pelibatan laki-laki dapat dilakukan melalui pendidikan tentang maskulinitas sehat, kampanye anti-kekerasan yang memfokuskan pada pelaku, pembentukan komunitas laki-laki peduli KBGO, juga peran aktif laki-laki menegur teman laki-laki dan menghentikan perilaku berbahaya di lingkarannya. Laki-laki tidak boleh hanya menjadi sekutu pasif. Mereka harus menjadi aktor transformasi sosial.

Ruang Aman sebagai Hak, Bukan Kemewahan

Melihat skala dan pola kekerasan berbasis gender online saat ini, jelas bahwa kita tidak sedang menghadapi persoalan yang berdiri sendiri, tetapi sebuah kegagalan kolektif. Gagalnya masyarakat yang terus merawat budaya menyalahkan korban. Gagalnya institusi yang lebih peduli pada reputasi daripada keselamatan warganya. Gagalnya negara yang belum mampu memastikan aparatnya bekerja dengan pengetahuan digital yang memadai. Dan gagalnya platform digital yang selama ini berlindung di balik jargon kebebasan berekspresi, sementara perempuan terus menjadi korban dalam sistem yang mereka ciptakan.

Kita tidak bisa lagi menormalisasi kekerasan sebagai risiko yang harus ditanggung perempuan ketika hadir di ruang publik maupun ruang digital. Selama narasi publik tetap mengawetkan anggapan bahwa perempuan harus “lebih hati-hati”, maka kekerasan akan terus berulang, dan pelaku akan terus merasa bahwa dunia, baik offline maupun online ada di pihak mereka. Tidak ada perubahan yang mungkin terjadi jika masyarakat masih takut menegur, institusi masih menutup-nutupi, dan negara masih bergerak lambat.

Ruang aman harus diperjuangkan, disuarakan, dan dipertahankan. Kita membutuhkan masyarakat yang berani mengoreksi dirinya, institusi yang tidak kompromi terhadap kekerasan, hukum yang bekerja tanpa bias, platform digital yang bertanggung jawab, serta laki-laki yang siap meninggalkan privilese yang selama ini membungkam kemajuan. Sebab pada akhirnya, ukuran paling jujur dari peradaban sebuah bangsa bukan terletak pada tingginya teknologi, pesatnya pertumbuhan ekonomi, atau gemerlapnya ruang digital, melainkan pada sejauh mana perempuan dapat hidup tanpa takut menjadi sasaran kekerasan. Jika ruang itu belum tercipta, maka kita belum bisa menyebut diri kita sebagai masyarakat yang adil, apalagi maju.

Penulis: Putri Wulandari

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image