Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fadhil Ammars

Bagaimana Interaksi Sosial Membentuk Identitas Mahasiswa Baru di Kampus

Eduaksi | 2025-12-09 20:00:50

Interaksi Sosial di Lingkungan Kampus

Kampus adalah ekosistem sosial yang dinamis, di mana para mahasiswa baru pertama kali berinteraksi dengan individu dari berbagai daerah, budaya, dan latar belakang. Menurut teori teater sosial Erving Goffman, kampus seperti panggung di mana mahasiswa memainkan peran untuk mendapatkan penerimaan. Misalnya, selama PKKMB atau Pengenalan Kampus Kepada Mahasiswa Baru, mahasiswa baru sering terlibat dalam kelompok kecil untuk berdiskusi, dan bermain game selama menjalani masa orientasi tersebut. Mengawali itu semua, interaksi biasanya dimulai dengan perkenalan sederhana, seperti bertukar nama dan asal daerah, yang kemudian berkembang menjadi pembentukan ikatan emosional.

Interaksi sosial yang berkualitas dianggap sebagai fondasi penting dalam pengembangan kehidupan akademis dan sosial mahasiswa. Dalam lingkungan perguruan tinggi yang ideal, mahasiswa diharapkan dapat membangun relasi yang mendukung pertumbuhan intelektual dan kesejahteraan emosional mereka. Interaksi antar mahasiswa yang positif diharapkan dapat menstimulasi pertukaran ide, meningkatkan keterampilan komunikasi, dan memperkuat rasa empati dan Kerjasama, serta memberikan rasa aman dalam kesepian bagi beberapa individu.

Pembentukan Identitas Melalui Interaksi

Interaksi sosial di lingkungan kampus memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan karakter mahasiswa. Melalui hubungan dengan teman sebaya, dosen, serta aktivitas organisasi dan kegiatan sosial, mahasiswa belajar berbagai nilai-nilai sosial seperti empati, toleransi, kerjasama, serta kemampuan untuk mengelola konflik. Lingkungan kampus juga menjadi arena bagi pengembangan keterampilan komunikasi, kepemimpinan, dan pengambilan keputusan yang sangat penting untuk perkembangan pribadi dan profesional mahasiswa di masa depan.

Interaksi sosial membentuk identitas dengan cara yang bertahap. Mead menggambarkan proses ini sebagai "self" yang terdiri dari "I" (diri spontan) dan "me" (diri yang dilihat orang lain). Di kampus, mahasiswa baru sering mengadopsi identitas baru berdasarkan feedback dari teman. Misalnya, mahasiswa dari desa mungkin belajar norma urban, seperti menggunakan bahasa gaul atau bergabung dengan organisasi mahasiswa, untuk menghindari penolakan.

Maka dari itu, keluarga, teman, dan lingkungan perkuliahan memberikan dampak signifikan terhadap pembentukan karakter, di mana interaksi sehari-hari berperan dalam membentuk pola pikir, sikap, dan perilaku yang mencerminkan nilai-nilai moral, etika, dan tanggung jawab sosial. Oleh karena itu, pemanfaatan interaksi sosial di kampus harus dijalankan secara optimal untuk mendukung perkembangan karakter mahasiswa yang matang, adaptif, dan siap menghadapi tantangan global.

Perspektif sosiologi juga menyoroti peran kelompok referensi. Mahasiswa baru sering bergabung dengan kelompok seperti unit kegiatan mahasiswa (UKM) atau komunitas online, yang membentuk identitas kolektif. Goffman menjelaskan ini sebagai "front stage" (peran publik) versus "back stage" (diri pribadi). Di kampus, mahasiswa mungkin tampil sebagai "aktivis" di depan teman, tapi merasa berbeda di rumah.

Tantangan dan Implikasi

Meski interaksi sosial membawa manfaat, ia juga menimbulkan tantangan. Konflik budaya, seperti perbedaan norma antara para Mahasiswa. Lingkungan perguruan tinggi yang sering menjadi tempat bertemunya mahasiswa dari berbagai latar belakang budaya, etnis, dan daerah yang berbeda, dengan keragaman ini, meskipun memperkaya pengalaman belajar, juga dapat menciptakan tantangan dalam komunikasi dan interaksi sosial. Perbedaan dialek, aksen, dan penggunaan istilah lokal dapat menyebabkan kesalahpahaman atau kesulitan dalam berkomunikasi. Mahasiswa mungkin merasa tidak yakin bagaimana harus menyesuaikan gaya bicara mereka atau takut membuat kesalahan yang bisa menyinggung orang lain. Selain itu, norma dan nilai budaya yang berbeda juga dapat mempengaruhi cara mahasiswa berinteraksi. Misalnya, apa yang dianggap sopan dalam satu budaya mungkin dianggap kasar atau tidak pantas dalam budaya lain. Hal ini dapat menyebabkan kecanggungan atau bahkan konflik dalam interaksi sosial .

Meski tantangan ada, interaksi ini pada akhirnya membangun resiliensi dan koneksi sosial. Mahasiswa baru dianjurkan untuk terbuka terhadap interaksi, sementara kampus harus memfasilitasi ruang yang aman. Dengan memahami proses ini, kita bisa lebih menghargai peran sosial dalam pendidikan tinggi. Bukan hanya itu, kampus juga perlu menciptakan lingkungan inklusif untuk mendukung pembentukan identitas positif. Dari sudut pandang sosiologi, ini bisa mencegah anomie (kehilangan norma sosial), seperti yang dialami mahasiswa yang gagal beradaptasi..

Kesimpulan

Interaksi sosial di kampus adalah kekuatan utama dalam membentuk identitas mahasiswa baru, melalui proses seperti yang dijelaskan teori Mead dan Goffman. Dari perkenalan awal hingga partisipasi kelompok, mahasiswa belajar norma baru yang mengubah pandangan diri mereka. Interaksi sosial yang efektif juga diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam menghadapi tantangan psikologis yang sering muncul selama masa studi. Dengan adanya dukungan sosial yang kuat, mahasiswa diharapkan dapat mengatasi stres akademik, meningkatkan kesehatan mental, dan pada akhirnya mencapai keberhasilan akademis serta kepuasan pribadi.

Kampus yang diharapkan dapat menjadi tempat yang aman bagi mahasiswa untuk mengeksplorasi identitas dan menemukan komunitas yang mendukung. Dengan itu semua, interaksi sosial dapat membantu mahasiswa membentuk karakternya melalui pengembangan empati, kepedulian, dan keterampilan sosial. Interaksi sosial juga dapat membantu mahasiswa memahami makna berkontribusi untuk masyarakat.

Cara interaksi sosial membentuk karakter mahasiswa adalah dengan mahasiswa memulai berinteraksi dengan teman-teman yang memiliki latar belakang berbeda. Hal ini dapat membantu mahasiswa mengembangkan empati dan kepedulian. Mahasiswa dapat terlibat dalam kegiatan sosial, seperti pengabdian masyarakat, aksi kemanusiaan, atau bantuan bagi korban bencana. Mahasiswa dapat menyumbangkan waktu dan tenaga bagi pihak lain dalam masyarakat. Mahasiswa dapat memperkuat rasa solidaritas dan kebersamaan, serta membentuk ikatan emosional yang kuat dengan universitas dan teman-teman seperjuangannya.

Daftar Pustaka

  1. Mead, G. H. (1934). Mind, Self, and Society. University of Chicago Press. (Teori interaksi simbolik sebagai dasar analisis.)
  2. Goffman, E. (1959). The Presentation of Self in Everyday Life. Doubleday. (Konsep teater sosial untuk interaksi kampus.)
  3. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. (2023). Statistik Pendidikan Tinggi. Diakses dari https://www.kemdikbud.go.id. (Data umum mahasiswa baru.)
  4. Artikel Kompas: "Generasi Z di Kampus: Antara Sosialisasi dan Identitas Digital" (2022). Diakses dari https://www.kompas.com. (Contoh tren mahasiswa.)
  5. Salimatul Islamiyah1 , Annisa Nurul Fadilah2 , Yusra Faizah3 , Arlina Arlina4. (2024). Memahami Interaksi Sosial Mahasiswa di Perguruan Tinggi: Studi Kasus di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sumatera Utara.
  6. Suci Nur Anggraini1, Cita Arlini2, Gilbran Akbar3 , Eva Iryani4,Helty Asfari5. (2025). INTERAKSI SOSIAL DALAM MEMBENTUK KARAKTER MAHASISWA

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image