Bahasa yang Disalahgunakan: Hoaks dan Ujaran Kebencian di Era Digital
Eduaksi | 2025-12-09 18:53:51
Bahasa merupakan instrumen yang amat familier di dalam kehidupan kita. Setiap hari, kita merasakan manfaat dari penggunaan bahasa, seperti saat membaca berita di internet, mendengarkan musik di radio, dan berkomunikasi dengan banyak orang, baik secara luring maupun daring. Namun, di era derasnya arus informasi, layaknya pedang bermata dua, bahasa justru bisa berubah menjadi ancaman. Dua ancaman terbesar masa kini yang muncul dari penyalahgunaan bahasa adalah berita hoaks dan ujaran kebencian. Meski berbeda, kedua hal tersebut berkaitan erat.
Apa itu hoaks?
Menurut KBBI, hoaks memiliki arti berita bohong. Adapun pengertian hoaks menurut Septiaji (2020), yaitu informasi yang direkayasa untuk mengaburkan kebenaran. Pada dasarnya, hoaks merupakan berita bohong atau informasi palsu yang sengaja dibuat dan disebarluaskan untuk menipu, memperdaya, atau memanipulasi banyak orang.
Di dunia digital, hoaks dapat muncul dalam berbagai bentuk. Ada yang menyerupai berita resmi, potongan video yang dipelintir, bahkan pesan berantai, seperti teks “Sebarkan ke 20 orang agar orang tuamu selamat!” yang disebarluaskan di grup WhatsApp. Beberapa jenis hoaks yang mudah kita jumpai, antara lain:
- Satire atau parodi, yaitu hoaks yang menyindir atau mengkritik pihak tertentu.
- Konten menyesatkan (misleading content), yaitu hoaks yang menjelek-jelekkan suatu pihak atau perihal dengan tujuan menggiring opini masyarakat.
- Konten tiruan (impostor content), yaitu hoaks yang menyerupai informasi benar.
- Konten palsu (fabricated content), yaitu berita yang sepenuhnya dibuat-buat tanpa dasar fakta sama sekali dengan tujuan mengelabui pembacanya, misalnya informasi lowongan kerja palsu.
- Salah koneksi (false connection), yaitu hoaks yang berisi ketidaksesuaian antara judul dan isi konten.
- Konteks keliru (false context), yaitu hoaks yang berupa konten (gambar atau video) dengan narasi atau konteks yang salah.
- Konten manipulasi (manipulated content), yaitu hoaks yang menggunakan konten yang sudah ada, tetapi diubah-ubah untuk menipu pembaca.
Meski peringatan untuk mewaspadai hoaks sudah sering disampaikan, penyebaran hoaks masih secepat kilat. Selain kecanggihan teknologi yang memungkinkan transfer data dalam sekejap, alasan utama di balik fenomena menjamurnya hoaks adalah kebiasan buruk manusia. Banyak orang hanya membaca judul berita tanpa benar-benar membuka dan mengkritisi isinya. Jika isi berita dibuka, terdapat kemungkinan bahwa pembaca tidak kritis dalam memproses informasi yang telah disampaikan. Kita juga seringkali tidak mencari informasi dari sumber lain sebagai pembanding. Apalagi, tidak bisa dipungkiri bahwa kita akan lebih percaya terhadap informasi yang diberikan oleh orang terdekat, seperti keluarga atau teman, ketimbang pihak yang kurang kita kenal. Belum lagi, melihat informasi serupa berulang kali sering membuat kita percaya bahwa informasi tersebut benar adanya. Kebiasaan buruk tersebut mendorong kita untuk menyebar hoaks tanpa memverifikasi kebenarannya terlebih dahulu.
Apa sebenarnya ujaran kebencian itu?
Berbeda dengan hoaks yang berfokus pada kesesatan suatu informasi, ujaran kebencian berfokus pada serangan terhadap hal atau pihak tertentu. Ujaran kebencian (hate speech) merupakan cara komunikasi yang menghina, memprovokasi, atau merendahkan martabat individu maupun kelompok tertentu. Wujudnya bermacam-macam, mulai dari bentuk lisan, tulisan, gambar, sampai video. Ujaran kebencian biasanya menyerang korban berdasarkan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Jenis kelamin, profesi, dan pandangan politik yang beragam di Indonesia juga tidak jarang menjadi target. Tujuan utama dari ujaran kebencian adalah untuk menabur rasa benci dan permusuhan.
Fenomena ujaran kebencian berpotensi menimbulkan beragam stigma negatif terhadap korban, terutama untuk pengguna media sosial. Menurut Abdillah (2023), ujaran kebencian dapat melukai hati, menimbulkan rasa minder, dan membuat korban merasa rendah diri. Korban cenderung merasa terancam karena hidup di bawah tekanan sosial. Dalam jangka panjang, ujaran kebencian yang terus berlanjut seringkali dinormalisasi akan membuat masyarakat semakin mudah diprovokasi hingga terpecah belah.
Hubungan antara hoaks dan ujaran kebencian
Salah satu faktor yang membuat hoaks dan ujaran kebencian berbahaya adalah hubungan timbal balik di antara keduanya. Hoaks berisi informasi keliru yang berpotensi menyulut emosi pihak lain. Emosi yang tersulut akan dilampiaskan dalam bentuk ujaran kebencian. Ketika seseorang percaya pada hoaks yang memantik amarah, bahasa agresif mulai digunakan hingga berujung pada perpecahan.
Bagaimana hukum bertindak?
Indonesia memiliki payung hukum yang tegas dalam menindaklanjuti fenomena hoaks dan ujaran kebencian. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 Pasal 28 Ayat 2 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik melarang setiap orang yang dengan sengaja menyebar informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA. Selain itu, pasal 28 ayat 3 melarang penyebaran informasi bohong yang dapat menimbulkan kerusuhan. Dengan kata lain, menyebarkan hoaks dan ujaran kebencian dapat membawa pelaku ke ranah hukum.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan?
Pada akhirnya, kita tidak bisa mengendalikan seluruh isi internet untuk menghentikan arus hoaks dan ujaran kebencian. Namun, kita dapat mengendalikan diri kita sendiri dalam merespons berita. Dalam menghadapi hoaks dan ujaran kebencian, kita perlu kesadaran dan komitmen untuk menerapkan kebiasaan-kebiasaan kecil yang bermakna. Keputusan kecil untuk memeriksa ulang berita, diam sejenak, dan memilih untuk tidak menambah panasnya perdebatan memberikan dampak yang jauh lebih signifikan dari apa yang kita kira. Oleh karena itu, pertanyaannya sekarang adalah “Apa saja langkah-langkah mudah yang dapat kita ambil untuk memutus rangkaian kekeliruan dan kebencian?” Untungnya, ada banyak cara sederhana yang bisa kita lakukan, antara lain:
- Jangan terpancing judul provokatif. Judul sensasional sering digunakan untuk memancing emosi pembaca.
- Cek isi terlebih dahulu, baru bagikan. Periksa terlebih dahulu tentang asal berita, lalu cari sumber berita lain untuk menilai kebenaran berita.
- Selalu perhatikan bahasa yang kita gunakan. Jika sebuah konten atau komentar membuat kita kesal, jangan langsung membalasnya dengan menghina. Diam sejenak dan tenangkan diri sehingga kita tidak menjadi kontributor dalam menyebarkan kebencian.
- Bangun lingkungan yang melek terhadap literasi digital. Edukasi mengenai literasi digital perlu diterapkan. Hal ini dapat dimulai di lingkungan keluarga, sekolah, hingga komunitas lainnya. Kita dapat menegur mereka yang kurang sadar akan etika bermedia sosial dengan bahasa yang sopan, agar mereka dapat lebih bijak menggunakan media sosial di kemudian hari.
Bahasa adalah pilihan
Kita sering menganggap bahwa bahasa merupakan serangkaian kata-kata yang sekadar lewat di mata dan telinga. Namun, sebenarnya, bahasa menentukan cara kita memperlakukan orang lain. Hoaks dan ujaran kebencian bermula dari penyalahgunaan bahasa tanpa pikir panjang. Kabar baiknya,kita selalu memiliki pilihan. Kita dapat memilih untuk memeriksa berita yang kita konsumsi dengan lebih teliti, mengendalikan emosi kita, dan memilih kata yang tidak provokatif dalam berdinamika di media digital. Dengan tindakan-tindakan sederhana, kita dapat menciptakan komunikasi yang lebih baik, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Semakin bijak kita menggunakan bahasa, maka semakin kecil peluang bagi hoaks dan ujaran kebencian untuk merusak kedamaian kita.
Daftar Pustaka
Abdillah, R. dkk. (2023). Studi Psikologi Siber Tentang Dampak Hate Speech Bagi Pengguna Media Sosial. Sibatik Jurnal Volume 2. Diakses dari: https://publish.ojs-indonesia.com/index.php/SIBATIK/article/view/1478/881.
Badriyah, Siti. (2022). Pengertian Hoaks: Sejarah, Jenis, Contoh, Penyebab dan Cara Menghindarinya. Diakses dari: https://www.gramedia.com/literasi/pengertian-hoaks/?srsltid=AfmBOopsEA3_NK9IeuqGhIi2HOJTrDPXwJD-ff34zuXQEKz9gWfJrC2M#Jenis-jenis_Hoaks.
Merdeka.com. (2016). Penyebaran Informasi Hoax Menimbulkan Keresahan di Masyarakat. Diakses pada 27 Oktober 2025 dari https://www.merdeka.com/peristiwa/penyebaran-informasi-hoax-menimbulkan-keresahan-di-masyarakat.html.
Republik Indonesia. (2024). Undang Undang Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Informasi dan Transaski Elektronik. Pemerintah Republik Indonesia: Jakarta.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
