Fenomena Hubungan Tanpa Status (HTS) di Kalangan Generasi Z: Realitas, Risiko, dan Pencegahannya
Edukasi | 2025-12-09 18:03:54Fenomena hubungan tanpa status (HTS) semakin akrab ditemui dalam dinamika percintaan generasi Z. Pada era modern dalam konteks perkembangan hubungan interpersonal, fenomena hubungan tanpa status (HTS) semakin berkembang dan sering dijumpai yang disertai dengan menurunnya tanda-tanda tidak ada komitmen, terutama di kalangan generasi muda. Menurut Aryadi (2024) bahwa remaja di era modern khususnya gen Z menjadi sangat rentan mengalami HTS karena dianggap lebih sesuai dengan nilai modern, yaitu kebebasan dan kemandirian dalam berhubungan.
HTS didefinisikan sebagai hubungan yang tidak memiliki harapan atau kejelasan komitmen jangka panjang, baik dari segi emosional maupun sosial dan cenderung menawarkan kebebasan emosional tanpa batasan yang jelas. Menurut Monterrosa (2021), HTS merupakan hubungan yang tidak memiliki harapan komitmen jangka panjang, baik ada maupun tidak ada hubungan seksual di dalamnya. Banyak anak muda membangun relasi yang dekat bahkan sangat intens tanpa komitmen, tanpa label, dan tanpa tujuan hubungan yang jelas. Hubungan seperti ini sering terlihat modern, fleksibel, dan bebas tekanan. Namun di balik kesan tersebut, ada konsekuensi emosional dan sosial yang kerap tidak disadari sejak awal.
HTS biasanya ditandai oleh kedekatan layaknya pasangan, tetapi tanpa kepastian sebagai “pacar”. Menurut Ilyana & Hamidy (2024) Hubungan tanpa status adalah kondisi dimana seseorang dalam menjalin hubungan dengan atau tanpa melibatkan status yang diakui secara resmi dalam hubungannya. Dua orang dapat saling memperlihatkan afeksi, saling menemani, bahkan berbagi momen personal, namun tanpa kesepakatan eksklusivitas. Dalam studi psikologi perkembangan dewasa muda, Aryadi dan Budiono (2024) menemukan bahwa ciri utama HTS adalah komunikasi yang tidak konsisten, kedekatan yang bergantung situasi, serta batas-batas hubungan yang tidak pernah dibahas secara terbuka. Kondisi ini membuat HTS tak jarang berakhir pada kebingungan peran dan ketidakstabilan emosi. Seseorang bisa merasa sangat dekat, namun sekaligus tidak berhak menuntut apa-apa. Hal ini membuat remaja menjadi sangat rentan mengalami HTS karena dianggap lebih sesuai dengan nilai modern, yaitu kebebasan dan kemandirian dalam berhubungan.
Yang merupakan ciri lain yang banyak muncul adalah fleksibilitas relasi yang ekstrem. Keduanya merasa bebas keluar-masuk dalam hubungan tanpa kewajiban untuk memberi kejelasan. Pola komunikasi dapat berubah sewaktu-waktu, bergantung pada mood atau kenyamanan masing-masing. Dalam beberapa kasus, praktik ghosting—menghilang tiba-tiba tanpa penjelasan—juga menjadi bagian dari dinamika HTS. Fenomena ini memperlihatkan bahwa HTS pada dasarnya bukan sekadar hubungan tanpa komitmen, melainkan juga relasi tanpa tanggung jawab emosional yang jelas.
Salah satu faktor terbesar adalah teknologi digital. Media sosial, dating.apps, dan komunikasi instan memungkinkan perkenalan berlangsung cepat tanpa harus melewati proses pendekatan yang panjang. Generasi Z menggunakan platform digital bukan hanya untuk mencari teman atau pasangan, tetapi sebagai ruang eksplorasi identitas romantis tanpa tekanan sosial. Menurut Arganata & Hamka (2025) perkembangan teknologi yang pesat, media sosial menjadi sarana utama komunikasi bagi Generasi Z, menggantikan komunikasi tatap muka secara tradisional.
Dalam konteks ini, teman-teman singkat yang tidak berujung pada komitmen dianggap lumrah dan bahkan nyaman bagi sebagian orang. Selain teknologi, nilai-nilai generasi Z juga berpengaruh dari mereka adalah memprioritaskan pendidikan, karier, dan kestabilan finansial. Komitmen romantis kerap dianggap sebagai hal yang dapat membatasi ruang bergerak. Karena itu, HTS menjadi “jalan tengah” yang dianggap ideal. Dengan kedekatan emosional tetap terpenuhi tanpa harus mengorbankan kebebasan individu. Hal ini menunjukkan bahwa generasi Z cenderung menunda pernikahan dan membangun relasi jangka panjang demi fokus pada pengembangan diri.
Budaya populer turut memperkuat normalisasi HTS. Serial, film, dan konten digital sering menggambarkan hubungan kasual, friends with benefits, atau romansa tanpa komitmen sebagai bagian dari gaya hidup modern. Representasi tersebut memengaruhi cara generasi Z memandang dan mengonsumsi konten hiburan digital lebih menerima model hubungan non-komitmen sebagai sesuatu yang wajar dan bahkan aspiratif. Namun fleksibilitas HTS tidak datang tanpa risiko. Salah satu risiko terbesar adalah dampak emosional. Ketidakjelasan arah hubungan sering memunculkan kecemasan, rasa tidak aman, dan kekecewaan mendalam. Aryadi (2024) mengungkapkan perasaan marah, tersakiti, dan cemburu ketika ekspektasi yang tidak pernah disepakati ternyata tidak terpenuhi. Ketikdakjelasan peran membuat seseorang tidak tahu harus menempatkan dirinya sebagai siapa: teman, pasangan, atau sekadar pengisi waktu.
Risiko lainnya adalah gangguan dalam kemampuan membangun hubungan jangka panjang. Jika seseorang terlalu lama berada dalam pola teman yang tidak terstruktur, ia dapat kesulitan mengembangkan kemampuan penting dalam hubungan dewasa seperti negosiasi ekspektasi, pengelolaan konflik, dan pembentukan komitmen. Hal ini menunjukkan bahwa teman non-komitmen yang berulang dapat berdampak pada kesulitan membangun keluarga di kemudian hari. Tidak kalah penting adalah risiko kesehatan seksual. Ketika kedekatan fisik hadir tanpa komunikasi terbuka tentang monogami, penggunaan proteksi, atau status hubungan, kerentanan terhadap infeksi menular seksual dan kehamilan tidak direncanakan meningkat. Banyak relasi HTS menghindari pembicaraan serius karena dianggap merusak suasana, padahal justru dialog semacam itu sangat diperlukan.
Untuk meminimalisasi risiko HTS, beberapa langkah pencegahan dapat dilakukan. Pertama, pendidikan literasi relasi dan seksual harus diperkuat, termasuk kemampuan berkomunikasi secara asertif, memahami batas personal, dan membangun hubungan konsensual. Kedua, generasi muda perlu membiasakan diri berkomunikasi secara jujur mengenai kebutuhan dan ekspektasi, bahkan dalam hubungan yang dianggap santai. Ketiga, literasi digital penting untuk membantu generasi Z menilai representasi hubungan dalam media secara kritis, bukan sekadar meniru. Keempat, lembaga kesehatan dan pendidikan harus menyediakan layanan konseling serta kesehatan reproduksi yang ramah remaja agar risiko jangka panjang dapat dicegah. Dengan empat upaya ini dapat membantu generasi Z untuk dapat mengendalikan diri untuk berperilaku atau melakukan HTS yang akan berdampak pada rasa percaya diri dilingkungannya.
Pada akhirnya, HTS adalah fenomena sosial yang nyata dan relevan dalam kehidupan generasi Z. Namun sikap “bebas komitmen” tidak berarti kebal terhadap dampak psikologis dan sosial. Dengan literasi relasi yang kuat, generasi muda dapat menjalani hubungan apa pun termasuk yang non-tradisional dengan lebih bertanggung jawab, sadar risiko, dan berpihak pada kesejahteraan masa depan mereka.
Luthfia Jilan Azza Ixtyarto
F100230280
Mahasiswa Fakultas Psikologi Semester 5
Referensi :
Aryadi, R. (2024). Fenomena hubungan tanpa status pada remaja Gen Z dalam perspektif psikologi sosial. Jurnal Psikologi Remaja, 12(1), 45–57.
Arganata, Z. & Hamka, Y. M., (2025). Pengaruh Media Sosial Terhadap Pola Komunikasi Generasi Z Dalam Interaksi Sosial. Jurnal Dinamika Sosial dan Sains. 2(1). https://jurnalsentral.com/index.php/jdss.
Ilyana, A., & Hamidy, A. T. F., (2024). Interaksi Hubungan Tanpa Status Antara Lawan Jenis Pada Mahasiswa Fisip UPN Veteran Yogyakarta., Journal Sadharanikarana. 6 (1). https://e-journal.iahn-gdepudja.ac.id/index.php/SN.
Monterrosa, S. (2021). The emotional impact of non-committed romantic relationships in young adults. Journal of Adolescent Research, 36(4), 389–407. https://doi.org/10.1177/0743558420949256.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
