Paragraf: Dasar yang Sering Diabaikan
Sastra | 2025-12-09 15:27:41
Sebagai mahasiswa, saya semakin yakin bahwa kita terlalu sering dituntut untuk menulis, tetapi jarang benar-benar diajari bagaimana menata pikiran melalui tulisan. Paragraf, yang seharusnya menjadi alat dasar untuk menyusun gagasan, justru sering diperlakukan sekadar sebagai formalitas tugas. Yang penting memenuhi jumlah halaman, bukan kejelasan isi. Akibatnya, banyak tulisan mahasiswa lahir dalam kondisi lelah, tergesa-gesa, dan kehilangan arah sejak paragraf pertama.
Pengalaman itu terasa nyata ketika saya membaca dan menilai tulisan teman-teman di satu mata kuliah. Hampir semua esai terlihat seragam seperti paragraf panjang tanpa jeda, ide yang bercampur antara pendapat, data, dan kesimpulan dalam satu wadah. Tidak sedikit pula yang menulis dengan cara sebaliknya paragraf dipatahkan menjadi potongan pendek agar terlihat ringan, tetapi justru kehilangan logika. Ini bukan semata soal gaya menulis, melainkan tanda bahwa kita terbiasa mengejar tampilan, bukan kejelasan berpikir.
Yang lebih mengkhawatirkan, sistem pendidikan kita ikut memperparah keadaan ini. Sejak sekolah hingga perguruan tinggi, mahasiswa dilatih mengejar format seperti jumlah paragraf, spasi, margin, sitasi. Namun jarang diajak untuk benar-benar memahami bahwa paragraf adalah cermin cara berpikir. Paragraf deduktif, induktif, maupun campuran hanya diajarkan sebagai hafalan istilah, bukan sebagai alat untuk merancang alur logika. Tak heran jika banyak mahasiswa tahu definisinya, tetapi gagap ketika harus menerapkannya dalam tulisan nyata.
Dalam praktik akademik, kesalahan ini terus berulang. Mahasiswa diminta kritis, diminta analitis, diminta argumentatif, tetapi tidak diberi cukup ruang untuk belajar menyusun argumen sejak level paling dasar yaitu paragraf. Paragraf eksposisi yang seharusnya menjelaskan konsep secara jernih malah dipenuhi opini. Paragraf argumentatif yang seharusnya memuat pendapat berbasis data justru berakhir sebagai keluhan personal. Bahkan laporan penelitian pun sering kehilangan daya logis karena paragrafnya gagal membangun alur berpikir yang runtut.
Kondisi ini diperparah oleh budaya instan di era digital. Mahasiswa terbiasa dengan potongan teks pendek, ringkas, serba cepat. Kita lebih sering membaca caption daripada artikel panjang, lebih akrab dengan thread singkat daripada tulisan utuh. Akibatnya, kemampuan menyusun paragraf yang bernapas panjang semakin melemah. Menulis menjadi aktivitas yang melelahkan, bukan lagi ruang berpikir. Paragraf dianggap beban, bukan alat.
Yang sering luput disadari adalah bahwa paragraf tidak hanya berdampak pada nilai akademik, tetapi juga pada cara mahasiswa menyampaikan pikiran di ruang publik. Ketika paragraf tidak terstruktur, opini menjadi kabur, kritik menjadi lemah, dan argumen mudah dipatahkan. Dalam jangka panjang, ini melahirkan generasi yang terbiasa bersuara, tetapi tidak terlatih untuk menyusun suara itu secara utuh dan meyakinkan.
Menurut saya, inilah masalah yang lebih besar dari sekadar salah menempatkan kalimat utama. Ini adalah krisis cara berpikir yang dibungkus dalam masalah teknis menulis. Ketika paragraf tidak kita pahami sebagai alat berpikir, maka tulisan hanya menjadi produk tugas, bukan hasil refleksi intelektual. Kita menulis untuk menggugurkan kewajiban, bukan untuk membangun pemahaman.
Sudah saatnya paragraf dikembalikan ke fungsinya yang paling dasar: sebagai ruang menyusun nalar. Mahasiswa tidak cukup hanya diajari cara mengutip dan menyusun daftar pustaka, tetapi juga perlu dilatih bagaimana satu ide dibangun, dikembangkan, lalu ditutup secara logis dalam satu paragraf. Tanpa itu, tuntutan untuk berpikir kritis akan terus menjadi slogan kosong di ruang-ruang kelas.
Bagi saya, memperbaiki cara kita memandang paragraf berarti memperbaiki fondasi berpikir mahasiswa itu sendiri. Dan tanpa fondasi yang kuat, seberapa pun tingginya tuntutan akademik, hasilnya hanya akan melahirkan tulisan-tulisan panjang yang ramai di permukaan, tetapi hampa di kedalaman.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
