Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image isvana nadine

Remaja dan Gaya Hidup Konsumtif: Apa Penyebabnya?

Gaya Hidup | 2025-12-09 15:04:47

Pembelian impulsif adalah tindakan membeli barang secara mendadak tanpa berpikir panjang apakah barang yang dibeli sedang dibutuhkan atau tidak tanpa mempersiapkan dulu. Perilaku ini tidak hanya terjadi pada orang dewasa, tetapi lebih sering terjadi pada remaja. Di kehidupan sehari-hari, kita sering melihat remaja membeli barang tanpa alasan jelas hanya karena tergiur diskon, tren di media sosial, atau dorongan dari teman. Mengapa remaja lebih sering melakukan pembelian impulsif? Ini karena beberapa hal, seperti faktor psikologis, pengaruh lingkungan sosial, dan dampak dari dunia digital. Remaja sedang dalam masa perkembangan diri yang kompleks, mereka mencari jati diri, mengalami perubahan hormon, dan mulai belajar cara berpikir yang lebih dewasa.

Namun, emosi mereka masih belum stabil. Saat merasa bosan, sedih, atau kurang percaya diri, remaja sering mencari cara untuk merasa lebih baik, salah satunya adalah membeli barang yang mereka inginkan. Membeli barang dapat memberi rasa senang sejenak meskipun tidak menyelesaikan masalah yang menyebabkan emosi negatif itu. Dalam beberapa tahun terakhir, media sosial sangat memengaruhi gaya hidup dan kebiasaan belanja remaja. Platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube penuh dengan iklan dan konten yang mempromosikan berbagai produk, seperti pakaian, aksesoris, kosmetik, dan perangkat teknologi terbaru. Banyak influencer dan selebritas menampilkan gaya hidup yang tampak glamour, sehingga memberi kesan bahwa kebahagiaan dan kesuksesan bisa dicapai dengan memiliki barang-barang tertentu.

Credit: Pinterest

Tanpa sadar, remaja mulai menganggap hal itu sebagai norma dan berusaha meniru agar diterima oleh orang sekitar. Teknologi iklan digital juga memperparah hal ini. Algoritma di berbagai platform online bisa menyesuaikan iklan sesuai dengan minat pengguna. Jadi, remaja yang melihat produk yang tampak cocok dengan mereka cenderung lebih mudah tergiur untuk membeli. Selain itu, tekanan dari teman sebaya juga memengaruhi cara belanja remaja. Mereka sangat peduli dengan opini teman-teman, ingin dianggap keren, dan tidak ingin terlihat berbeda. Karena itu, ketika teman-temannya membeli barang tertentu atau mengikuti tren, remaja cenderung membeli sesuatu agar tidak tertinggal. Tanpa berpikir panjang, mereka membeli hanya agar dapat diakui oleh kelompok sosial mereka. Apalagi yang sedang tren saat ini, fenomena blind box, yang dimana kita sendiri tidak tahu akan mendapat apa.

Faktor lain yang memengaruhi adalah kurangnya pengalaman dan kemampuan mengelola uang. Banyak remaja belum diajarkan cara membuat anggaran, membedakan antara apa yang benar-benar dibutuhkan dan apa yang hanya sekadar keinginan, serta mengatur uang secara bijak. Saat mereka mulai mendapat akses ke uang sendiri, misalnya dari orang tua, kerja sambilan, atau hasil jualan online, mereka masih kurang mampu mengendalikan diri untuk menahan godaan membeli. Terutama dengan adanya fitur seperti "bayar nanti" atau dompet digital, pembelian bisa dilakukan dengan mudah tanpa harus memikirkan uang mereka.

Credit: Pinterest

Fenomena ini juga dipengaruhi oleh budaya konsumerisme yang sangat kuat di masyarakat. Remaja tumbuh dalam lingkungan yang secara tidak langsung mengajarkan bahwa kebahagiaan bisa didapat dengan membeli barang. Iklan-iklan di televisi, media sosial, maupun influencer yang mereka ikuti, semuanya memberi pesan bahwa mempunyai barang baru atau barang bermerk adalah hal yang penting. Mereka mencari rasa puas secara langsung dari proses membeli, yang secara psikologis bisa memicu hormon dopamin di otak memberi perasaan senang, meskipun hanya sementara. Masalah muncul ketika kebiasaan ini menjadi kebiasaan yang terus-menerus dan sulit dikendalikan. Belanja impulsif yang terjadi berulang bisa berdampak buruk terhadap kesehatan mental dan kondisi keuangan remaja. Mereka bisa merasa menyesal setelah belanja, stres karena uang habis, atau bahkan menjadi tergantung pada aktivitas belanja untuk melarikan diri dari masalah emosional.

Untuk mengatasi kecenderungan belanja impulsif pada remaja, diperlukan pendekatan yang menyeluruh. Orang tua dan guru memiliki peran penting dalam memberikan pemahaman tentang pentingnya mengelola uang sejak dini. Edukasi keuangan harus menjadi bagian dari proses belajar di sekolah, bukan hanya dalam mata pelajaran ekonomi, tetapi juga dalam bentuk praktik langsung seperti simulasi anggaran atau proyek kewirausahaan. Selain itu, penting juga mengajarkan remaja untuk mengenali dan mengelola emosi mereka, sehingga tidak menjadikan belanja sebagai satu-satunya cara mengatasi tekanan atau stres. Masyarakat juga perlu lebih kritis terhadap budaya konsumsi yang mendominasi media. Remaja harus dibekali kemampuan berpikir kritis agar tidak mudah terbawa arus iklan dan tren.

Dengan kesadaran diri yang baik, mereka dapat membedakan mana yang benar-benar kebutuhan dan mana yang hanya keinginan sesaat. Pada akhirnya, belanja impulsif bukanlah hal yang sepenuhnya buruk jika dilakukan sesekali. Namun, jika menjadi kebiasaan yang tidak terkontrol, tentu akan menimbulkan dampak negatif. Dengan pendidikan yang tepat, pengawasan yang bijak, serta kesadaran diri yang terus dikembangkan, remaja bisa tumbuh menjadi pribadi yang cerdas dalam mengelola keuangan dan membuat keputusan belanja yang lebih bertanggung jawab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image