Digitalisasi Keuangan dan Persepsi Stabilitas Ekonomi Generasi Z
Gaya Hidup | 2025-12-09 14:48:47
Kehidupan manusia di zaman ini tidaklah jauh dari paparan layar yang hampir setiap saat digenggam. Di samping itu, hampir seluruh lapisan masyarakat, terutama Generasi Z, memiliki kemampuan untuk bisa terhubung antara satu sama lain melalui penggunaan teknologi. Sebagai digital native atau penduduk asli dunia digital, generasi kelahiran tahun 1997 hingga 2012 ini tumbuh dan berkembang dikelilingi teknologi yang sedang berprogres dengan pesat. Oleh sebab itu, mereka memiliki keahlian yang jauh lebih baik dalam memanfaatkan teknologi dibandingkan dengan para generasi pendahulunya. Keberadaan teknologi kemudian mendorong kecenderungan Generasi Z untuk menyukai hal-hal serba instan dan praktis.
Guna mengikuti perkembangan zaman dan tendensi generasi muda, kegiatan ekonomi, seperti berbelanja dan bertransaksi, kini juga kian mudah diakses berbagai kalangan dengan hadirnya layanan-layanan yang mendukung penggunaan internet secara maksimal. Layanan belanja online sering kali sudah terintegrasi dengan layanan uang digital melalui e-wallet (dompet digital) yang kian memudahkan pengalaman berbelanja bagi pengguna. Cukup dengan 2 sampai 3 kali klik, sebuah transaksi dapat dengan cepat diproses dan dikonfirmasi. Namun, kemudahan yang ditawarkan terkadang terasa bagaikan pedang bermata dua. Apabila pengguna tidak memiliki cukup kesadaran atas keputusan keuangan yang sedang diambil, penyesalan akan menjadi langkah yang mengikuti dan menghantui setiap keputusan di kemudian hari.
Sejatinya uang dalam bentuk digital bukanlah hal yang baru. Keberadaan uang dalam bentuk tak kasat mata ini, dengan keistimewaannya dari segi penyimpanan yang dilakukan secara elektronik, dipelopori oleh ide seorang peneliti bernama David Chaum pada tahun 1983 dalam paper penelitiannya yang berjudul “Blind Signatures”. Ia sangat memimpikan suatu sistem keuangan elektronik yang tidak hanya memudahkan transaksi, tetapi juga mengutamakan penjagaan data pribadi dan privasi. Pada tahun 1990, David berhasil mendirikan Digicash, sebuah perusahaan untuk sistem pembayaran elektronik. Perusahaan ini kemudian berhasil melahirkan konsep uang elektronik di tahun 1993.
Di Indonesia sendiri, uang elektronik pertama kali diakui oleh Bank Indonesia, bank sentral negara, menjadi salah satu alat pembayaran yang sah pada tahun 2009. Akan tetapi, penggunaan uang elektronik kala itu yang masih berupa kartu prabayar yang penggunaannya tidak semassal uang digital selama beberapa tahun terakhir. Penggunaannya pun terbatas untuk pembayaran tatap muka secara langsung sehingga hanya digunakan untuk membayar biaya transportasi umum, tol, parkir, dan berbelanja di pasar swalayan kecil. Kemudian bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Indonesia pada tahun 2019, Bank Indonesia bersama dengan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) merilis sistem pembayaran digital baru yang dijadikan sebagai standar nasional untuk pembayaran melalui scan atau pemindaian, yaitu QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard). Peluncuran QRIS bertujuan untuk mendorong gerakan cashless society serta menghadirkan kemudahan bagi pelaku UMKM supaya tidak perlu berulang kali menyediakan kode QR pembayaran.
Pandemi Covid-19 yang terjadi pada tahun 2020 lalu ikut serta menstimulasi penggunaan uang digital secara signifikan. Wabah yang dapat dengan mudah menular dan mengambil nyawa sebagian besar dari jumlah populasi di berbagai belahan dunia tersebut menyebabkan terjadinya pembatasan mobilitas masyarakat, baik di Indonesia maupun di seluruh dunia. Meski demikian, kegiatan ekonomi tidak pernah stagnan dan masih bisa terus berlangsung. Layanan jasa antar barang dan makanan juga perusahaan komersial elektronik tidak pernah sekali pun merasakan sepi pengguna. Sebaliknya, mereka justru melihat tren kenaikan dalam pemanfaatan jasa yang disediakan dalam masyarakat diakibatkan mobilitas yang terbatas. Selain itu, protokol kesehatan yang berlaku kala itu mengharuskan masyarakat untuk menjaga jarak dan menghindari kontak fisik sehingga metode pembayaran tanpa harus bersentuhan lebih dipilih untuk bertransaksi karena uang kartal dapat menjadi media penularan virus Covid-19. Hal ini mempercepat pengadopsian praktik pembayaran menggunakan uang digital.
Pergeseran bentuk uang fisik menjadi uang digital berkontribusi signifikan terhadap bagaimana seseorang atau bahkan sebagian besar masyarakat membuat keputusan finansial. Pada masa yang semakin maju seperti saat ini, mayoritas penduduk seantero dunia lebih memilih untuk menyimpan uangnya di e-wallet atau mobile banking daripada di dompet. Membawa uang tunai dipandang sebagai suatu cara menyimpanan uang yang kurang nyaman dikarenakan suatu dompet dapat mengambil ruang yang cukup banyak dalam sebuah tas. Selain itu, dalam penggunaan uang kartal, pembeli dan penjual perlu memastikan jumlah uang yang harus atau telah dibayarkan dengan menghitung secara manual, belum lagi mengecek keaslian uang yang menjadi sebuah keharusan di dunia yang belum bersih dari penipuan. Tidak jarang ditemui pula uang kembali dalam bentuk kartal yang mau tidak mau harus direlakan akibat pecahan uang yang eksistensinya sudah dihapus zaman dan peraturan perbankan.
Sebaliknya, layanan uang digital memberikan kebebasan akses kapan saja dan di mana saja hanya dengan menggunakan telepon seluler pintar, sebuah barang esensial multifungsi yang jarang terlupakan untuk dibawa. Selain itu, e-wallet dan mobile banking memungkinkan pengguna untuk melakukan pembayaran sesuai dengan total yang harus dibayarkan, tidak kurang ataupun lebih, tanpa harus memastikan keaslian uang. Ada pula fitur mengetahui jumlah saldo dan mengakses riwayat transaksi secara langsung dari genggaman tangan yang menjadi salah satu faktor unggulan dibalik tingginya penggunaan layanan uang digital. Berbagai data turut menunjukkan bahwa besaran transaksi uang digital mengalami kenaikan setiap tahunnya.
Sayangnya terdapat beberapa masalah yang muncul bersamaan dengan kemudahan yang ditawarkan oleh digitalisasi keuangan. Salah satu di antara berbagai masalah tersebut ialah uang digital yang justru sering kali memfasilitasi hasrat manusia untuk membeli barang secara impulsif, yaitu sebuah perilaku spontan tanpa rasionalitas sehingga konsekuensi dari aksi yang dilakukan jarang dihitung dalam pertimbangan. Dibandingan dengan pembayaran uang kartal, penggunaan uang digital menghilangkan pandangan untuk memikirkan kebutuhan jangka panjang dan kehati-hatian. Hal ini berkaitan dengan teori pain of paying oleh Ofer Zellermayer, sebuah ketidaknyamanan psikologis yang hadir ketika dihadapkan dengan pengeluaran dalam wujud nyata (tunai), yang mana berkurang seiring hilangnya bentuk fisik dari uang itu sendiri. Kehilangan diakibatkan pengeluaran uang lebih dapat dicerna oleh otak manusia ketika penyerahan uang dilakukan secara tunai dibandingkan dengan uang digital.
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa uang kartal sudah tergantikan, walau belum sepenuhnya, oleh uang digital. Kemudahannya membawa banyak manfaat sehingga lebih diminati. Namun, pengguna layanan uang digital juga harus memiliki kesadaran untuk bertransaksi dan membuat keputusan keuangan dengan bijak. Oleh karena itu, literasi keuangan perlu ditingkatkan, khususnya bagi Generasi Z dengan tingkat impulsivitas mereka yang tinggi akibat pengaruh media sosial. Dengan demikian, generasi ini akan menguasai cara pengelolaan keuangan yang baik dengan kesadaran penuh sehingga risiko untuk berhadapan dengan situasi finansial yang buruk dapat dihindari.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
