Lanskap Ganda Indonesia: Antara Hutan Rimba dan Hutan Sawit yang Seragam
Kolom | 2025-12-09 13:24:49
Dari langit, pulau-pulau di Indonesia tampak seperti mosaik hijau. Tapi dari darat, ceritanya berbeda. Ada hijau yang ramai, penuh kejutan: desir angin di daun beragam bentuk, teriakan owa, dan warna-warni burung. Ada pula hijau yang tertib dan sunyi: barisan pohon kelapa sawit bagai tentara yang mengelilinginya rapi, hampir tak ada suara selain desau daun yang seragam. Dua dunia hijau ini hutan alam dan perkebunan sawitsering dipertukarkan dalam narasi deforestasi. Namun, secara ekologis, perbedaannya sedalam jurang. Memahami perbedaan ini adalah kunci membuka perdebatan yang sering panas tentang masa depan lingkungan Indonesia.
Pertama, mari kita bedakan konsep dasarnya. Hutan alam tropis adalah ekosistem kompleks. Ia adalah kota metropolitan bagi keanekaragaman hayati. Dalam satu hektar, bisa ada ratusan jenis pohon, ribuan jenis serangga, serta mamalia, burung, dan jamur yang saling terhubung dalam jaring makanan yang rumit. Setiap elemen punya peran. Pohon besar menyimpan karbon raksasa, kanopi berlapis menjaga siklus udara, dan akar dalam mencegah erosi.
Sebaliknya, perkebunan kelapa sawit adalah sistem industri pertanian monokultur. Ia seperti pabrik hijau yang efisien, dirancang untuk menghasilkan satu komoditas: minyak sawit. Keanekaragaman hayati di dalamnya sangat minim, mungkin tersisa kurang dari 20% dari hutan asli. Ia tidak bisa menggantikan fungsi ekologi “kota hutan” yang menghancurkannya.
Lalu, bagaimana kaitannya dengan deforestasi yang menggemparkan itu?
Hubungannya secara langsung. Deforestasi, atau alih fungsi hutan permanen, seringkali menjadi jalan pintas untuk membuka kebun sawit baru. Data KLHK menunjukkan perluasan perkebunan (dengan sawit sebagai kontributor utama) secara historis menjadi pendorong besar hilangnya tutupan hutan, terutama di era 1990-an hingga awal 2000-an. Masalahnya bukan pada tanamannya, melainkan pada lokasi dan caranya. Ketika pembukaan dilakukan di kawasan hutan alam tinggi, apalagi di lahan gambut yang menjadi penyimpan karbon, dampaknya dua kali lipat: hilangnya keanekaragaman hayati dan lepasnya emisi karbon dalam jumlah masif.
Titik Terang di Tengah Tekanan Global:
Indonesia kini berada di persimpangan. Tekanan global dan komitmen nasional mendorong paradigma perubahan. Fokusnya beralih dari ekspansi lahan ke intensifikasi lahan yang sudah ada. Artinya:
1. Meningkatkan produktivitas kebun sawit rakyat yang sudah ada, yang akhirnya membuahkan hasil di bawah potensi.
2. Memperkuat sertifikasi berkelanjutan (ISPO) untuk memastikan minyak sawit yang dipasarkan tidak berasal dari deforestasi.
3. Penegakan hukum terhadap tindakan pembukaan lahan ilegal dan pengaturan ulang perizinan.
4. Restorasi ekosistem kritis, seperti gambut, yang mungkin telah terdegradasi.
Narasi hijau itu rumit. Tidak semua warna hijau sama. Mengaburkan perbedaan antara hutan alam yang liar dan perkebunan sawit yang teratur hanya akan memperkeruh solusi. Masa depan yang berkelanjutan terletak pada kemampuan kita untuk memisahkan pertumbuhan ekonomi dari deforestasi. Kita bisa merawat sisa “kota hutan” yang tak ternilai sambil mengelola “pabrik hijau” sawit dengan lebih cerdas dan bertanggung jawab pada lahan yang sudah ditentukan. Pilihan itu akan menentukan warisan alam apa yang kita tinggalkan untuk generasi mendatang: hanya hamparan sawit yang sunyi, atau juga kesempatan untuk mendengar kembali simfoni rimba yang ramai.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
