Di Balik Pintu Rusunawa: Potret Perjuangan Kaum Muda Menata Hidup
Humaniora | 2025-12-08 22:24:08
Rumah Susun Sederhana Sewa, atau biasa dikenal dengan Rusunawa adalah tumpuan banyak anak muda perantau yang datang ke kota. Hunian vertikal yang dibangun pemerintah dengan tujuan awal untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), banyak dilirik kaum muda baik mahasiswa, pekerja muda, hingga keluarga kecil yang sedang mengejar hidup lebih mapan untuk bertahan di sana.
Di tengah tekanan ekonomi dengan harga kos dan kontrakan yang melambung, biaya hidup yang tinggi, Rusunawa datang memberikan pilihan yang paling rasional. Dengan ruang yang sempit dan lingkungan yang padat di antara tawa penghuni dan tangis bayi, anak-anak muda mulai belajar hidup mandiri.
Bagi sebagian mereka, ke kota membawa segudang harapan untuk kelak pulang dengan cerita-cerita keberhasilan. Namun, tidak semua harapan seindah kenyataan. Mereka justru harus berhadapan dengan kerasnya tekanan sosial kehidupan kota, harga diri yang diuji, dan perjuangan menjaga kesehatan fisik dan mental hidup terbatas di ruang Rusunawa.
Ruang Terbatas dan Tekanan Psikologis
Unit-unit Rusunawa dibangun sebagian besar berukuran sekitar 18 hingga 24 meter persegi yang ditempati dua hingga empat orang. Penghuninya dapat dijumpai dari berbagai kalangan seperti mahasiswa, pekerja, hingga keluarga muda dengan anak balita. Mereka semua sedang mencoba bertahan di kota besar dengan kehidupan serba terbatas.
Ruangan di Rusunawa yang serba terbatas dengan berbagai aktivitas bercampur , ruang istirahat, ruang makan, ruang belajar berpadu dalam satu tempat tanpa batas. Bagi sebagian penghuni, kondisi ini dapat menimbulkan tekanan psikologis yang tak bisa diabaikan. Mereka harus menjalani rutinitas kehidupan sehari-hari dengan kebisingan, kurangnya privasi, masalah sanitasi, hingga konflik antarpenghuni dapat timbul karena jarak antarkamar yang sangat dekat.
Kondisi ini sering memaksa penghuni muda melewati hari mereka dengan tekanan yang tinggi ditambah dengan kondisi di tempat kerja dan perjalanan. Hidup di ruang yang terbatas membutuhkan energi psikologis yang kuat, terlebih ketika beban rutinitas kota yang padat menambah beban mental menjadi semakin berat.
Social Determinants of Health: Kacamata Sosiologi Kesehatan
Perjalanan hidup penghuni Rusunawa tidaklah bisa dipahami hanya dari sisi personal seperti kemampuan mengatur stres dan disiplin diri. Dalam kacamata sosiologi kesehatan, kehidupan mereka lebih tepat dilihat melalui sebuah konsep Social Determinants of Health (SDH). Konsep ini dipopulerkan oleh Michael Marmot dan diperluas melalui Rainbow Model oleh Dahlgren & Whitehead (1991). Teori ini menegaskan bahwa faktor sosial yang mengelilinginya seperti lingkungan tempat tinggal, tekanan ekonomi, dukungan sosial hingga akses terhadap ruang publik dan kesempatan berkembang sangat mempengaruhi kesehatan seseorang termasuk kesehatan mental.
Dalam konteks kehidupan di Rusunawa, ruang kamar yang terbatas dan padatnya hunian tidak hanya menimbulkan masalah kenyamanan tetapi dapat menjadi sumber stres yang berpengaruh pada psikologis penghuninya. Ketika ruang fisik terbatas, ruang untuk bernapas secara emosional ikut menyempit. Ruang publik yang semakin jarang ditemui memperkecil kesempatan mereka untuk melepas lelah. Semua ini berpengaruh besar pada kesehatan mental maupun fisik.
Oleh karenanya, persoalan kemampuan individu untuk bertahan hidup di Rusunawa tidak hanya dipandang sebagai bentuk kesehatan mental penghuni melainkan kesehatan mereka merupakan hasil dari pengaruh sosial di sekitarnya yang dialami dalam kehidupan sehari-hari. Walaupun sering kali kehidupan itu ada yang berdiri di atas pondasi yang tidak kokoh. Sudah menjadi refleksi bagi kita bahwa dalam memahami manusia, harus dilihat dalam kacamata bukan saja siapa dia akan tetapi dari lingkungan seperti apa ia mampu bertahan.
Tantangan Identitas dan Penerimaan Diri
Bagi sebagian orang yang tinggal di Rusunawa mengungkapkan tempat tinggalnya memberikan perasaan yang kurang nyaman. Sebagian memilih diam karena takut dipandang sebelah mata atau diperlakukan beda. Dalam percakapan mereka sehari-hari, ada yang memilih menyebut tinggal di “apartemen sederhana” atau cukup mengatakan “kontrakan”. Hal ini untuk menghindari pandangan merasa kecil dihadapan teman-temannya.
Perasaan canggung dan minder pelan-pelan dapat melemahkan kepercayaan diri sebagian anak muda. Rasa takut muncul akan penilaian kemampuan atau masa depan mereka hanya dari tempat tinggal, bukan dari usaha kerja keras yang mereka jalani. Terkadang mereka harus menyembunyikan bagian penting dari hidup mereka sendiri dengan terlihat “baik-baik saja” dan “tidak berbeda”. Padahal setiap mereka sedang berjuang dari titik awal. Di balik pintu kamar Rusunawa, terselip mimpi yang dibangun dengan kesabaran, doa yang dipanjatkan dalam senyap, dan harapan agar suatu saat kehidupan akan lebih baik.
Nilai seseorang tidak pernah ditentukan dari mana dia tinggal. Keberanianlah untuk terus melangkah yang menentukan meski hidup tidak selalu memberi ruang yang luas.
Bagi anak muda, penerimaan diri oleh lingkungan sosial merupakan hal yang penting untuk menjaga kewarasan dan kesehatan mental. Mungkin saja, dunia menjadi tempat yang lebih manusiawi bagi mereka jika kita belajar melihat dari sisi lain yaitu perjuangan hidup untuk meraih impian, bukan dari ruang terbatas di mana mereka tinggal.
Ruang Publik Semakin Jarang
Semakin terbatasnya ruang publik dan ruang kreatif bagi anak muda merupakan salah satu persoalan besar yang sering luput dari perhatian. Taman-taman di perkotaan yang seharusnya menjadi salah satu tempat healing dan bernapas kini berubah menjadi area komersil. Kafe-kafe tumbuh dengan batas waktu dan harga minuman yang tidak ramah di kantong sebagian anak muda9 menggantikan ruang belajar dan bersantai bersama yang dulu mudah untuk diakses. Lapangan dan ruang terbuka menjelma menjadi proyek bangunan baru. Tempat bagi anak muda berkumpul, berdiskusi, dan mengekspresikan diri perlahan menghilang.
Bagi penghuni Rusunawa, kondisi di atas terasa semakin berat. Dengan kondisi ruang kamar yang sempit dan tidak adanya ruang sosial komunal memadai, mereka kehilangan tempat untuk menenangkan diri atau sekadar mencari suasana yang lebih lapang. Akhirnya banyak yang memilih berdiam di kamar seharian karena tidak tahu ke mana harus pergi.
Sejatinya anak muda membutuhkan ruang untuk berekspresi, tidak hanya ruang untuk bertahan hidup. Ruang dibutuhkan untuk membangun jaringan sosial, memulihkan energi yang seharian lelah, menciptakan ide, dan merasakan kebebasan. Ketika ruang publik sulit ditemukan, ruang jiwa ikut menyempit dan beban psikologis yang tidak terlihat makin menumpuk. Tanpa ruang publik yang manusiawi, kota kehilangan fungsinya sebagai ruang tumbuh dan generasi muda kehilangan kesempatan untuk berkembang.
Dalam Keterbatasan, Tetap Ada Harapan
Setiap anak muda menginginkan untuk dihargai apa pun ruang hunian yang mereka tempati sekarang untuk meraih cita mereka. Perjuangan itu dapat dimulai dari ruang yang sederhana dan terbatas. Tidak ada perjuangan yang tidak layak dihormati hanya karena berlangsung di lorong sempit berlantai semen. Mereka tetap berjuang mendapatkan pekerjaan lebih baik, menyelesaikan studi, atau bahkan sekedar tetap hidup lebih stabil. Meskipun dibalik perjuangan akan ada tantangan, di ruang terbatas itulah kehidupan terus berjalan bersama mimpi yang tetap tumbuh.
Sebagai pengingat kita bersama bahwa nilai seseorang tidak ditentukan dari bangunan ia tinggal, tetapi keberanian untuk menjalani hidup meski hidup tak memberikan banyak ruang. Di balik tembok Rusunawa, sedang dibangun perlahan suatu masa depan, bukan sebagai suatu bentuk kemewahan akan tetapi suatu keteguhan hati dan harapan yang tidak pernah padam.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
