Sekolah Harus Jadi Tempat Aman, Bukan Arena Bully
Info Terkini | 2025-12-08 20:50:35
Sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman, dihargai, dan nyaman untuk belajar, tempat siswa tumbuh dan membentuk karakter. Namun kenyataannya, bullying masih menjadi masalah serius di Indonesia, baik secara fisik, verbal, maupun melalui media sosial. JPPI mencatat 573 kasus kekerasan di lembaga pendidikan sepanjang 2024, dengan 31% di antaranya adalah bullying, PISA mencatat 41% siswa Indonesia pernah menjadi korban, dan laporan Kemendikbudristek menyebut 24% siswa mengaku mengalami perundungan. Kekhawatiran ini diperkuat oleh Menteri HAM, Natalius Pigai, yang meminta pengawasan lebih ketat dan menurunkan tim khusus untuk memantau kasus dugaan perundungan yang menyebabkan kematian mahasiswa Unud, Timothy Anugrah Saputra, menunjukkan bahwa bullying bukan sekadar masalah sekolah, tetapi persoalan serius yang menyangkut hak asasi manusia.Oleh sebab itu, bullying tidak boleh dianggap sepele. Pencegahannya membutuhkan kerja sama semua pihak sekolah harus memiliki aturan dan sistem pencegahan yang jelas, guru harus peka terhadap perubahan perilaku siswa, siswa perlu dibiasakan saling menghargai dan berani melapor, dan orang tua harus aktif memantau serta bekerja sama dengan pihak sekolah. Dengan keterlibatan semua pihak, sekolah dapat menjadi tempat yang benar-benar aman dan nyaman bagi seluruh siswa.
Bentuk Bentuk Bullying
Bullying di sekolah tidak selalu tampak dalam bentuk kekerasan fisik. Ada berbagai jenis perundungan yang sering sulit terdeteksi oleh guru maupun orang tua. Bullying fisik, seperti memukul, menendang, atau merusak barang milik teman, memang mudah terlihat, tetapi korban sering takut melapor karena khawatir dibalas pelaku. Selain itu, bullying verbal berupa ejekan, hinaan, panggilan nama yang merendahkan, atau komentar kasar juga bisa meninggalkan luka batin yang lebih sulit disembuhkan. Survei di salah satu sekolah di Indonesia menunjukkan bahwa 73% siswa pernah mengalami bullying verbal, sedangkan bullying fisik dialami sekitar 24% siswa. Ini menunjukkan bahwa bentuk bullying yang tampak “ringan” bisa sangat menyakitkan.
Bullying sosial terjadi melalui pengucilan, dijauhi teman, atau tidak diajak bermain. Korban merasa terasing, sendirian, dan mulai meragukan nilai dirinya. Data dari KPPPA 2022 menunjukkan bahwa sekitar 36% anak usia sekolah di Indonesia mengalami bullying sosial. Di era digital, cyberbullying semakin mengancam. Bentuknya bisa berupa penyebaran foto memalukan, komentar jahat, atau pesan anonim melalui media sosial. Bullying digital ini bisa terjadi kapan saja dan menyebar luas, sehingga dampaknya lebih sulit dikendalikan. Survei global menunjukkan bahwa 1 dari 6 anak sekolah pernah menjadi korban cyberbullying.
Dampak Bullying
Dampak bullying bagi korban tidak berhenti saat kejadian berlangsung. Banyak siswa menjadi takut datang ke sekolah karena khawatir perundungan akan terulang. Ketakutan ini membuat mereka sulit berkonsentrasi, lebih sering absen, bahkan ada yang memilih pindah sekolah untuk menghindari pelaku. Prestasi belajar pun menurun karena stres dan rasa cemas mengganggu fokus. Selain itu, korban sering merasa sedih, tertekan, kehilangan motivasi, dan dalam kasus berat dapat mengalami depresi atau gangguan kecemasan. Trauma jangka panjang juga bisa muncul, membuat korban kehilangan kepercayaan diri, enggan berinteraksi dengan orang lain, dan merasa tidak pantas dihargai, sehingga pendampingan profesional sering diperlukan untuk memulihkan kondisi mental mereka.
Kasus nyata menunjukkan betapa serius perundungan bisa berakibat tragis. Pada Oktober 2025, seorang mahasiswa Unud bernama Timothy ditemukan meninggal dunia dan diduga menjadi korban perundungan oleh rekan‑rekannya. Rektor Unud telah membentuk tim investigasi khusus untuk menelusuri dugaan perundungan tersebut. Pihak Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) pun menurunkan tim dari kantor wilayah Bali untuk memantau kasus ini. Pemerintah menyatakan bahwa kampus harus menjadi ruang aman bagi mahasiswa, bebas dari bullying, kekerasan, atau tindakan penganiayaan. Jika nantinya ditemukan pelanggaran hukum, akan dilanjutkan ke aparat guna memberi sanksi. Dampak bullying yang tadi disebutkan seperti stres, kecemasan, depresi, penurunan motivasi belajar, dan trauma bukan hanya teori, dalam kasus Timothy dugaan perundungan di kampus memunculkan kritik publik besar terhadap lingkungan akademik.
Dampak bullying tidak hanya dirasakan korban, tetapi juga dapat menghancurkan rasa aman di lingkungan sekolah/kampus. Lingkungan yang seharusnya mendukung malah bisa menjadi tempat ketakutan, ketegangan, dan kecurigaan. Jika perundungan dibiarkan, budaya kekerasan bisa dianggap normal menurunkan nilai empati, toleransi, dan saling menghargai. Sebaliknya, kasus seperti ini menunjukkan bahwa tanpa penanganan serius dan kesadaran bersama, konsekuensi bagi korban dan komunitas bisa sangat besar
Upaya Membangun Sekolah Bebas Bulliying
Guru dan kepala sekolah memegang peran penting dalam menciptakan lingkungan sekolah yang aman dari bullying. Mereka bukan hanya mengajar, tetapi juga mengawasi, membimbing karakter, dan melindungi siswa. Karena itu, kepekaan terhadap perubahan perilaku anak sangat dibutuhkan. Data KPAI pada 2022 menunjukkan bahwa 70% korban bullying tidak berani melapor karena takut dianggap mengadu atau takut dibalas pelaku. Selain itu, Kemendikbudristek mencatat bahwa 42% kasus kekerasan di sekolah muncul karena pengawasan dan penanganan yang kurang cepat. Maka, ketika guru melihat siswa yang biasanya aktif tiba-tiba menyendiri, sering absen, atau tampak gelisah, hal itu bisa menjadi sinyal awal terjadinya perundungan. Untuk mencegah masalah berkembang, sekolah perlu menyediakan sistem pelaporan yang aman dan rahasia. Ini sesuai dengan prinsip Sekolah Ramah Anak yang mewajibkan adanya kotak aduan, layanan konseling, atau pelaporan digital yang tidak menakutkan. Kepala sekolah juga harus memastikan setiap laporan ditangani dengan cepat dan adil, sesuai aturan pemerintah seperti Permendikbud No. 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan.
Peran orang tua juga sangat penting. Di rumah, orang tua perlu menanamkan nilai empati, sopan santun, dan menghargai orang lain. Komunikasi yang hangat dapat membuat anak merasa aman untuk bercerita. Menurut JPPI, 60% anak korban bullying menunjukkan perubahan emosi atau perilaku, sehingga orang tua perlu peka terhadap tanda-tanda ini. Bahkan survei UNICEF menunjukkan bahwa komunikasi yang baik antara orang tua dan anak dapat menurunkan risiko bullying hingga 30%. Siswa pun memiliki peran besar. Mereka tidak boleh hanya menjadi penonton pasif, tetapi diajak menjadi “teman pelindung” yang berani mencegah perundungan, tidak ikut menertawakan, tidak merekam, dan mau membela teman yang diperlakukan tidak adil. Menurut UNESCO, lebih dari 80% kasus bullying berhenti ketika ada teman yang berani membela korban, sehingga keberanian dan empati antar siswa sangat berpengaruh dalam menciptakan lingkungan sekolah yang lebih aman.
Selain sekolah dan keluarga, pemerintah dan masyarakat juga harus terlibat aktif. Pemerintah telah mengeluarkan beberapa aturan penting, salah satunya Permendikbud No. 82 Tahun 2015 dan program Sekolah Ramah Anak yang sudah disosialisasikan ke lebih dari 135 ribu sekolah. Masyarakat pun dapat membantu melalui kampanye anti-bullying, kegiatan edukatif, dan membangun budaya yang saling menghargai. Membangun sekolah bebas bullying adalah tanggung jawab bersama. Ketika guru, orang tua, siswa, pemerintah, dan masyarakat bergerak bersama, sekolah dapat menjadi tempat yang aman, nyaman, dan mendukung perkembangan setiap anak tanpa rasa takut.
Aspek Hukum dan Tanggung Jawab Pelaku
Bullying di Indonesia bukanlah masalah sepele, karena pelaku dapat dikenai sanksi hukum sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Perlindungan Anak. Dalam UU No. 35 Tahun 2014, kekerasan terhadap anak baik fisik, verbal, maupun psikologis dapat dipidana hingga 3 tahun 6 bulan, bahkan 15 tahun jika menyebabkan luka berat atau kematian. KUHP juga mengatur bahwa tindakan penganiayaan atau intimidasi dapat dijerat dengan Pasal 351, yang ancamannya bisa mencapai 5 tahun penjara. Hal ini menunjukkan bahwa perundungan, meskipun terlihat kecil, sesungguhnya adalah pelanggaran serius yang berdampak hukum. Untuk bullying yang terjadi di dunia maya, pelaku juga bisa dijerat UU ITE Pasal 27 ayat (3) jika menyebarkan konten yang mempermalukan atau merendahkan korban. Hukuman yang dikenakan tidak ringan, yaitu 4 tahun penjara dan denda hingga Rp750 juta. Data dari Kominfo tahun 2023 bahkan menunjukkan bahwa laporan cyberbullying meningkat sekitar 50% dalam dua tahun terakhir, sehingga penanganan hukum sangat diperlukan agar pelaku jera dan korban mendapatkan keadilan.
Di sisi lain, sekolah memiliki tanggung jawab besar dalam menangani kasus bullying. Berdasarkan Permendikbud No. 46 Tahun 2023, sekolah wajib menindaklanjuti laporan maksimal 1 × 24 jam, melindungi korban, serta memberikan pembinaan atau sanksi kepada pelaku. Namun, KPAI mencatat bahwa sekitar 40% kasus bullying tidak ditangani dengan tepat, bahkan ada sekolah yang memilih menutup-nutupi kasus untuk menjaga nama baik. Jika sekolah mengabaikan atau tidak menindak kasus bullying, mereka bisa menerima sanksi administratif, mulai dari peringatan tertulis hingga pencabutan izin operasional. Selain itu, sekolah juga bisa kehilangan kepercayaan masyarakat, karena survei Kemendikbudristek 2022 menunjukkan bahwa 70% orang tua akan mempertimbangkan memindahkan anaknya jika sekolah tidak transparan menangani kasus kekerasan. Dengan penanganan yang tegas, cepat, dan transparan, sekolah dapat menciptakan lingkungan yang aman dan bebas dari perundungan. Tindakan ini juga menjadi pesan jelas bahwa kekerasan dalam bentuk apa pun tidak akan ditoleransi, baik oleh hukum maupun oleh lingkungan pendidikan.
Studi Kasus dan Inspirasi
Kasus yang menimpa mahasiswa bernama Timothy di Universitas Udayana menjadi peringatan keras bagi seluruh masyarakat pendidikan di Indonesia. Timothy mengalami perundungan yang berujung tragis hingga meninggal dunia. Kejadian ini menyadarkan kita bahwa bullying bukanlah masalah sepele atau sekadar candaan antarteman. Dampak perundungan bisa sangat serius, bahkan mengancam nyawa, terutama bila tidak segera ditangani. Kasus ini juga menunjukkan pentingnya pengawasan dan tanggung jawab semua pihak, termasuk pemerintah. Menanggapi kejadian tersebut, Kementerian Hukum dan HAM menurunkan tim untuk memantau kasus dan memastikan proses hukum berjalan transparan. Langkah ini menekankan bahwa korban bullying harus mendapatkan perlindungan, sementara pelaku harus diproses sesuai hukum yang berlaku. Selain itu, kasus Timothy menjadi pengingat bagi universitas dan sekolah di seluruh Indonesia untuk lebih serius dalam mencegah bullying, tidak menutup-nutupi kejadian, dan menyediakan dukungan psikologis bagi mahasiswa dan siswa.
Di sisi lain, ada kisah-kisah inspiratif dari beberapa sekolah di Indonesia yang berhasil menciptakan lingkungan belajar bebas dari bullying. Sekolah-sekolah ini menerapkan pendekatan zero tolerance terhadap perundungan. Mereka menekankan bahwa setiap bentuk bullying, baik fisik, verbal, sosial, maupun digital, tidak akan ditoleransi. Upaya pencegahan dilakukan melalui berbagai langkah, seperti pembiasaan perilaku positif, kegiatan konseling rutin, dan pelatihan karakter bagi siswa. Guru dan staf sekolah juga dilatih untuk mendeteksi tanda-tanda bullying sejak dini serta menindaklanjuti laporan dengan cepat dan adil. Hasilnya, lingkungan sekolah menjadi lebih aman, hangat, dan saling menghargai antar siswa. Siswa yang sebelumnya takut untuk bersosialisasi kini bisa belajar dengan nyaman, menumbuhkan rasa percaya diri, dan membangun persahabatan yang sehat.
Simpulan dan Rekomendasi
Sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi setiap siswa, di mana mereka bisa belajar, bermain, dan berkembang tanpa rasa takut. Lingkungan sekolah yang sehat tidak hanya penting bagi prestasi akademik, tetapi juga bagi pembentukan karakter, rasa percaya diri, dan kesejahteraan mental anak-anak. Saat sekolah gagal menciptakan lingkungan seperti ini, dampaknya bisa luas, baik bagi korban bullying maupun bagi seluruh warga sekolah.
Bullying bukan sekadar kenakalan atau perilaku “biasa” anak sekolah. Ia merupakan pelanggaran moral yang serius, bahkan bisa menimbulkan konsekuensi hukum. Pelaku bullying dapat dikenai sanksi berdasarkan KUHP maupun Undang-Undang Perlindungan Anak, sementara sekolah yang lalai menindaklanjuti kasus bullying berisiko terkena sanksi administratif dan kehilangan kepercayaan publik. Dengan demikian, pencegahan dan penanganan bullying bukan hanya masalah etika, tetapi juga tanggung jawab hukum bagi semua pihak terkait.
Upaya pencegahan harus dilakukan secara bersama-sama, melibatkan guru, kepala sekolah, orang tua, siswa, masyarakat, dan pemerintah. Guru dan kepala sekolah perlu membangun budaya empati dan saling menghargai, sambil menindaklanjuti setiap laporan bullying dengan tegas. Orang tua membimbing anak agar tidak menjadi pelaku maupun korban, sekaligus mendorong komunikasi terbuka di rumah. Siswa diajak menjadi teman pelindung bagi temannya, bukan ikut menertawakan korban. Pemerintah dan masyarakat mendukung melalui regulasi yang jelas, program edukasi, dan pengawasan yang nyata, seperti implementasi Sekolah Ramah Anak.
Dengan komitmen dan kerja sama semua pihak, sekolah dapat benar-benar menjadi ruang tumbuh yang penuh kasih, aman, dan mendukung perkembangan setiap anak. Sekolah bukan lagi arena untuk menakut-nakuti atau merendahkan, melainkan tempat yang menumbuhkan rasa percaya diri, persahabatan, dan karakter positif. Menciptakan lingkungan sekolah bebas bullying bukan tugas satu pihak, tetapi tanggung jawab bersama yang harus dijalankan dengan serius demi masa depan generasi muda yang lebih baik.
Penulis: Huriyah Mahirah Mahasiswi Manajemen Pendidikan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
