Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Aghnia Nailal Husna

Banjir Sumatra: Ketika Bencana Alam Menjadi Cermin Ketidakadilan

Info Terkini | 2025-12-08 12:03:13

Banjir dan longsor yang melanda berbagai wilayah di Sumatra kembali menunjukkan betapa rapuhnya kesiapsiagaan kita menghadapi krisis ekologis yang terus berulang. Hingga 7 Desember 2025, BNPB mencatat 921 korban meninggal, 392 orang hilang, dan hampir satu juta warga mengungsi. Angka itu tidak berdiri sendiri; ia mewakili keluarga yang tercerabut dari rumah, ruang hidup yang porak-poranda, serta masa depan yang berubah hanya dalam hitungan jam.

Di balik laporan resmi, terlihat jelas bagaimana warga di bantaran sungai, lereng perbukitan, dan pedalaman Sumatra menjadi kelompok yang paling menderita. Mereka tinggal di zona rawan bukan karena pilihan, tetapi karena himpitan ekonomi yang tidak memberi ruang untuk bermigrasi ke tempat yang lebih aman. Ketika air datang begitu cepat, bukan hanya rumah yang hilang: sawah, perahu kecil, hewan ternak, hingga alat kerja yang menjadi sumber nafkah ikut tersapu. Banyak penyintas yang hanya bisa menggenggam satu-dua barang yang tersisa, menunggu bantuan sambil duduk di tengah lumpur yang menelan hampir seluruh hidup mereka.

Peristiwa di Sumatra kembali menguatkan kenyataan bahwa bencana tidak pernah menghantam semua orang secara setara. Mereka yang ekonominya paling lemah justru menanggung kerusakan paling besar. Di sisi lain, kelompok yang lebih mapan memiliki akses yang memungkinkan mereka bertahan, baik melalui tempat tinggal yang lebih layak maupun kemampuan untuk memulihkan kerugian. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa banjir bukan sekadar urusan air yang meluap, tetapi juga tentang struktur sosial yang timpang.

Sejumlah kerangka teori membantu membaca fenomena ini. Structural vulnerability menjelaskan bahwa risiko tidak hanya datang dari lokasi, tetapi dari kondisi sosial dan ekonomi yang membuat seseorang tidak mampu melindungi dirinya. Sementara poverty trap memperlihatkan bagaimana bencana dapat menjerumuskan keluarga miskin ke situasi yang lebih sulit: ketika rumah dan alat produksi hilang, peluang bangkit menjadi sangat kecil tanpa dukungan negara. Di banyak desa di Sumatra, apa yang hilang bukan hanya aset material, tetapi kesempatan untuk memulai kembali hidup.

Gagasan environmental injustice juga tampak begitu nyata. Kelompok berpendapatan rendah selalu memikul beban paling berat dari kerusakan lingkungan. Mereka tidak memiliki kekuatan untuk menolak pembukaan hutan atau tambang yang memperparah risiko banjir. Ketika curah hujan ekstrem datang, mereka menjadi pihak yang paling terpapar.

Selain itu, persoalan tata kelola tidak bisa dipisahkan dari rangkaian krisis ini. Lemahnya pengawasan, izin pemanfaatan lahan yang longgar, serta tata ruang yang mengabaikan mitigasi bencana memperbesar kerentanan masyarakat. Kerusakan yang terjadi bukan sekadar “musibah alam”, tetapi cerminan dari keputusan-keputusan yang gagal melindungi warga yang paling rapuh.

Melihat skala kerusakan, pembenahan harus dilakukan dari hulu hingga hilir. Negara perlu memperketat pengawasan, menegakkan aturan lingkungan, memperbaiki sistem mitigasi, dan memastikan kelompok rentan memiliki akses ke permukiman aman. Bantuan darurat penting, tetapi tidak cukup. Pemulihan harus bersifat jangka panjang dan mampu memutus siklus kerentanan yang selalu berulang.

Tragedi yang menyapu Sumatra ini menjadi pengingat bahwa keselamatan masyarakat, terutama mereka yang paling tertinggal, harus menjadi prioritas utama pembangunan. Sebab ketika kelompok paling rentan dibiarkan tenggelam, kita sebagai bangsa pun ikut hanyut dalam ketidakpedulian yang kita biarkan tumbuh.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image