Kecantikan yang Dikonstruksi: Bagaimana Media Sosial Membentuk Persepsi Perempuan
Cantik | 2025-12-08 01:42:57Seperti kanvas yang terus dilukis ulang oleh tangan tak terlihat, kecantikan perempuan direkayasa media menjadi mimpi rapuh yang menari di layar ponsel. Media massa dan digital terus membentuk persepsi kecantikan perempuan melalui narasi ideal yang sempit dan tidak realistis, menciptakan tekanan sosial masif serta gangguan kesehatan mental. Proses ini melibatkan iklan, film, dan platform sosial yang mempromosikan standar seperti kulit cerah, pinggang ramping, serta fitur wajah simetris. Akibatnya, keragaman penampilan alami terpinggirkan, memaksa perempuan mengejar citra yang sering kali mustahil.
Di era media sosial, konstruksi kecantikan berlangsung dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi karena visual menjadi bahasa utama yang membentuk cara perempuan melihat diri mereka. Platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube tidak hanya menampilkan wajah dan tubuh, tetapi juga menciptakan norma yang kemudian diterima sebagai standar umum. Perempuan akhirnya tidak hanya menjadi penikmat konten tetapi juga objek dan subjek yang turut mempertahankan standar tersebut secara tidak sadar. Dalam arus itu, standar kecantikan bukan hanya diterima, tetapi juga dijalankan, dipertahankan, dan diwariskan melalui unggahan-unggahan yang tampak sederhana namun sarat makna sosial.
Dalam kehidupan digital, tubuh perempuan tidak hanya dilihat tetapi juga diperlakukan sebagai proyek. Banyak perempuan kemudian melakukan ritual-ritual tertentu untuk memenuhi gambaran ideal tersebut. Mulai dari perawatan skincare yang berlapis-lapis, penggunaan make up natural untuk menciptakan wajah yang tampak “tanpa riasan”, diet yang mengikuti tren populer, hingga perawatan salon dan konsumsi vitamin kulit. Di platform seperti TikTok, rutinitas ini dianggap hal wajar karena hampir setiap creator memamerkan langkah-langkah perawatan wajah atau tubuh mereka. Ketika praktik ini dibagikan tiap hari, perempuan lain merasa perlu mengikuti ritme serupa agar tidak tertinggal. Tekanan itu muncul bukan hanya karena ingin cantik, tetapi karena takut terlihat “kurang”.
Fenomena ini juga tercermin pada cara perempuan memandang tubuh ideal. Banyak yang beranggapan bahwa tubuh yang ramping, perut rata, lengan maupun paha yang kecil adalah bentuk tubuh paling layak untuk ditampilkan. Gambaran tubuh ideal seperti ini sering muncul dalam artikel kecantikan, ulasan produk, dan tutorial olahraga. Meski demikian, sebagian perempuan yang lebih kritis mengakui bahwa tubuh ideal sebenarnya tidak harus mengikuti pola seragam tersebut. Pergeseran makna ini muncul karena perempuan kini lebih banyak terpapar ragam tubuh di internet, sekalipun representasinya masih belum seimbang.
Media sosial tidak hanya membentuk standar visual, tetapi juga mempengaruhi cara perempuan memaknai wajah mereka. Banyak yang merasa bahwa wajah cantik adalah wajah yang cerah, mulus, dan awet muda. Produk anti-aging, serum pencerah, dan krim perawatan menjadi konsumsi rutin untuk mempertahankan citra tersebut. Namun, ada juga perempuan yang memaknai kecantikan secara lebih luas. Kerutan dianggap sebagai proses alami, bukan aib. Kulit gelap tetap dapat tampil menawan jika sehat dan bersih. Pola pikir ini lahir dari pemahaman bahwa kecantikan tidak harus dipaksakan untuk meniru figur tertentu. Meski begitu, tekanan halus yang diciptakan media kadang membuat perempuan tetap merasa perlu mengikuti standar awet muda agar tidak dianggap “menurun”.
Interaksi perempuan dengan standar kecantikan tidak bersifat pasif. Ada kalanya perempuan menolak standar yang disajikan media ketika merasa bahwa standar itu tidak realistis. Namun, resistensi seringkali kalah kuat dibanding pengaruh algoritma. Platform media sosial cenderung mempromosikan konten dengan estetika serupa karena konten tersebut lebih sering diberi tanda suka, dikomentari, dan dibagikan. Pola ini menciptakan sirkulasi yang menguntungkan visual tertentu, sementara visual yang lebih beragam sulit naik ke permukaan. Dalam situasi seperti ini, perempuan tidak hanya menjadi objek yang dilihat, tetapi juga subjek yang merasa perlu menampilkan dirinya agar sesuai dengan standar yang sedang dominan. Pada titik tertentu, keinginan untuk diterima oleh ruang digital menjadi lebih kuat daripada keinginan untuk menampilkan diri apa adanya.
Jika ditelusuri lebih dalam, standar kecantikan di media sosial juga berakar pada struktur patriarki yang sejak lama membentuk posisi perempuan. Kecantikan diperlakukan sebagai kualitas utama perempuan, bukan sekadar pilihan. Tubuh perempuan menjadi arena penilaian yang tidak ada habisnya, baik oleh laki-laki maupun perempuan lain yang sudah terpengaruh oleh konstruksi itu. Media sosial memperkuat mekanisme pengawasan ini. Setiap unggahan bisa dikomentari, dinilai, bahkan dibandingkan dengan unggahan perempuan lain. Situasi ini seperti ruang pengawasan tanpa dinding, di mana perempuan selalu merasa diperhatikan dan secara tidak sadar mendisiplinkan dirinya agar sesuai dengan ekspektasi umum.
Namun, media sosial tidak selalu menghadirkan sisi gelap. Ada juga ruang perlawanan yang muncul dari komunitas-komunitas yang mengangkat isu self-love, body positivity, dan self-acceptance. Perempuan yang sebelumnya merasa dikekang oleh standar tertentu mulai berani menampilkan tubuh dan wajah mereka tanpa filter, bahkan membagikan pengalaman menghadapi insekuritas. Kehadiran narasi seperti ini penting sebagai penyeimbang, meski belum cukup kuat untuk menggeser narasi dominan. Tantangannya terletak pada bagaimana ide-ide ini sering kali ikut terjebak dalam komodifikasi. Banyak brand memanfaatkan istilah self-love sebagai strategi pemasaran, sehingga semangat perlawanan itu kehilangan kedalaman kritisnya dan berubah menjadi slogan kosmetik.
Melihat gelombang konstruksi kecantikan yang begitu kuat, perempuan perlu memiliki jarak reflektif ketika berhadapan dengan media sosial. Kesadaran bahwa standar kecantikan dibentuk secara sosial membantu perempuan memahami bahwa mereka memiliki ruang untuk memilih, menafsirkan, bahkan menolak standar yang membatasi. Kecantikan tidak harus dibentuk oleh kamera atau algoritma. Ia bisa lahir dari pemahaman diri yang utuh, dari kesehatan fisik dan mental, serta dari kemampuan menerima keberagaman tubuh manusia.
Pada akhirnya, standar kecantikan yang dibentuk oleh media sosial hanyalah salah satu perspektif dari sekian banyak perspektif yang dapat dipilih perempuan. Selama perempuan memahami bahwa perspektif tersebut tidak bersifat mutlak, tekanan untuk terus menyesuaikan diri perlahan dapat melemah. Dunia digital memang penuh citra yang menjanjikan kesempurnaan, tetapi kesempurnaan itu tidak lebih dari ilusi yang dibangun oleh cahaya, filter, dan kebiasaan visual. Kecantikan sejatinya tidak dapat ditentukan oleh standar tunggal, dan perempuan memiliki hak penuh untuk mendefinisikannya sendiri.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
