Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Luthfia Jilan

Dampak Fatherless pada Perkembangan Anak: Realitas dan Upaya Pemulihan

Eduaksi | 2025-12-07 22:24:05

Fenomena fatherless, merupakan ketiadaan figur ayah baik secara fisik maupun emosional, semakin banyak diperbincangkan pada saat ini. Berbagai perubahan dalam struktur keluarga, tuntutan ekonomi, konflik rumah tangga, hingga perceraian menyebabkan banyak anak tumbuh tanpa keterlibatan seorang ayah. Ketidakhadiran ayah bukan hanya berarti hilangnya sosok laki-laki dalam keluarga, tetapi juga hilangnya peran penting sebagai pelindung, panutan, dan pemberi rasa aman. Fatherless diartikan sebagai seorang anak yang memiliki ayah, namun ayahnya tidak hadir secara maksimal dalam proses tumbuh kembang anaknya. Menurut data dari United Nations Children's Fund (UNICEF) pada tahun 2021, sekitar 20,9% anak di Indonesia tumbuh tanpa kehadiran ayah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan hanya 37,17 Persen anak usia 0-5 tahun yang diasuh bersama kedua Orangtuanya. Hal ini menunjukkan s ikap anak yang tidak memiliki peran ayah menjadi isu yang berdampak pada perkembangan psikologis, sosial, dan pendidikan anak.

Dalam kajian psikologi perkembangan, ayah memiliki peran yang berbeda namun saling melengkapi dengan peran ibu. Penelitian menunjukkan bahwa anak yang tumbuh tanpa figur ayah lebih berisiko mengalami rendahnya kepercayaan diri, kesulitan dalam mengatur emosi, serta munculnya masalah perilaku. Menurut Fajarrini & Umam (2023), kehadiran seorang ayah sangat berpengaruh dalam kehidupan anak, karena peran ayah akan memberikan kesan bagi anak hingga anak dewasa. Dalam penelitian (Widyastuti et al. 2023) menunjukkan bahwa ayah mempunyai peran yang sangat penting dalam mencegah perilaku kekerasan, khususnya kekerasan seksual. Hal ini juga menunjukkan pentingnya kehadiran orang tua (ayah) dalam tumbuh kembang anak, khususnya anak perempuan. Fatherless tidak hanya terjadi ketika ayah tidak tinggal bersama anak, tetapi juga ketika ayah hadir secara fisik namun tidak terlibat secara emosional. Dengan bertambahnya jumlah keluarga dengan satu orang tua dan semakin terbukanya akses informasi, masyarakat kini semakin memahami bahwa ketidakhadiran ayah memiliki dampak yang signifikan bagi kesejahteraan anak. Jadi dalam keluarga untuk menjaga keseimbangan dalam menjaga tumbuh kembang anak peran ayah sangat dibutuhkan untuk meningkatkan rasa percaya diri, mengatur emosi dan mengatasi permasalahan yang dihadapinya.

Seseorang yang kehilangan peran ayah akan menghadapi hambatan sosial dan emosional, seperti rasa kehilangan, kebingungan jati diri, dan tekanan sosial akibat masyarakat. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa motivasi belajar anak dapat menurun karena hilangnya figur yang biasanya memberikan disiplin. Para ahli menegaskan bahwa ayah bukan hanya mencari nafkah, tetapi juga fondasi emosional yang membentuk rasa aman anak. Ketidakhadiran ayah menciptakan kekosongan emosional yang sering baru disadari ketika anak beranjak remaja. Menurut Yuliana Dkk (2023), Fatherless merupakan fenomena ketika ayah tidak bertanggung jawab untuk memenuhi kewajiban dan keinginan sebagai sosok ayah. Hal ini menunjukkan bahwa dampak dari fenomena yatim piatu bersifat jangka panjang dan tidak dapat diabaikan. Jadi ketidakhadiran seorang ayah akan berdampak pada psikis anak yang dapat berpengaruh terhadap pembentukan jati diri anak, tekanan sosial, rasa aman dalam keluarga.

Pembahasan mengenai anak yang mengalamai anak yang mengalami yatim dilakukan karena fenomena ini tidak hanya mempengaruhi individu, tetapi juga pola interaksi keluarga dan masyarakat. Jika tidak mendapat pendampingan yang tepat, anak yang kehilangan peran ayah akan memgalami masalah emosional dan perilaku. Misalnya, anak yang kurang mendapatkan perhatian ayah dapat tumbuh dengan kebutuhan emosional yang berlebihan sehingga rentan membentuk hubungan yang tidak sehat. Menurut Hanifah, DKK (2024), kurangnya peran ayah ( fatherless) dalam kehidupan remaja akan berdampak pada berbagai aspek psikologi perkembangannya, termasuk pada kondisi sosioemosional mereka. Sama halnya dengan anak laki-laki yang tidak memiliki panutan ayah pun dapat mengalami kebingungan identitas dan mencari sosok pengganti di lingkungan yang kurang mendukung. Hal ini menguatkan bahwa peran ayah sangat penting dalam membentuk dasar perkembangan psikologis anak.

Melihat berbagai dampak yang ditimbulkan, diperlukan upaya untuk mengatasi dan meminimalkan fenomena anak yatim di Indonesia. Upaya pertama yang perlu dilakukan adalah dengan meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan. Edukasi mengenai peran ayah dapat dilakukan melalui kegiatan penyuluhan keluarga, seminar parenting, maupun penyebaran informasi melalui media sosial. Ketika masyarakat memahami bahwa ayah tidak hanya bertanggung jawab dalam aspek ekonomi, tetapi juga berperan penting dalam perkembangan emosional dan moral anak, maka diharapkan para ayah lebih termotivasi untuk terlibat secara aktif.

Selain itu, perlu adanya pendampingan keluarga yang komprehensif untuk mencegah hilangnya peran ayah akibat konflik rumah tangga. Layanan konseling keluarga, mediasi perceraian, dan terapi pasangan dapat membantu orang tua mengelola konflik sehingga ayah tetap dapat mempertahankan hubungan yang sehat dengan anak meskipun terjadi perubahan dalam struktur keluarga. Pemerintah dan lembaga sosial juga dapat berperan dengan memperluas akses terhadap layanan konseling keluarga agar masyarakat dapat memperoleh dukungan profesional ketika menghadapi masalah dalam pernikahan dan pengasuhan.

Upaya lain adalah menyediakan lingkungan sosial yang mendukung anak yang kehilangan peran ayah. Sekolah sebagai lingkungan kedua setelah keluarga dapat menjadi wadah bagi anak untuk mendapatkan perhatian, bimbingan, dan konsistensi. Peran dari guru, BP/BK, dan tenaga pendidik dapat bersinergi untuk memberikan pengembangan karakter anak disekolah. Kegiatan yang dilakukan untuk mengukur keberhasilan peserta yaitu dengan cara mengikuti pre-test dan post-test sebelum dan sesudah materi. Program mentoring juga dapat diterapkan untuk memberikan anak dewasa dapat menjadi teladan. Hal ini bahwa konseling remaja termasuk berbicara tentang masalah mereka dan membantu mereka memutuskan apa yang harus mereka lakukan untuk menyelesaikan masalah dan kesulitan.

Secara keseluruhan fatheless merupakan fenomena yang kompleks dan berdampak luas. Kehadiran ayah tidak hanya berkaitan dengan keberadaan fisik, tetapi juga keterlibatan emosional yang sangat mempengaruhi hubungan orang tua dan anak. Meskipun membawa tantangan, dampak yatim piatu dapat dikurangi melalui dukungan keluarga, lingkungan sosial, dan pendidikan emosional yang baik. Dengan kesadaran, pendampingan, dan program yang berkelanjutan, anak yang kehilangan peran ayah akan tetap dapat berkembang menjadi individu yang sehat secara emosional dan sosial.

Referensi:

Hanifah, G., M Dhea. RG, Khalda. SB, Ulya, DA, Aditya, NN, & Hamidah, S., (2024). Analisis Dampak Fatherless terhadap Kondisi Sosial Emosional Remaja. Jurnal Psikoedukasi dan Konseling. 8(1), 40-52. http://doi.org/10.20961/jpk.v8i1.86944

Fajarrini, A., & Umam, AN (2023). Dampak Fatherless terhadap Karakter Anak dalam Pandangan Islam. Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini, 3(1), 20–28. doi: 10.32665/abata.v3i1.1425

Yuliana, L.,E., Khusmas, A., & Ansar, W. (2023). Fenomena fatherless dan mempengaruhi perkembangan psikososial anak Pengaruh Fatherless Terhadap Kontrol Diri Remaja Yang Tidak Tinggal Bersama Ayah. Pinisi Jurnal Studi Seni, Kemanusiaan & Sosial, 3(5).

Widyastuti, N. Mutmainna, N. Ramadhana, NL Ramadhana, dan ZA Amir. 2023. “Tanpa Ayah Dan Kekerasan Seksual.” Jurnal Psikologi Forensik Indonesia 3(1):201–5

https://beredukasi.com/data-united-nations-childrens-fund-unicef-menunjukkan-sekitar-209-persen-anak-di-indonesia-tidak-memiliki-figur-ayah/ .

Penulis : Luthfia Jilan Azza I Mahasiswa Psikologi Semester 5 UMS.

#psikologi#keluarga#takberayah#keluarga

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image