Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Harisuddin

Bencana sebagai Panggung: Membaca Psikologi di Balik Aksi Tokoh Publik

Politik | 2025-12-07 22:14:00
Bencana di Sumatera Utara. Foto: Antara.

Ketika bencana alam kembali menghantam Sumatera, publik berharap pemerintah bergerak cepat bukan hanya menurunkan bantuan logistik, tetapi juga menghadirkan kepemimpinan yang menenangkan rakyat. Namun, di tengah kekacauan itu, ruang digital justru dipenuhi potongan video dan foto para politisi yang tampak lebih sibuk membangun citra ketimbang mengulurkan tangan.

Fenomena ini kembali menjadi sorotan setelah kehadiran dua figur publik, politik senior Zulkifli Hasan dan aktor yang kini terjun ke dunia politik, Verrel Bramasta, yang turut datang ke lokasi bencana dengan kamera, tim dokumentasi, dan framing tertentu. Kejadian ini memicu gelombang perdebatan: apakah mereka benar-benar hadir karena peduli, atau ini bagian dari strategi politik dan pencitraan?

Kehadiran politisi tampil saat bencana bukan hal baru. Kemunculan mereka yang lengkap dengan seabrek alat publikasi untuk kebutuhan pencitraan di media sosial, itu membuat publik semakin peka.

Untuk memahami dinamika ini, kita perlu melihatnya bukan sekadar dari sudut pandang politik praktis, tetapi dari perspektif psikologi politik dan psikologi sosial. Keduanya memberikan penjelasan ilmiah mengenai bagaimana tokoh publik membentuk citra, serta mengapa bencana menjadi panggung strategis bagi politisi.

Bencana dan Panggung Pencitraan dalam Psikologi

Dalam psikologi politik, momen krisis termasuk bencana alam adalah situasi yang sangat kuat secara emosional. Saat masyarakat berada dalam ketakutan, kesedihan, dan ketidakpastian, mereka lebih mudah merespons figur yang tampil sebagai “penolong”.

Inilah yang membuat tokoh publik sering muncul dalam momen bencana. Menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh Wulandari et al. (2021), media sosial dapat menjadi tempat bagi partai politik dan kandidat untuk membangun citra yang positif dan memengaruhi opini publik. Bencana memungkinkan politisi menampilkan diri sebagai sosok sigap, peduli, dan dekat dengan rakyat, tiga citra yang sangat kuat secara elektoral.

Kehadiran Zulkifli Hasan di Sumatera menjadi gambaran nyata dari pola tersebut. Dalam video yang diunggah di Instagram @zul.hasan, Ketua Umum Partai Amanat Nasional itu terlihat memanggul karung beras untuk disalurkan kepada warga terdampak banjir di Koto Panjang Ikur Koto, Koto Tangah, Padang, Sumatera Barat pada Ahad, 1 Desember 2025. Ia berjalan dan sembari menyapa masyarakat. "Assalamualaikum, ibu. Ibu rumahnya di mana?" kata Zulkfili di video tersebut. Setelah meletakkan karung beras itu, Ia terlihat mengambil sekop dan membersihkan lumpur di salah satu rumah warga yang terkena banjir.

Mengatur Kesan di Ruang Publik

Dalam psikologi sosial, fenomena ini termasuk dalam impression management atau usaha seseorang untuk mengatur bagaimana ia ingin dipersepsikan oleh orang lain. Dalam ranah pejabat politik, praktik dokumentasi kegiatan dan pengelolaan konten media sosial oleh pejabat politik berfungsi sebagai strategi impression management yang dirancang untuk membangun reputasi, meningkatkan kepercayaan publik, serta memperkuat legitimasi politik melalui penyajian citra yang terkontrol (Wayangkau, Nurhadi, & Kurniawan, 2025).

Ketika bantuan dibagikan sambil direkam, atau ketika seorang tokoh publik berpose dengan korban, tindakan tersebut dirasa kurang etis. Ada niat untuk menunjukkan citra positif. Selain Zulkifli, cara anggota Dewan Perwakilan Rakyat Verrell Bramasta saat mengunjungi korban banjir bandang di Padang, Sumatera Barat juga menuai sorotan warganet. Anggota Komisi X DPR ini berkunjung ke wilayah terdampak banjir dan tanah longsor, pada Ahad, 30 November 2025. Foto Verrel mengunjungi lokasi bencana itu beredar di media sosial. Di foto itu, Verrel menjadi sorotan warganet karena mengenakan rompi serupa rompi antipeluru.

Dengan kata lain, bencana sering menjadi spotlight moment untuk menampilkan sisi terbaik, walaupun publik berhak mempertanyakan: apakah tindakan itu murni untuk korban atau untuk kamera?

Mengapa Pencitraan Politisi Ini Bisa Menghanyutkan Publik?

Konsep penting lainnya adalah parasocial interaction, yaitu hubungan satu arah ketika publik merasa dekat dengan tokoh yang mereka tonton. Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa pengguna media sosial dapat membentuk parasocial relationships terhadap figur publik atau selebritas, meskipun hubungan itu bersifat satu arah dan tanpa interaksi langsung. (Astagini, Kaihatu & Prasetyo, 2017)

Ketika Verrel atau seorang politisi tampil di lokasi bencana, pengikutnya merasa bahwa mereka “benar-benar peduli” atau “tidak seperti pejabat lain”. Hubungan semu ini membuat publik lebih toleran terhadap tindakan pencitraan, dan bahkan membelanya jika ada kritik.

Fenomena ini menunjukkan bahwa psikologi sosial sangat memengaruhi bagaimana publik menafsirkan tindakan tokoh publik dalam bencana. Yang terlihat peduli akan lebih dipercaya, meskipun niat sebenarnya tidak pernah benar-benar diketahui.

Publik Menilai dari Apa yang Terlihat

Dalam situasi bencana, sebagian besar masyarakat tidak punya waktu atau energi untuk menganalisis tindakan politisi secara mendalam. Mereka lebih mengandalkan heuristic processing atau cara berpikir cepat berbasis kesan permukaan. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa respon emosional (seperti takut, marah, cemas) dari publik berperan besar dalam menentukan apakah mereka akan menyalahkan pemerintah atau mempercayainya, sebuah bukti bahwa emosi di tengah bencana memengaruhi persepsi dan sikap publik (Agung, & Maulana, 2021).

Di sinilah kekuatan pencitraan terlihat: Tokoh yang turun langsung → dianggap peduli. Tokoh yang membawa bantuan besar → dianggap dermawan. Tokoh yang hadir di lokasi → dianggap bekerja.

Fenomena kemunculan tokoh publik seperti Zulkifli Hasan dan Verrel pada bencana di Sumatera menunjukkan betapa kuatnya peran psikologi dalam membentuk persepsi publik. Bencana menjadi ruang emosional yang sangat strategis, memungkinkan politisi dan influencer membangun citra melalui impression management, political branding, parasocial interaction, dan heuristic processing.

Apakah tindakan mereka salah? Tidak selalu. Bantuan tetaplah bantuan. Namun, masyarakat perlu menyadari bahwa setiap tindakan tokoh publik, terutama dalam konteks krisis tidak terlepas dari aspek pengelolaan citra. Di sinilah pentingnya literasi psikologi politik: agar publik mampu membedakan antara kepedulian tulus dan tindakan strategis yang menumpang pada penderitaan.

Dengan memahami mekanisme psikologis ini, masyarakat dapat menjadi lebih kritis, tidak mudah terbawa framing, dan mampu menilai seorang tokoh bukan hanya dari apa yang terlihat, tetapi dari konsistensi tindakannya di luar sorotan kamera.

Agung, I. M., & Maulana, H. (2021). Peran atribusi dan emosi terhadap menyalahkan dan kepercayaan pada pemerintah saat bencana kabut asap. Ecopsy, 8(1), 5-19.

Astagini, N., Kaihatu, V., & Prasetyo, Y. D. (2017). Interaksi dan hubungan parasosial dalam akun media sosial selebriti Indonesia. Communicology: Jurnal Ilmu Komunikasi, 5(1), 67-93.

Wayangkau, A., Nurhadi, Z. F., & Kurniawan, A. W. (2025). Dokumentasi dan Konten Media Sosial Anggota DPR RI sebagai Strategi Komunikasi Pemasaran Politik. Jurnal Ilmu Multidispilin (JIM), 5(1), 65–79.

Wulandari, L., Armanu, T., & Wijayanti, E. (2021). Pencitraan Politik Melalui Media Sosial di Indonesia. Jurnal Studi Komunikasi, 5(1), 78-86.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image