Sunyi di Balik Keramaian Kota
Eduaksi | 2025-12-07 22:12:35Pendahuluan
Sebuah kisah sedih datang dari seorang mahasiswi yang bunuh diri, mengguncang dan mengganggu warga Solo. Insiden ini melibatkan seorang mahasiswa di Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta yang diduga memiliki riwayat gangguan bipolar dan kecemasan parah. Menurut data dari Disway.id (2025), Provinsi Jawa Tengah memiliki tingkat bunuh diri tertinggi di Indonesia. Banyak kasus bunuh diri yang tercatat disebabkan oleh depresi, kecemasan, dan masalah psikologis lainnya. Fenomena ini memerlukan pembahasan dari perspektif psikologis, mencakup pendekatan biologis, kognitif, dan psikososial, karena gangguan bipolar melibatkan berbagai faktor yang mendorong individu untuk menekan emosi mereka, ditambah dengan akses terbatas terhadap layanan kesehatan mental yang masih tidak merata. Menurut pandangan saya, ini bukan sekadar "kegagalan moral," tetapi tanda peringatan serius tentang kerentanan kesehatan mental di kalangan generasi muda.
Pembahasan
Pendekatan Biologis: Otak, Suasana Hati, dan Dorongan
Bunuh diri biasanya terjadi ketika seseorang mengalami kondisi yang parah seperti putus asa, merasa menjadi beban bagi orang lain, atau bahkan kehilangan makna hidup. Dari perspektif psikologis, bunuh diri merupakan hasil dari kombinasi kondisi mental, pikiran negatif, trauma masa lalu, dan faktor biologis. Individu dengan gangguan bipolar berisiko tinggi mengalami bunuh diri, terutama selama fase depresi. Tinjauan literatur yang dilakukan oleh Astawa dkk. (2023) menunjukkan bahwa gangguan bipolar memainkan peran signifikan dalam kasus bunuh diri secara global. Kasus-kasus ini cukup kompleks karena melibatkan banyak faktor, namun terdapat bukti adanya hubungan antara faktor risiko dan aspek neurobiologis pada pasien bipolar. Misalnya, keterlibatan neurotransmitter seperti kadar serotonin yang rendah pada pelaku bunuh diri meningkatkan dorongan untuk melakukan perilaku ekstrem dan impulsif, dopamin mengatur motivasi dan respons stres, kadar noradrenalin yang rendah pada pelaku bunuh diri menyebabkan kesulitan dalam menghadapi tekanan, dan ketidakseimbangan pada sistem GABA dan glutamat membuat seseorang sulit mengendalikan emosi dan dorongannya, sehingga meningkatkan risiko bunuh diri.
Pada gangguan bipolar yag dialami salah satu mahasiswi di UIN Surakarta yang melakukan bunuh diri ini, menunjukkan bahwa kerentanan biologis, jika tidak disertai dengan pengobatan teratur, pemantauan, dan dukungan dari orang-orang di sekitarnya, dapat berakibat fatal. Hal ini karena mereka lebih rentan memilih metode berbahaya saat menghadapi konflik batin, tekanan akademik, atau masalah hubungan.
Pendekatan Kognitif: Pikiran yang Salah
Hal ini juga dapat terjadi akibat pola pikir yang salah atau distorsi kognitif. Dalam studi yang dilakukan oleh Nabiila & Kossih (2023), disebutkan bahwa orang yang mengalami depresi sering melihat bunuh diri sebagai solusi termudah dan jalan keluar dari masalah yang mereka rasakan tidak dapat diselesaikan. Hal ini menunjukkan pola pikir yang salah yang dikenal sebagai "catastrophising", yaitu keyakinan bahwa masalah yang mereka alami telah mencapai titik terburuk dan tidak ada jalan keluar lain selain kematian. Selain itu, juga disebutkan bahwa pola pikir negatif dan salah yang persisten dapat memperkuat keinginan untuk bunuh diri, karena orang tersebut merasa tidak ada harapan dalam hidup. Ini disebut "overgeneralisation", yaitu ketika seseorang menggeneralisasi satu kegagalan menjadi kegagalan total dalam hidup. Misalnya, siswa yang gagal mempertahankan IPK mereka atau mengalami konflik sosial merasa bahwa hidup mereka telah sepenuhnya gagal. Juga disebutkan bahwa gangguan mental dapat menyebabkan individu kehilangan kemampuan untuk berpikir secara logis, sehingga mereka menganggap bunuh diri sebagai solusi dan jalan keluar. Pola pikir yang keliru dan negatif ini disebut "Personalisation", di mana seseorang secara berlebihan menyalahkan diri sendiri atas suatu peristiwa. Misalnya, mahasiswi yang mengalami konflik batin terus-menerus merasa bersalah dan tidak layak untuk hidup.
Dalam konteks mahasiswi di Solo ini, tekanan akademik, ekspektasi keluarga akan kesuksesan, atau konflik hubungan dapat diartikan sebagai "kegagalan total", terutama ketika mereka terbiasa menahan emosi dan tidak mampu mengelola stres. Ketidakhadiran ruang aman untuk berbagi masalah menyebabkan mereka menyimpan masalah tersebut sendiri. Ketika segalanya terasa menyesakkan, melelahkan, dan hampir meledak, emosi sudah terganggu, dan pemicu kuat dari pola pikir yang salah dan negatif seperti "lebih baik menghilang daripada menjadi beban" dapat menyebabkan hal-hal buruk terjadi.
Pendekatan Psikososial: Keluarga, Teman, Lingkungan, dan Masyarakat
Dari perspektif psikososial, bunuh diri terkait dengan interaksi antara kondisi psikologis individu dan lingkungannya. Tinjauan literatur yang dilakukan oleh Sauran (2022) menunjukkan bahwa bunuh diri sering kali timbul dari berbagai tekanan, seperti tekanan akademik, hubungan interpersonal yang rusak, dan kurangnya dukungan emosional dari lingkungan sosial atau keluarga. Tinjauan literatur ini juga menjelaskan bahwa tekanan akademik merupakan pemicu utama pikiran bunuh diri, karena menimbulkan perasaan kegagalan dan ketidakberhargaan. Mahasiswi sering menghadapi standar akademik yang tinggi dari baik universitas maupun keluarga mereka, sehingga kualitas pembelajaran, persaingan akademik, dan tuntutan untuk mencapai masa depan yang ideal dapat menimbulkan stres. Ketika stres berlanjut dalam waktu lama, hal ini dapat memicu kecemasan, depresi, dan perasaan ketidakmampuan untuk memenuhi ekspektasi tersebut bagi individu.
Tinjauan literatur ini juga menggambarkan penelitian yang membahas keretakan hubungan interpersonal yang menyebabkan individu merasa tidak memiliki siapa pun untuk diandalkan dan memilih kematian sebagai pelarian, menjadikan kesepian emosional salah satu faktor yang berkontribusi terhadap bunuh diri di kalangan mahasiswa perempuan. Selain itu, mahasiswa perempuan ini tinggal jauh dari keluarga mereka, sehingga rentan kehilangan dukungan emosional saat menghadapi masalah, merasa tidak dipahami, dan menarik diri dari lingkungan sosial mereka. Secara psikososial, lingkungan, teman, keluarga, komunitas, dan hubungan interpersonal memainkan peran penting dalam membentuk ketahanan psikologis individu.
Kesimpulan
Fenomena bunuh diri mahasiswi di Solo menunjukkan bahwa tindakan ini bukan sekadar bentuk kelemahan moral, melainkan tanda serius dari kerentanan kesehatan mental di kalangan generasi muda. Bunuh diri muncul sebagai hasil interaksi antara faktor biologis seperti ketidakseimbangan neurotransmitter, pola pikir negatif seperti catastrophising dan overgeneralisation, serta tekanan psikososial berupa tuntutan akademik, kurangnya dukungan emosional, dan hubungan interpersonal yang tidak sehat. Kasus ini menyoroti pentingnya layanan kesehatan mental yang mudah diakses, pendidikan tentang manajemen stres, dan dukungan dari lingkungan keluarga dan sosial. Secara praktis, lembaga pendidikan dan masyarakat perlu menciptakan ruang aman untuk berbagi masalah, mengurangi stigma seputar kesehatan mental, dan memberikan konseling psikologis dini untuk meminimalkan risiko bunuh diri.
Referensi
ASTAWA, I. G. N. P., & TRISNOWATI, R. (2023). PERILAKU BUNUH DIRI PADA GANGGUAN AFEKTIF BIPOLAR: SEBUAH TINJAUAN PUSTAKA. Jurnal Hasil Penelitian Dan Pengembangan (JHPP), 1(3), 184–191. https://doi.org/10.61116/jhpp.v1i3.159
Disway.id. (2025, 10 September). Kemenkes soroti tingginya angka bunuh diri di Jawa Tengah melampaui provinsi lain. https://disway.id/read/897241/kemenkes-soroti-tingginya-angka-bunuh-diri-di-jawa-tengah-melampaui-provinsi-lain
Jurnal Kesehatan Primer (JKP). (2023). Pengaruh pertolongan pertama kesehatan mental terhadap kemampuan siswa mengenali risiko bunuh diri remaja di Surakarta. https://doi.org/10.32807/bnj.v5i1.1222
Nabiila, S., & Kosasih, A. (2023). Hubungan Antara Kesehatan Mental dan Bunuh Diri Akibat Depresi Menurut Pandangan Islam: 10.58569/jies. v2i1. 654. Journal of Islamic Education Studies, 2(1), 15-21. https://doi.org/10.58569/jies.v2i1.654
Sauran, A. R. ., & Salewa, W. . (2022). TEKNIK COGNITIVE BEHAVIOR THERAPY (CBT) DALAM GANGGUAN KEPRIBADIAN BIPOLAR. POIMEN Jurnal Pastoral Konseling, 3(1), 74-91. https://doi.org/10.51667/pjpk.v3i1.941
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
