Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Jihan Aqilla Siti Rahmadhani

Paradoks Ekspor Indonesia: Kaya Sumber Daya, tapi Miskin Nilai Tambah

Bisnis | 2025-12-07 17:52:20

Indonesia adalah negeri yang diberkahi kekayaan alam luar biasa. Dari nikel di Sulawesi, batubara di Kalimantan, hingga minyak kelapa sawit di Sumatra, kita punya segalanya. Namun, di balik limpahan itu, tersimpan ironi yang telah berlangsung puluhan tahun: sebagian besar hasil bumi kita masih diekspor dalam bentuk mentah. Kita ekspor mentah, mereka ekspor untung. Kita kirim bahan baku, mereka kirim produk jadi. Siapa yang sebenarnya diuntungkan?

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, ekspor nonmigas Indonesia masih didominasi oleh komoditas primer seperti minyak kelapa sawit mentah (CPO). Struktur ekspor Indonesia masih belum mengalami transformasi mendasar. Data BPS menunjukkan sebagian besar ekspor minyak sawit kita tetap berupa CPO mentah, terutama ke India, Tiongkok, dan Pakistan. Artinya, industrialisasi nasional masih belum optimal. Padahal, jika CPO diolah menjadi oleokimia, sabun, atau biodiesel, nilai jualnya bisa meningkat berkali lipat. Sayangnya, sebagian besar nilai tambah itu justru dinikmati oleh negara lain yang mengimpor bahan mentah kita dan mengolahnya menjadi produk industri bernilai tinggi.

Pada semester I 2024, nilai ekspor nonmigas Indonesia tercatat sebesar USD 117,19 miliar, turun 2,99% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan terbesar terjadi pada komoditas bahan bakar mineral dan minyak nabati (CPO) dua sektor yang selama ini menjadi tulang punggung ekspor. Sementara itu, ekspor hasil industri pengolahan hanya tumbuh 0,40 %, ini menegaskan bahwa struktur ekspor kita masih rapuh dan sangat bergantung pada harga global yang fluktuatif.

Sumber : https://pin.it/qBJMJhgbs
Sumber : https://pin.it/qBJMJhgbs

Perbandingan dengan negara seperti Jepang memperlihatkan kontras yang mencolok. Jepang, yang miskin sumber daya alam, mampu menjadi salah satu eksportir terbesar produk otomotif dan elektronik di dunia. Kontribusi sektor manufakturnya terhadap PDB mencapai 21%, sedangkan Indonesia berada di kisaran 19%. Namun, perbedaannya bukan sekadar angka, melainkan kualitas dan kompleksitas industrinya. Jepang membangun basis manufaktur berteknologi tinggi, sementara Indonesia masih berkutat pada pengolahan bahan mentah dengan nilai tambah rendah.

Perbedaan ini menunjukkan bahwa kekuatan ekonomi tidak ditentukan oleh seberapa banyak sumber daya alam yang dimiliki, tetapi oleh kemampuan mengolahnya. Jepang memilih jalan inovasi dan teknologi. Indonesia masih terjebak dalam kenyamanan menjual mentah. Ketergantungan ini membuat ekonomi nasional rentan terhadap guncangan eksternal dan melemahkan daya saing jangka panjang.

Untuk keluar dari jebakan ini, Indonesia harus memperkuat ekosistem industri dari hulu ke hilir. Mulai dari penyediaan energi yang efisien, insentif fiskal bagi investasi, hingga peningkatan kapasitas riset dan teknologi dalam negeri. Hilirisasi tidak boleh dipandang sebagai kebijakan sektoral semata, melainkan sebagai strategi nasional menuju kemandirian ekonomi. Kita tidak bisa terus berharap pada harga batubara atau CPO. Kita harus menciptakan nilai tambah di dalam negeri. Kita harus membangun industri yang bukan hanya besar, tapi juga cerdas.

Hilirisasi juga menghadapi tantangan geografis dan ketimpangan infrastruktur antar wilayah. Banyak daerah penghasil sumber daya alam belum memiliki akses energi yang stabil, pelabuhan yang efisien, atau kawasan industri yang terintegrasi. Akibatnya, investor enggan membangun fasilitas pengolahan di dekat sumber bahan baku, dan bahan mentah tetap dikirim ke pusat industri atau ke luar negeri. Pemerintah perlu memastikan bahwa pembangunan industri tidak hanya terpusat di Jawa, tetapi juga menjangkau kawasan timur Indonesia yang kaya sumber daya namun minim fasilitas.

Selain peran pemerintah, sektor swasta juga harus didorong untuk berinvestasi dalam pengolahan dan inovasi. Insentif fiskal, kemudahan perizinan, dan jaminan kepastian hukum menjadi kunci agar pelaku industri mau membangun pabrik pengolahan di dalam negeri. Tanpa keterlibatan aktif dunia usaha, hilirisasi akan berjalan lambat dan tidak berkelanjutan. Pemerintah perlu menciptakan iklim usaha yang kompetitif, sekaligus memastikan bahwa insentif yang diberikan benar-benar menghasilkan dampak ekonomi jangka panjang.

Pemerintah juga perlu menyadari bahwa hilirisasi bukan hanya soal membangun pabrik, tetapi soal membangun ekosistem pengetahuan. Tanpa investasi serius dalam pendidikan vokasi, pelatihan teknis, dan kolaborasi antara industri dan perguruan tinggi, maka hilirisasi hanya akan menjadi slogan tanpa substansi. Kita butuh generasi yang tidak hanya bisa menggali sumber daya, tetapi juga mampu merancang teknologi, mengelola proses produksi, dan menciptakan inovasi. Tanpa itu, kita akan terus bergantung pada teknologi asing dan kehilangan peluang untuk menjadi pemain utama dalam rantai nilai global.

Paradoks ekspor Indonesia adalah cermin dari model ekonomi lama yang terlalu nyaman menjual bahan mentah tanpa menciptakan nilai tambah di dalam negeri. Tapi peluang untuk berubah masih terbuka lebar. Dengan konsistensi hilirisasi, dukungan pendidikan, dan penguatan teknologi, kita bisa mengubah struktur ekonomi menjadi lebih produktif dan berdaya saing. Sudah saatnya Indonesia tidak hanya dikenal sebagai negeri kaya sumber daya, tetapi sebagai bangsa yang mampu mengolah kekayaannya sendiri. Kita tidak boleh lagi menjual mimpi dalam bentuk mentah. Mari bangun masa depan yang kita olah sendiri melalui riset yang kuat, industri yang tangguh, dan kebijakan yang berpihak pada nilai tambah nasional.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image