Parpol sebagai Sekolah Demokrasi: Mitos atau Harapan?
Politik | 2025-12-07 17:03:57Dalam teori politik klasik, partai politik (parpol) digambarkan sebagai pilar utama demokrasi. Mereka bukan hanya penyambung aspirasi rakyat, tetapi juga wadah pendidikan politik bagi warga negara. Gagasan ini bukan baru. Giovanni Sartori, ilmuwan politik terkemuka, pernah menegaskan bahwa “parties are indispensable to parliamentary government.” Artinya, demokrasi tanpa parpol ibarat tubuh tanpa tulang: mungkin masih hidup, tetapi tidak akan mampu berdiri.
Namun, pertanyaan besarnya kini adalah: apakah parpol benar-benar berfungsi sebagai sekolah demokrasi, atau konsep tersebut sekadar mitos ideal yang tak pernah benar-benar diwujudkan?
Parpol: Antara Teori dan Kenyataan
Secara teoritis, parpol bertugas melakukan kaderisasi, pendidikan politik, artikulasi kepentingan, hingga rekrutmen kepemimpinan. Robert A. Dahl, dalam karyanya mengenai demokrasi, menekankan bahwa “responsiveness of the government to citizens’ preferences” hanya dapat tercapai apabila ada institusi yang menghubungkan rakyat dengan kekuasaan—dan itu adalah parpol.
Namun, realitas politik di banyak negara—termasuk Indonesia—menunjukkan paradoks. Alih-alih menjadi arena pembelajaran demokrasi, parpol justru sering dinilai sebagai struktur tertutup yang didominasi elit, minim transparansi, dan menjauh dari aspirasi akar rumput.
Kesenjangan ini menimbulkan pertanyaan kritis: parpol bertumbuh, tetapi apakah demokrasi ikut bertumbuh?
Krisis Kaderisasi: Ketika Loyalitas Mengalahkan Kapasitas
Salah satu fungsi utama parpol sebagai sekolah demokrasi adalah menyiapkan kader. Di dalam proses kaderisasi ideal, anggota dididik tentang nilai demokrasi, etika politik, pengetahuan kebangsaan, hingga kemampuan kepemimpinan. Namun kenyatannya, kaderisasi sering kali hanya formalitas—bahkan lebih buruk lagi, digantikan oleh mekanisme patronase.
Dalam banyak kasus, kader yang naik bukan karena gagasannya, tetapi karena kedekatan dengan pengurus atau besarnya modal yang dibawa. Fenomena ini menciptakan apa yang disebut aktivis demokrasi sebagai “politik karbitan,” yaitu politik yang tumbuh bukan karena proses, tetapi karena uang atau koneksi.
Tokoh demokrasi John Dewey pernah mengingatkan, “Democracy has to be born anew every generation, and education is its midwife.” Bila pendidikan politik tidak terjadi di parpol, maka kita kehilangan generasi yang mampu memelihara demokrasi. Dan benar saja: kualitas debat publik semakin dangkal, politik gagasan digantikan politik sensasi, dan kompetisi elektoral semakin menyerupai kontes popularitas.
Politik Uang: Menggoyahkan Fondasi Pendidikan Politik
Salah satu faktor terbesar yang menghambat peran parpol sebagai sekolah demokrasi adalah politik uang. Dalam sistem politik yang mahal, kader terbaik tidak selalu mendapat peluang. Biaya kampanye yang besar memaksa parpol bergantung pada sponsor, kontraktor politik, atau elite internal berpengaruh.
Hal ini menciptakan lingkaran setan:
kader yang punya uang mendapat posisi,
posisi tersebut digunakan untuk mengembalikan modal,
parpol makin sulit mengedepankan nilai-nilai demokrasi.
Padahal, seperti dikatakan oleh Mahatma Gandhi, “Politics without principle is one of the seven deadly sins.” Tanpa prinsip, parpol kehilangan fungsi pendidikannya; ia berubah menjadi kendaraan transaksional semata.
Minimnya Demokrasi Internal: Ketika Rumput Tak Tumbuh di Pekarangan Sendiri
Untuk bisa mengajarkan demokrasi kepada publik, parpol harus terlebih dahulu mempraktikkan demokrasi di internalnya. Namun yang terjadi justru sebaliknya:
– musyawarah hanya formalitas,
– kepemimpinan berputar pada kelompok tertentu,
– keputusan diambil secara top-down,
– perbedaan pendapat dipandang sebagai ancaman, bukan masukan.
Ironisnya, parpol sering mengajarkan demokrasi kepada rakyat, tetapi gagal menerapkannya di rumah sendiri.
Tidak heran banyak pengamat yang menyebut bahwa demokrasi kita sering berjalan “tanpa demokrasi internal parpol.” Sebuah paradoks yang menguras kualitas kepemimpinan nasional: bagaimana mungkin menghasilkan pemimpin yang demokratis dari ruang yang tidak demokratis?
Ketika Parpol Menjadi Arena Kompetisi Identitas
Di era politik modern, parpol seharusnya menjadi arena rasional—tempat ide bersaing, gagasan dipertukarkan, dan kebijakan dirumuskan berdasarkan kepentingan publik. Namun, semakin sering kita melihat parpol memanfaatkan identitas—agama, etnis, atau kelompok sosial—untuk meraih dukungan.
Penggunaan identitas sebagai strategi elektoral memang efektif, tetapi sangat berbahaya. Alih-alih mendidik masyarakat menjadi warga negara yang rasional, parpol justru menguatkan polarisasi.
Nelson Mandela pernah berkata, “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.” Bila parpol memilih menggunakan identitas sebagai instrumen politik, mereka sesungguhnya menolak fungsi pendidikan itu—bahkan merusak iklim demokrasi jangka panjang.
Harapan yang Masih Ada: Parpol sebagai Ruang Transformasi
Meski berbagai kritik diarahkan kepada parpol, harapan bahwa parpol dapat menjadi sekolah demokrasi tidak boleh padam. Justru, penting untuk melihat peluang transformasi.
Beberapa langkah yang dapat menghidupkan kembali fungsi pendidikan politik parpol antara lain:
1. Membangun Demokrasi Internal yang Sehat
Pemilihan pengurus harus dilakukan secara terbuka dan inklusif. Mekanisme musyawarah harus dihidupkan, bukan dikooptasi.
2. Kaderisasi Berbasis Kompetensi dan Nilai
Parpol perlu mengembangkan kurikulum pendidikan politik yang sistematis: pengetahuan dasar demokrasi, manajemen publik, etika politik, dan komunikasi publik. Bukan sekadar kegiatan seremonial.
3. Transparansi Keuangan Parpol
Pendidikan demokrasi tidak akan tumbuh di ruang yang gelap. Mekanisme pendanaan harus jelas dan dapat diaudit.
4. Rekrutmen Politisi Muda yang Berintegritas
Parpol perlu menciptakan ruang bagi anak muda dengan gagasan segar. Regenerasi harus dirayakan, bukan dihambat.
5. Penguatan Peran Parpol di Luar Momentum Pemilu
Parpol harus hadir dalam kehidupan publik, tidak hanya saat kampanye. Diskusi publik, edukasi politik, advokasi lokal—semua adalah bagian dari sekolah demokrasi.
Mitos atau Harapan? Jawabannya Bergantung pada Kita
Apakah parpol sebagai sekolah demokrasi adalah mitos? Atau masih ada harapan?
Jawabannya tidak hitam putih. Parpol bukan sepenuhnya gagal, tetapi juga belum berhasil. Mereka masih memiliki potensi besar untuk menjadi pusat pendidikan politik rakyat, namun potensi itu terkunci oleh budaya politik lama, patronase, dan minimnya reformasi internal.
Demokrasi tidak lahir dari ruang kosong. Ia tumbuh dari kebiasaan, nilai, dan proses yang diasah terus menerus. Dan seperti kata Alexis de Tocqueville, “The health of a democratic society may be measured by the quality of functions performed by private citizens.” Parpol adalah ruang di mana warga negara belajar menjadi warga negara yang berkualitas.
Apabila parpol berbenah, menjalankan kaderisasi dengan serius, membuka ruang bagi aspirasi publik, dan menegakkan demokrasi internal, maka harapan itu nyata. Namun jika tidak, maka parpol hanya akan menjadi mitos demokrasi—simbol tanpa substansi.
Pada akhirnya, masa depan demokrasi sangat bergantung pada keberanian parpol untuk berubah, belajar, dan kembali kepada tujuan mulianya: mendidik rakyat dan menjaga demokrasi tetap hidup.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
