Ketika Sumatra Terus Dilanda Bencana: Saatnya Kita Mengakui Krisis Tata Kelola Lingkungan
Info Terkini | 2025-12-07 15:25:13Bencana kembali menyelimuti sejumlah wilayah di Sumatra. Dalam beberapa minggu terakhir, Aceh, Sumatera Barat, dan Medan mengalami banjir besar, tanah longsor, dan cuaca ekstrem yang meninggalkan kerusakan luas, mengisolasi permukiman, dan merenggut korban jiwa. Setiap kali hujan deras turun, masyarakat kembali dihantui ketakutan yang sama: air yang naik tiba-tiba, material longsor yang menutup jalan, hingga arus deras yang tidak bisa dilawan. Bencana ini bukanlah peristiwa tunggal, melainkan pola berulang yang semakin menguat.
Banjir dan longsor memang kerap dianggap sebagai bagian dari dinamika alam tropis Indonesia. Namun, peningkatan intensitas dan frekuensi bencana dalam beberapa tahun terakhir jelas menunjukkan masalah yang lebih serius. Curah hujan ekstrem memang memicu bencana, tetapi para ahli sepakat bahwa kerusakan lingkungan dan tata ruang yang tidak berkelanjutan menjadi akar persoalan yang paling menentukan.
Di Aceh, banjir bandang yang merendam ratusan rumah berkaitan erat dengan meningkatnya degradasi hutan. Di Sumatera Barat, kawasan perbukitan yang seharusnya menjadi “benteng alami” justru berubah menjadi permukiman dan perkebunan yang rentan. Sementara di Medan, banjir perkotaan semakin parah akibat drainase buruk, penyempitan sungai, dan pertumbuhan pembangunan yang tidak diimbangi ruang terbuka hijau. Dengan kata lain, kita membangun kerentanan kita sendiri.
Faktor alam memang berperan, tetapi dampak bencana diperparah oleh berbagai keputusan dan kecenderungan yang dihasilkan manusia. Beberapa penyebab paling mencolok antara lain:
- Penebangan hutan yang mempercepat erosi dan mengurangi daya serap air.
- Alih fungsi lahan untuk perkebunan dan pertambangan tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan.
- Pembangunan permukiman di kawasan rawan banjir dan longsor.
- Sedimentasi sungai akibat sampah dan erosi tanah, sehingga aliran air mudah meluap.
- Pengelolaan drainase yang buruk, khususnya di kawasan urban seperti Medan.
Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa bencana bukanlah sekadar “kecelakaan alam”, melainkan akibat dari akumulasi pilihan pembangunan yang keliru.
Penanganan bencana di Indonesia selama ini didominasi pendekatan responsif: evakuasi, bantuan logistik, dan pemulihan darurat. Tentu ini penting. Tetapi fokus pada langkah setelah bencana membuat kita terjebak dalam siklus yang sama dari tahun ke tahun.
Yang absen adalah investasi serius pada mitigasi. Rehabilitasi daerah aliran sungai, penguatan tata ruang, penegakkan hukum lingkungan, serta edukasi publik tentang risiko bencana masih jauh dari memadai. Jika pendekatan reaktif terus dipertahankan, Sumatra dan banyak wilayah lain di Indonesia akan selalu hanya selangkah dari krisis berikutnya.
Berulangnya bencana menunjukkan adanya krisis tata kelola lingkungan. Banyak keputusan pembangunan dilakukan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan. Kajian lingkungan hidup sering dianggap formalitas. Pengawasan terhadap aktivitas pertambangan, pembukaan lahan, dan pembangunan permukiman masih sangat lemah. Ketika alam memberi peringatan berulang, tetapi sistem kebijakan tidak berubah, maka sesungguhnya masalah terbesar bukan pada curah hujan, melainkan pada tata kelola.
Sumatra adalah pulau yang kaya dan subur. Namun semua potensi itu tidak akan berarti jika ruang hidup kita rusak dan terus menjadi sumber bencana. Banjir dan longsor bukan sekadar akibat dari hujan yang turun deras, tetapi juga cermin dari bagaimana kita memperlakukan alam.
Jika kita tidak mengubah cara membangun, mengelola, dan menjaga lingkungan, maka bencana tidak akan pernah berhenti. Mereka hanya akan menunggu musim berikutnya. Saatnya kita mengakui bahwa krisis ini adalah ulah kita sendiri dan karena itu pula, kitalah yang memiliki kewajiban untuk memperbaikinya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
