Anak Terlantarkan Orang Tua dalam Perspektif Hukum Pidana Islam
Hukum | 2025-12-07 12:59:07Penelantaran terhadap orang tua oleh anak kandung adalah bentuk kekerasan yang sering kali tidak disadari sebagai kejahatan, padahal dampaknya bisa lebih menyakitkan daripada luka fisik. Orang tua yang menua, melemah secara ekonomi dan fisik, lalu ditinggalkan oleh anak yang dahulu mereka besarkan dengan kasih sayang, berada dalam penderitaan yang bukan hanya sosial, tetapi juga moral dan spiritual. Dalam hukum pidana Islam, perbuatan ini tidak dipandang sebagai kesalahan ringan, melainkan sebagai perbuatan dosa besar yang memiliki implikasi hukum dan tanggung jawab akhirat yang berat.
Islam menempatkan bakti kepada orang tua (birrul walidain) sebagai kewajiban utama setelah tauhid. Kewajiban merawat, memperhatikan, dan tidak menyakiti orang tua bukan sekadar ajaran etika, tetapi perintah langsung dari Allah. Al-Qur’an menegaskan hal ini secara tegas dalam Surah Al-Isra ayat 23:
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka jangan sekali-kali kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
Ayat ini tidak hanya melarang kekerasan, tetapi bahkan ucapan sekecil “uff” pun dianggap sebagai bentuk kedurhakaan. Maka, penelantaran orang tua, baik dengan cara mengusir, membiarkan hidup tanpa nafkah, atau memutus hubungan, secara logika syariat jelas merupakan pelanggaran yang jauh lebih berat.
Lebih keras lagi, Al-Qur’an memperingatkan tentang dosa menyia-nyiakan tanggung jawab keluarga, termasuk terhadap orang tua dan anak. Dalam Surah At-Tahrim ayat 6 disebutkan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”
Menelantarkan orang tua berarti gagal dalam menjaga keselamatan anggota keluarga yang seharusnya dilindungi, bukan ditinggalkan.
Dalam perspektif hukum pidana Islam, tidak ada istilah “penelantaran orang tua” yang secara eksplisit sebagai jarimah hudud, tetapi perbuatan ini masuk dalam kategori jarimah ta’zir, yaitu kejahatan yang hukumannya ditentukan oleh penguasa atau hakim berdasarkan tingkat kemudaratan dan dampak sosialnya. Artinya, perbuatan tersebut tetap dapat dihukum, meski bentuk hukumannya tidak ditentukan secara baku oleh nash.
Ulama sepakat bahwa penelantaran terhadap orang tua termasuk perbuatan uquq al-walidain, yakni durhaka kepada orang tua, yang diklasifikasikan sebagai dosa besar. Rasulullah ﷺ bersabda:
أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ؟ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ
“Maukah aku beritahukan kepada kalian dosa yang paling besar?” Para sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Menyekutukan Allah dan durhaka kepada orang tua.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Meninggalkan orang tua tanpa makan, perawatan, atau tempat tinggal yang layak dalam pandangan Islam bukan hanya kejahatan sosial, tetapi bentuk pengkhianatan terhadap amanah ilahi. Anak bukan sekadar penerus garis keturunan, tetapi pemikul tanggung jawab moral terhadap ibu dan ayahnya.
Lebih jauh, jika penelantaran itu menyebabkan orang tua sakit parah, kelaparan, atau bahkan meninggal dunia, maka pelaku dapat menanggung dosa berlapis: dosa durhaka, dosa menzalimi, dan dosa menyebabkan kematian secara tidak langsung. Dalam kaidah fiqh dikenal prinsip:
الضَّرَرُ يُزَالُ
“Kemudaratan harus dihilangkan.” Jika seseorang dengan sengaja membiarkan mudarat terjadi, maka dia turut bertanggung jawab atas akibatnya.
Dalam konteks negara hukum, hakim dapat menjatuhkan hukuman ta’zir berupa teguran keras, denda, kewajiban memberi nafkah, hukuman sosial, bahkan pidana penjara jika kemaslahatan umum menghendakinya. Hukum Islam tidak menghendaki orang tua hidup terlantar demi “kebebasan” anak. Yang ada justru sebaliknya: kebebasan anak dibatasi oleh kewajiban berbakti.
Menelantarkan orang tua adalah kegagalan moral dan bukan simbol kesuksesan, melainkan bukti keruntuhan jiwa. Seorang anak yang tega membiarkan orang tuanya hidup menderita sesungguhnya telah memutus berkah dalam hidupnya sendiri, karena doa orang tua adalah pintu langit, dan tangis mereka adalah peringatan dari Tuhan.
Hukum pidana Islam memandang keluarga sebagai benteng peradaban. Ketika anak mulai “membuang” orang tuanya, maka sesungguhnya ia sedang merobohkan fondasi kemanusiaan dalam dirinya sendiri. Islam tidak hanya mengatur salat dan puasa, tetapi juga menuntut keadilan di ruang paling dasar: rumah sendiri.
Dan bagi siapa pun yang merasa ringan meninggalkan orang tuanya, perlu disadari satu hal: surga tidak dijanjikan kepada mereka yang berprestasi di dunia, tetapi kepada mereka yang menjaga hati orang tuanya. Sebab bisa saja hartamu banyak, jabatamu tinggi, dan ilmumu luas, tetapi semua itu runtuh di hadapan satu pertanyaan di akhirat: “Apa yang kau lakukan terhadap orang yang telah melahirkanmu?”
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
