Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image aqila naura

Demokrasi dalam Jeratan Hegemoni Media Sosial Pemerintah

Politik | 2025-12-05 18:37:34

Era digital telah mengubah lanskap komunikasi dan informasi masyarakat Indonesia. Media sosial seperti Instagram, X, Facebook, dan TikTok kini menjadi ruang diskusi publik yang sangat luas. Namun, transformasi ini diiringi dengan semakin kuatnya campur tangan pemerintah dalam mengawasi serta mengendalikan arus informasi melalui hegemoni kebijakan terhadap media sosial. Fenomena ini sangat relevan untuk dikaji dalam bingkai ilmu sosial dan politk, terutama terkait dengan implikasinya sebagai demokrasi dan generasi muda Indonesia.

Konsep Hegemoni dan Dinamika Politik Digital

Hegemoni merupakan dominasi satu kelompok atas kelompok lain, baik secara fisik maupun ideologis. Dalam sosial politik, hegemoni pemerintah tampak dari kebijakan, regulasi, dan pengarahan narasi publik yang bertujuan membentuk persepsi masyarakat sesuai kepentingan penguasa. Di Indonesia, penerapan hegemoni terhadap media sosial tercermin melalui UU ITE, pengendalian terhadap berita hoaks, serta pembatasan akses media sosial di situasi genting politik. Sebagaimana dinyatakan dalam UU ITE, “Setiap orang dilarang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan informasi elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan, penghinaan, dan pencemaran nama baik”. Meski alasannya adalah menjaga stabilitas nasional, kebijakan tersebut berpotensi membungkam kritik dan membatasi kebebasan berekspresi yang merupakan pilar utama demokrasi.

Permasalahan Nyata: Kebebasan atau Kontrol?

Dampak nyata dari hegemoni pemerintah terlihat pada pembatasan akses media sosial saat pemilu atau demonstrasi besar. Banyak aktivis dan masyarakat sipil menilai, langkah ini justru mereduksi demokrasi dan hak warga negara untuk mendapatkan informasi serta menyampaikan pendapat. Sebaagai contoh nyata, pada Mei 2019 pemerintah Indonesia membatasi akses media sosial dan aplikasi pesan instan guna menghindari penyebaran hoaks dan provokasi politik. Namun, kebebasan berekspresi dan keterbukaan informasi menjadi harga mahal yang harus dibayar.

Selain itu, munculnya buzzer politik yang didanai oleh pihak tertentu memperkuat opini publik sesuai kehendak kelompok penguasa. Generasi muda sebagai pengguna utama media sosial menjadi “target” arus informasi yang telah disaring dan disetir, sehingga kritis terhadap isu-isu yang berseberangan kerap dibatasi. Kompasiana (2023) menegaskan bahwa “fenomena buzzer politik dalam Pemilu Indonesia telah mengubah pola komunikasi politik dan memperlebar jurang polarisasi di masyarakat”.

Generasi Muda dan Ancaman Polarisasi

Generasi muda Indonesia sangat rentan terhadap arus informasi yang telah “disaring” oleh pemerintah dan kekuatan politik-ekonomi. Fenomena echo chamber dan filter bubble menyebabkan anak muda sulit melihat keragaman opini, seringkali hanya mendapatkan narasi sepihak. Isu-isu krusial seperti HAM, korupsi, dan kritik kebijakan sering gagal viral karena dibatasi atau “shadow banning” melalui kerja sama antara platform digital dan pemerintah. Pola ini membahayakan kualitas diskusi publik dan daya kritis generasi muda, unsur penting dalam demokrasi.

Menurut BBC Indonesia (2022), “Kebebasan berekspresi di media sosial Indonesia kerap berbenturan dengan intervensi pemerintah dan ancaman jerat hukum. Sebagian besar masyarakat masih minim literasi digital, sehingga mudah termakan provokasi dan manipulasi informasi”. Permasalahan ini diperparah dengan maraknya disinformasi, sehingga generasi muda harus menghadapi tantangan ganda: menghindari pengaruh hegemoni sekaligus memperkuat ketahanan diri terhadap hoaks.

Literasi Digital dan Perlawanan terhadap Hegemoni

Menghadapi hegemoni pemerintah di ranah media sosial, diperlukan upaya peningkatan literasi digital, terutama pada generasi muda. Mengonsumsi informasi dari beragam sumber, melakukan verifikasi, dan menjaga etika bermedia harus menjadi kebiasaan. Organisasi masyarakat sipil, lembaga pendidikan, dan media independent perlu berkolaborasi meningkatkan daya tahan masyarakat dalam menghadapi manipulasi informasi dan propaganda kekuasaan. Yanuar Nugroho & Siti Syarafina (2021) dalam Jurnal Komunikasi menggarisbawahi, “Penguatan literasi digital merupakan kunci menghadapi bentuk baru hegemoni pemerintah di ruang publik digital Indonesia”.

Penting pula menginternalisasi nilai demokrasi dan kebebasan berekspresi serta memahami regulasi yang berlaku, agar generasi muda tidak terjebak pada polarisasi politik yang tidak sehat. Upaya ini juga dapat memperkuat kualitas diskusi publik serta partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi.

Hegemoni pemerintah dalam mengendalikan media sosial adalah isu sosial politik kian relevan di era digital. Dampaknya sangat nyata terhadap kualitas demokrasi, kebebasan berekspresi, dan karakter generasi muda. Literasi digital serta kesadaran kritis menjadi senjata ampuh untuk mendorong ruang publik yang lebih sehat dan demokratis di tengah jeratan hegemoni kekuasaan. Dalam era yang serba digital seperti sekarang, kekuatan generasi muda dan masyarakat dalam memilih, memilah, serta mengkritisi arus informasi sangat menentukan masa depan demokrasi Indonesia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image