Garda Terdepan di Tengah Bencana: Peran Tenaga Kesehatan dalam Krisis Banjir Sumatra
Info Terkini | 2025-12-05 14:50:54Banjir dan longsor parah yang mengguncang pulau Sumatra pada akhir November hingga awal Desember 2025 telah menimbulkan krisis besar. Ribuan rumah rusak, akses jalan terputus, dan korban berjatuhan tetapi di balik angka dan kehancuran itu, sosok-sosok yang tak tampak menjadi sangat krusial yaitu tenaga kesehatan. Dari dokter, perawat, bidan, hingga sanitarian dan relawan medis mereka bekerja tanpa kenal lelah di garis depan, menangani ratusan korban, mencegah munculnya wabah, dan membantu pemulihan jangka panjang.
Banjir dan longsor besar yang terjadi di sejumlah wilayah di Pulau Sumatra termasuk di provinsi-provinsi seperti Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat kembali menegaskan satu hal yaitu upaya penyelamatan korban terdapat sosok-sosok yang tak terlihat, namun krusial mereka adalah tenaga kesehatan. Dokter, perawat, bidan, sanitarian, petugas kesehatan masyarakat, hingga relawan medis berada di garis depan krisis; mereka bekerja tanpa lelah menjaga kesehatan ribuan warga terdampak.
Banjir dan longsor yang terjadi di beberapa provinsi termasuk Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dikenal sebagai salah satu bencana alam terburuk yang melanda Sumatra dalam beberapa tahun terakhirMenurut data resmi hingga 1–4 Desember 2025, korban tewas telah mencapai sekitar 804–836 jiwa, dengan ratusan lainnya hilang dan ribuan luka-luka. Lebih dari 3,1–3,3 juta jiwa terdampak, dan ratusan ribu sampai jutaan warga mengungsi akibat rumah rusak dan kerusakan infrastruktur.
Di banyak lokasi, kerusakan fasilitas kesehatan, jalan dan jembatan putus, serta akses air bersih dan sanitasi terhenti, memperparah risiko krisis kesehatan.
Tak lama setelah bencana melanda, tenaga kesehatan seperti dokter, perawat, bidan, petugas sanitasi, sukarelawan medis langsung dikerahkan ke lokasi terdampak. Rumah sakit darurat, pos medis di pengungsian, serta tim medis keliling dibentuk untuk menjangkau korban, termasuk mereka yang berada di area sulit diakses. Mereka menangani pertolongan pertama, luka, stabilisasi korban dengan cedera berat, serta pemantauan kondisi kesehatan secara terus-menerus. Jika penanganan terlambat, korban tidak hanya menghadapi luka fisik, tetapi juga risiko komplikasi serius seperti hipotermia, infeksi, dehidrasi, dan memburuknya penyakit kronis bagi korban yang sudah rentan sebelumnya.
Namun pekerjaan tidak berhenti saat air mulai surut. Fase pascabencana justru rawan munculnya krisis sanitasi dan penyakit menular. Sistem sanitasi rusak, air bersih terkontaminasi, lingkungan lembap dan penuh genangan. Kondisi ini sangat ideal bagi penyebaran penyakit infeksi seperti diare, infeksi kulit, dan penyakit akibat air kotor. Tenaga kesehatan pun mengambil peran preventif: mendistribusikan obat dasar, antiseptik, kit sanitasi; memberi imunisasi serta suplementasi bagi kelompok rentan seperti anak-anak, ibu hamil, dan lansia; serta memberikan edukasi kebersihan, manajemen air bersih, dan sanitasi darurat. Pemantauan penyakit juga dijalankan secara intensif agar wabah bisa dicegah sejak awal.
Dampak bencana tidak berhenti pada korban dan kerusakan saja banyak fasilitas kesehatan rusak, sistem air dan sanitasi terganggu, dan kehidupan para pengungsi jauh dari standar sehat. Oleh karena itu, pemulihan kesehatan dan pembangunan sistem tanggap bencana menjadi sangat krusial. Tenaga kesehatan bersama relawan dan lembaga kemanusiaan bekerja mendirikan klinik sementara, mendistribusikan logistik medis, menyediakan air bersih dan alat sanitasi. Mereka mendampingi masyarakat untuk membangun kembali pola hidup sehat dari gizi, kebersihan, hingga kesehatan mental agar kehidupan bisa kembali normal secara bertahap.
Kesiapsiagaan jangka panjang juga dibutuhkan seperti pelatihan rutin bagi petugas medis untuk tanggap darurat, protokol aman di fasilitas kesehatan (air bersih cadangan, listrik darurat, persediaan obat, perlengkapan pelindung, logistik cepat), serta sistem respons terintegrasi antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga kemanusiaan.
Penanganan pascabencana bukan hanya tugas tenaga medis atau pemerintah. Fasilitas kesehatan di daerah rawan harus dilengkapi protokol tanggap darurat seperti cadangan air bersih, listrik darurat, persediaan obat dan alat pelindung diri, serta sistem logistik cepat. Pemerintah daerah perlu menginisiasi simulasi bencana secara berkala bersama masyarakat, agar respons bisa lebih cepat, sistematis, dan terkoordinasi.
Di sisi lain, masyarakat perlu dilibatkan aktif menerapkan sanitasi, menjaga kebersihan lingkungan, mengelola air bersih, serta memantau kondisi kesehatan lingkungan setelah bencana. Media massa dan organisasi kemasyarakatan juga memiliki peran penting yaitu menyebarkan panduan kesehatan pasca-bencana, kampanye kebersihan, serta mengangkat kisah nyata perjuangan tenaga kesehatan, sambil memobilisasi dukungan sosial dan logistik bagi wilayah terdampak.
Banjir dan longsor di Sumatra bukan semata tragedi alam melainkan ujian bagi ketahanan sistem kesehatan dan solidaritas sosial. Tenaga kesehatan muncul sebagai garda terdepan menyelamatkan nyawa, mencegah wabah, dan membantu masyarakat bangkit kembali.
Dengan sistem kesehatan yang kuat, kesiapsiagaan nyata, dan kolaborasi dari semua pihak medis, pemerintah, masyarakat, dan media dampak kesehatan pascabencana dapat diminimalkan. Bersama, kita bisa memperkuat ketangguhan masyarakat dalam menghadapi risiko bencana di masa depan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
