Saat Keranjang Bambu Hanya Jadi Wadah Ikan: Mengapa Pengrajin Panjunan Tak Diajak Berinovasi?
Bisnis | 2025-12-05 12:56:46
DESA PANJUNAN, GRESIK — Aktivitas pengrajin bambu di Desa Panjunan, Kecamatan Duduksampeyan, Kabupaten Gresik, tetap berlangsung seperti puluhan tahun sebelumnya. Aktivitas pengerajin dimulai setelah bahan baku bambu didatangkan oleh pengepul yang bekerja sama dengan para perajin setempat. Bambu mentah tersebut kemudian dibelah dan diiriskan tipis hingga menghasilkan pakan dan jeneng, dua komponen dasar yang menjadi struktur utama keranjang berukuran besar yang lazim dipakai untuk kebutuhan tambak. Namun di tengah kontinuitas produksi tersebut, harga keranjang justru cenderung stagnan dan kerap anjlok hingga hanya Rp200 ribu per 20 buah.Keranjang bambu Panjunan selama ini menjadi kebutuhan rutin bagi para pemilik tambak di wilayah Gresik dan sekitarnya. Sebagian pembeli bahkan datang langsung ke desa untuk mendapatkan harga yang lebih rendah dibanding membeli melalui pedagang di pasar. Meski permintaan tetap ada, nilai jual yang diterima pengrajin tidak mengalami peningkatan signifikan.“Dalam kondisi tertentu, harga bisa turun sampai sepuluh ribu rupiah per keranjang,” ujar Nur Hasan, salah satu pengrajin saat ditemui di rumah produksinya. Proses Produksi yang PanjangProses pembuatan keranjang bambu melibatkan tahapan yang cukup panjang. Setelah bambu dibelah dan diiriskan menjadi pakan dan jeneng, pakan kemudian dianyam melalui proses ngenam untuk membentuk badan keranjang, sementara jeneng diproses dengan teknik meliliti untuk memperkuat bagian mahkota. Setiap tahap membutuhkan ketelitian tinggi dan waktu pengerjaan yang tidak singkat. Namun lamanya proses tidak selalu berbanding lurus dengan nilai ekonomi yang diterima pengrajin.Menurut Muharotun yang merupakan pengrajin keranjang di Desa Panjunan, bahan baku bambu juga semakin sulit diperoleh dan membutuhkan biaya tambahan. Kondisi ini membuat margin keuntungan pengrajin semakin menipis, terlebih ketika harga jual jatuh.Panjunan sejak lama dikenal sebagai sentra keranjang ikan. Fungsi produk yang tidak berubah selama bertahun-tahun membuat pasar keranjang ini terbatas hanya pada sektor perikanan. Tidak seperti kampung kerajinan lain yang mulai mengembangkan produk turunannya, Panjunan masih memegang pola produksi tradisional tanpa diversifikasi.Sejumlah warga menyebut pola pikir “mengikuti cetakan lama” menjadi salah satu penyebab stagnasi. Cetakan bambu yang digunakan untuk membentuk keranjang diwariskan turun-temurun dan jarang diganti. Upaya untuk memodifikasi ukuran atau membuat produk baru dianggap berisiko karena belum ada kepastian pasar.“Cetakan yang dipakai sekarang adalah cetakan lama. Kalau mau buat ukuran baru harus membuat cetakan baru juga,” kata Abdurrahman menambahkan.Di sisi lain, pembeli dari wilayah tambak justru menunjukkan preferensi membeli langsung ke pengrajin. Langkah itu diambil karena harga keranjang di pasar dinilai jauh lebih tinggi akibat rantai distribusi yang panjang.“Kalau beli di pasar harganya bisa jauh lebih mahal, jadi lebih baik datang langsung ke sini,” ujar Salam, salah satu pembeli dari Lamongan.Preferensi ini menunjukkan bahwa keranjang Panjunan memiliki keunggulan dari sisi harga dan kualitas, namun nilai tambah tersebut tidak sepenuhnya dinikmati oleh pengrajin. Rantai distribusi tetap menjadi tantangan yang belum sepenuhnya teratasi. Minim Inovasi dan Rendahnya Akses PasarBerdasarkan pengamatan lapangan di desa setempat, kerajinan ini sebenarnya memiliki potensi besar untuk masuk ke pasar yang lebih luas, seperti produk dekorasi, perlengkapan hampers, hingga kerajinan interior. Namun keterbatasan akses pemasaran dan rendahnya literasi digital membuat para pengrajin masih bergantung pada pola pemasaran lama.Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sebagian besar pengrajin merasa tugas mereka hanya sebatas membuat keranjang, bukan merancang strategi penjualan atau mencari pasar baru.Dari hasil observasi tersebut, diperlukan pendampingan yang bersifat struktural agar pengrajin dapat memahami peluang diversifikasi produk dan pemasaran digital. Tanpa intervensi tersebut, kerajinan bambu Panjunan dikhawatirkan sulit bersaing di tengah berkembangnya pasar kerajinan berbahan alam.Pihak pemerintah desa menyebut bahwa kerajinan bambu merupakan identitas lokal yang tetap dipertahankan hingga kini. Namun hingga saat ini belum ada program khusus yang diarahkan untuk pengembangan UMKM. Dukungan yang diberikan masih sebatas pada upaya promosi, seperti menampilkan produk kerajinan bambu dalam berbagai acara sebagai bentuk pengenalan kepada masyarakat.“Kerajinan bambu memang sudah menjadi identitas Panjunan sejak lama, sehingga keberadaannya tetap kami dorong untuk dipertahankan. Namun, tidak banyak anak muda yang berminat meneruskan keahlian ini,” ujar Sidiq selaku perangkat desa saat dimintai keterangan.Pemerintah desa menilai tantangan terbesar terletak pada regenerasi pelaku kerajinan dan rendahnya minat generasi muda untuk meneruskan keahlian tersebut.Meskipun menghadapi berbagai kendala, warga Panjunan melihat peluang pengembangan kerajinan bambu melalui keterlibatan generasi muda dan pendampingan dari pihak eksternal. Dukungan pemasaran digital, inovasi produk, serta pembukaan akses ke pasar modern dianggap sebagai langkah yang dapat memperbaiki posisi pengrajin dalam rantai ekonomi.Dengan potensi bahan baku dan keterampilan yang telah mengakar, kerajinan bambu Panjunan dinilai masih memiliki peluang berkembang di masa mendatang apabila mendapat dukungan strategis yang memadai.
#Keranjang Bambu # Anyaman# Kerajinan Tangan #Universitas Airlangga
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.