Kapitalisme Digital: Krisis Sunyi di Tengah Ledakan Teknologi
Teknologi | 2025-12-05 12:10:42
Di balik wajah modernitas hari ini, Indonesia sedang dilanda krisis sunyi yang sering tak disadari banyak orang. Krisis itu hadir dari benda kecil yang selalu menempel di tangan, yang kita buka saat bangun tidur, kita tatap saat makan, dan masih kita pegang bahkan ketika mata hampir terpejam. Gawai digital, yang seharusnya menjadi alat mempermudah hidup, justru perlahan berubah menjadi sumber ancaman paling serius bagi kesehatan mental generasi muda Indonesia.
Data yang dirilis CNBC Indonesia pada 2025 menunjukkan fakta mengejutkan, Indonesia dinobatkan sebagai negara dengan tingkat kecanduan gadget paling akut di seluruh dunia. Ini bukan sekadar statistik yang bisa lewat begitu saja. Ini adalah cermin besar bahwa generasi kita sedang terperangkap dalam lingkaran adiksi yang lebih destruktif daripada yang kita bayangkan. Remaja dan anak muda kini menghabiskan sebagian besar waktunya di depan layar, namun yang tergerus bukan hanya jam tidur atau waktu belajar, melainkan keutuhan mental dan struktur kepribadian mereka.
Generasi yang Terkikis oleh Mesin Kapitalisme
Gejala yang tampak di permukaan sebenarnya hanya puncak gunung es. Di balik itu, gangguan kecemasan dan depresi semakin menguat di kalangan remaja, kemampuan berkonsentrasi menurun drastis, dan fenomena yang disebut digital dementia mulai muncul. Anak-anak yang tumbuh dalam pelukan gawai kehilangan kemampuan mendasar untuk fokus, mengingat, dan berpikir mendalam. Ironisnya, semua ini terjadi tanpa adanya batasan usia yang jelas dalam penggunaan media sosial di Indonesia. Anak-anak yang bahkan belum memahami jati dirinya sudah dibiarkan berinteraksi dengan algoritma yang dirancang untuk memicu kecanduan. Sebuah arena yang seharusnya tidak pernah menjadi tempat bermain bagi mereka.
Masalah ini tidak berdiri sendiri. Ia lahir dari sistem ekonomi yang sedang berkuasa: kapitalisme digital. Dalam sistem ini, manusia bukan lagi subjek yang menentukan arah hidupnya, tetapi berubah menjadi objek yang diperas atensinya. Atensi adalah komoditas baru. Semakin banyak waktu seseorang menghabiskan di layar, semakin besar keuntungan yang bisa diraih perusahaan digital. Tidak heran jika berbagai platform berlomba-lomba mendesain fitur paling adiktif, bahkan jika itu berarti mengorbankan kesehatan mental jutaan remaja. Dalam ekosistem ini, perusahaan-perusahaan raksasa menganggap kecanduan sebagai tanda keberhasilan, bukan bencana.
Yang paling memprihatinkan, negara tampak tidak hadir secara memadai. Indonesia menjadi pasar empuk bagi industri digital global, tetapi minim perlindungan bagi warga yang menjadi objek eksploitasi digital tersebut. Regulasi yang seharusnya melindungi anak-anak dari paparan berlebihan justru longgar. Tidak ada ketentuan jelas tentang usia minimal penggunaan media sosial, tidak ada pengawasan ketat terhadap konten yang dapat merusak perkembangan jiwa, dan tidak ada regulasi sistematis yang mengatur bagaimana kecerdasan buatan bekerja dalam mempengaruhi perilaku generasi muda. Seolah-olah masa depan bangsa bisa diserahkan begitu saja kepada algoritma yang diciptakan demi keuntungan.
Padahal, generasi muda adalah calon pemimpin masa depan. Jika mereka tumbuh dengan mental rapuh, mudah depresi, sulit fokus, dan cenderung terisolasi sosial, maka bangsa ini akan kehilangan kekuatan terbesarnya. Kita tidak sedang menghadapi persoalan kecil; kita sedang mengamati perlahan-lahan terkikisnya ketahanan mental satu generasi. Dan ketika sebuah generasi kehilangan kekuatan mentalnya, ia kehilangan dirinya sendiri.
Solusi Islam: Membangun Generasi Tangguh di Tengah Badai Digital
Dalam kondisi seperti ini, kita perlu menengok kembali kerangka nilai yang selama berabad-abad terbukti mampu membentuk manusia yang kuat, jernih akalnya, bersih jiwanya, sekaligus tangguh menghadapi guncangan peradaban. Nilai-nilai Islam bukan sekadar tuntunan moral, tetapi fondasi peradaban yang pernah melahirkan generasi pemikir, ilmuwan, dan pemimpin dunia. Islam memandang generasi muda sebagai amanah besar yang harus dijaga, dibina, dan diarahkan dengan sangat serius. Dalam perspektif ini, membangun manusia bukan pelengkap pembangunan, melainkan inti dari kelangsungan peradaban itu sendiri.
Pendidikan menjadi benteng pertama yang paling kokoh. Sejak periode klasik, sistem pendidikan Islam membentuk karakter yang utuh—menguatkan spiritualitas, menajamkan akal, menyeimbangkan emosi, dan menanamkan akhlak. Kurikulumnya tidak membiarkan anak tenggelam dalam arus distraksi, tetapi mengarahkan mereka untuk mengenali diri, memahami batasan, dan menempatkan teknologi pada posisi yang benar: sebagai alat, bukan pusat kehidupan. Sekolah harus menjadi ruang yang tidak hanya mengejar literasi digital, tetapi juga menanamkan etika bermedia, kemampuan berpikir kritis, serta disiplin diri dalam menghadapi godaan hiburan tanpa batas yang ditawarkan kapitalisme digital.
Namun benteng pendidikan tidak dapat dibangun oleh lembaga sekolah saja. Peran orang tua sebagai madrasah pertama menjadi penentu kualitas karakter anak. Di rumah, pengaturan jam layar, pendampingan saat menggunakan gawai, hingga diskusi tentang nilai moral menjadi kebutuhan mutlak. Tanpa pengasuhan yang kuat, anak-anak akan tumbuh mengikuti pola pikir algoritma yang diciptakan perusahaan digital, bukan mengikuti nilai-nilai moral yang membentuk kepribadian. Orang tua harus dibekali dengan pengetahuan dan tanggung jawab untuk mengarahkan, bukan sekadar membiarkan.
Masyarakat juga memegang peran penting sebagai pengawas moral. Budaya saling menasihati, peduli terhadap anak-anak di lingkungan, serta keberanian untuk menegur ketika ada hal yang menyimpang merupakan tradisi sosial Islam yang menjaga kualitas generasi. Prinsip amar makruf nahi mungkar bukan sekadar jargon moral, melainkan mekanisme sosial yang efektif untuk menciptakan atmosfer yang sehat dan kondusif bagi pertumbuhan generasi muda. Dalam masyarakat seperti ini, anak-anak tidak dibiarkan menjadi korban budaya permisif yang dibentuk oleh logika pasar digital.
Namun semua upaya itu tidak akan mencapai kekuatan besar tanpa dukungan negara. Di sinilah sistem Islam menunjukkan keistimewaannya. Ketika Islam diterapkan pada skala negara, perlindungan terhadap generasi muda bukan hanya imbauan moral, tetapi menjadi kewajiban politik dan konstitusional. Negara berkewajiban mengatur arus informasi dan teknologi dengan prinsip kehati-hatian, bukan membiarkannya dibentuk sepenuhnya oleh kepentingan pasar seperti dalam kapitalisme. Pengawasan media menjadi instrumen utama untuk memastikan seluruh tayangan, algoritma, dan konten digital tidak merusak akhlak publik. Platform yang memuat unsur merusak—baik pornografi, kekerasan, fitnah, maupun hiburan yang menyesatkan—akan diblokir tanpa kompromi, karena negara bertanggung jawab langsung atas kesehatan mental dan moral warganya.
Dalam sistem Islam, negara juga menetapkan batas usia penggunaan media sosial dengan mekanisme verifikasi yang ketat, bukan formalitas seperti yang terjadi di negara-negara kapitalis. Perusahaan digital tidak boleh mengakses data anak, tidak boleh memprofilkan mereka, dan tidak boleh mengejar keuntungan dengan memanipulasi psikologi mereka. Penggunaan kecerdasan buatan pun diarahkan untuk kemaslahatan, bukan menjadi mesin yang menjerumuskan generasi pada kecanduan dan ketergantungan. Negara tidak memberi ruang bagi teknologi yang membahayakan perkembangan akal dan mental anak-anak, karena kualitas generasi adalah prioritas strategis, bukan angka statistik.
Berbeda dengan kapitalisme yang menjadikan manusia sebagai pasar, sistem Islam menjadikan manusia sebagai subjek peradaban. Negara tidak tunduk pada kepentingan korporasi global dan tidak membiarkan masyarakatnya dimanipulasi oleh platform digital raksasa. Negara justru melakukan langkah-langkah preventif dan kuratif secara menyeluruh: membangun sistem pendidikan yang visioner, memperkuat peran keluarga, menciptakan atmosfer masyarakat yang saling menjaga, dan memastikan seluruh teknologi yang masuk ke ruang publik tidak membawa mudarat.
Kapitalisme digital telah memaksa kita memandang dunia melalui layar, tetapi juga memaksa kita melihat kenyataan pahit bahwa bangsa ini bergerak menuju krisis mental jika tidak ada intervensi yang serius. Jika negara terus abai, jika masyarakat dibiarkan berjalan sendiri, jika orang tua terus kelelahan menghadapi gempuran teknologi tanpa dukungan sistemik, maka generasi masa depan akan dibentuk bukan oleh nilai-nilai luhur, tetapi oleh algoritma yang hanya mengenal keuntungan.
Karena itu, Indonesia harus memilih arah. Tetap menjadi pasar bagi industri digital global yang merusak mental generasi, atau membangun sistem yang melindungi anak-anaknya dan memastikan masa depan mereka terjaga. Kita tidak bisa mengandalkan algoritma untuk mendidik anak-anak kita. Kita membutuhkan negara yang berani bertindak, masyarakat yang peduli, dan nilai-nilai Islam yang kokoh sebagai fondasi kehidupan.
Masa depan bangsa ini tidak boleh digadaikan kepada mesin. Ia harus dijaga oleh manusia-manusia yang sadar, berkarakter, dan kuat menghadapi badai digital. Sejarah menunjukkan bahwa sistem Islam pernah melahirkan generasi yang menjadi pemimpin dunia. Maka jika kita sungguh ingin menyelamatkan generasi Indonesia dari cengkeraman kapitalisme digital, sudah saatnya kita kembali pada sistem yang meletakkan manusia sebagai pusat peradaban, bukan sebagai komoditas pasar. Wallahu’alam
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
