Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Evander Dio

Jebakan Big Brother Digital: Ketika Teknologi Pengawasan Mengancam Kebebasan Sipil

Politik | 2025-12-05 01:13:25

Konstitusi Harus Menjadi Benteng Terakhir Privasi Warga dari Otoritarianisme Siber

https://www.balairungpress.com/2024/12/demokrasi-dalam-genggaman-otoritarianisme-digital/

Transformasi digital telah membawa Indonesia ke era baru yang penuh dengan kemudahan efisiensi kerja meningkat, konektivitas tanpa batas, informasi mengalir bebas, dan partisipasi demokratis semakin terbuka. Namun di balik gemerlap kemajuan teknologi ini, tersembunyi ancaman serius yang kini mulai menampakkan wajahnya: "Big Brother Digital".

Istilah yang terinspirasi dari novel distopia George Orwell ini bukan lagi sekadar metafora. Pengawasan massal, pengumpulan data tanpa batas, teknologi pelacak yang invasif, hingga sistem identifikasi digital semua ini membuka peluang bagi negara untuk mengontrol setiap aspek kehidupan warganya. Yang lebih mengkhawatirkan, berbagai kasus menunjukkan bahwa aparat negara kita tidak selalu menggunakan teknologi ini dengan bijaksana.

Ketika Teknologi Menjadi Alat Kontrol

Penggunaan spyware tanpa dasar hukum yang jelas, kriminalisasi terhadap kritik publik melalui UU ITE yang kontroversial, dan kebocoran data pribadi yang melibatkan lembaga negara semua ini adalah sinyal bahaya. Kita tengah menyaksikan pergeseran yang mengkhawatirkan: dari upaya perlindungan menuju praktik otoritarianisme siber, di mana data pribadi warga dijadikan alat kontrol politik dan sosial.

Ironisnya, regulasi perlindungan data sudah ada. Pasal 28G UUD 1945 menjamin hak atas privasi dan rasa aman. UU Perlindungan Data Pribadi telah disahkan. Namun di lapangan, ketidakpatuhan masih merajalela. Celah hukum dalam implementasi memungkinkan intervensi berlebihan terhadap privasi warga. Pertanyaannya sederhana namun fundamental: mengapa konstitusi yang seharusnya kuat justru tampak rapuh ketika berhadapan dengan kekuatan teknologi dan aparat negara?

Konstitusi Sebagai Batasan Mutlak

Pasal 28G UUD 1945 sebenarnya sudah memberikan batasan yang tegas. Jaminan perlindungan diri pribadi meluas ke ranah digital data dan identitas digital adalah bagian integral dari privasi yang harus dilindungi. Artinya, setiap tindakan pengawasan siber oleh aparat negara harus memenuhi tiga prinsip krusial:

Pertama, prinsip legalitas. Pengawasan hanya boleh dilakukan berdasarkan undang-undang yang eksplisit dan spesifik, bukan atas dasar diskresi belaka. Tidak boleh ada ruang abu-abu yang membuka peluang penyalahgunaan.

Kedua, prinsip proporsionalitas. Pengawasan harus sebanding dengan ancaman yang dihadapi. Praktik mass surveillance yang menjaring data warga secara massal adalah pelanggaran terang-terangan terhadap prinsip ini.

Ketiga, prinsip necessitas. Pengawasan siber harus menjadi upaya terakhir (ultima ratio) ketika metode investigasi lain tidak memadai. Bukan menjadi pilihan pertama yang mudah dan murah.

Membangun Sistem Checks and Balances yang Efektif

Untuk mencegah jebakan Big Brother Digital, kita membutuhkan mekanisme pengawasan yang kuat dan komprehensif. Ini bukan sekadar wacana teoritis, melainkan kebutuhan mendesak.

Penguatan peran yudikatif harus menjadi prioritas. Setiap tindakan pengawasan yang invasif penyadapan, akses data pribadi, atau penggunaan alat hacking harus mendapat izin pengadilan terlebih dahulu. Hakim harus menjadi gatekeeper yang memastikan setiap tindakan memenuhi standar konstitusional sebelum dieksekusi.

Reformasi legislatif juga tidak kalah penting. Kita membutuhkan Undang-Undang Prosedur Penegakan Hukum Siber yang sangat rinci dan limitatif. Undang-undang ini harus mendefinisikan dengan jelas batas kewenangan aparat, metode yang diperbolehkan, dan standar bukti yang diperlukan. Transparansi operasional harus dijamin setiap aktivitas pengawasan harus didokumentasikan secara detail dan dapat diaudit.

Pembentukan lembaga pengawas independen seperti Ombudsman Privasi Digital juga mendesak. Lembaga ini harus memiliki otoritas untuk menerima aduan, melakukan audit rutin, dan merekomendasikan sanksi terhadap pelanggaran. Keberadaan watchdog yang independen dan kompeten akan memastikan bahwa kekuasaan digital tidak disalahgunakan.

Penafsiran Yudisial yang Progresif

Pengadilan harus mengembangkan doktrin "Constitutional Digital Due Process" prinsip yang menjamin bahwa prosedur hukum di ranah digital harus adil dan tidak melanggar hak asasi. Ini berarti pengumpulan, penyimpanan, dan penggunaan bukti digital harus transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Warga negara harus memiliki hak untuk menantang validitas teknis dan konstitusional dari pengawasan yang dikenakan pada mereka.

Selain itu, harus ada mekanisme judicial review terhadap praktik pengawasan yang sudah dilakukan. Bahkan jika awalnya memiliki izin, pelaksanaannya tetap harus dievaluasi untuk memastikan tidak melampaui batas yang diizinkan.

Jalan ke Depan

Kita berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, teknologi menawarkan kemudahan dan efisiensi yang belum pernah ada sebelumnya. Di sisi lain, teknologi yang sama dapat menjadi alat penindasan paling efektif dalam sejarah manusia.

Pilihan ada di tangan kita: apakah kita akan membiarkan Indonesia tergelincir ke dalam rezim pengawasan otoriter, atau kita akan meneguhkan konstitusi sebagai benteng terakhir kebebasan sipil? Apakah kita akan membiarkan data pribadi kita menjadi alat kontrol negara, atau kita akan memastikan bahwa privasi tetap menjadi hak fundamental yang tidak dapat diganggu gugat?

Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan masa depan demokrasi Indonesia. Kemajuan teknologi harus melayani keadilan dan keamanan, bukan menjadi instrumen untuk menekan dan mendominasi. Hanya dengan menempatkan konstitusi sebagai panduan tertinggi dan filter moral bagi setiap kebijakan siber, kita dapat memastikan bahwa Indonesia tetap menjadi negara hukum yang demokratis bukan negara pengawasan yang otoriter.

Jebakan Big Brother Digital nyata adanya. Kini saatnya kita memilih: kebebasan atau kontrol? Privasi atau pengawasan? Konstitusi atau otoritarianisme siber?

Pilihan ada di tangan kita semua.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image