Kematian Nalar Kritis Mahasiswa: Ketika AI Memanjakan Otak untuk Malas Berpikir
Pendidikan dan Literasi | 2025-12-04 13:23:11
Di era kemajuan teknologi saat ini AI atau artificial intelligence sangat populer di berbagai kalangan, mulai dari konten kreator bahkan sampai mahasiswa. Modelnya pun ada berbagai macam, seperti bentuk text bot dan image generator. AI menawarkan potensi luar biasa sebagai asisten belajar, mempercepat proses riset, dan menyajikan informasi. Namun di sisi lain, muncul kekhawatiran serius mengenai dampaknya terhadap esensi pendidikan tinggi, yaitu kemampuan berpikir kritis mahasiswa.
Saat ini kita menyaksikan fenomena di mana mahasiswa semakin mengandalkan AI untuk menyelesaikan tugas akademik mulai dari merangkum materi, menyusun esai, hingga membuat kerangka penelitian, bahkan tanpa melalui proses analisis dan pemahaman mendalam. AI berfungsi sebagai "pabrik jawaban instan" yang jika tidak diimbangi dengan kesadaran kritis, justru dapat menumpulkan kemampuan intelektual mereka.
Kekhawatiran terhadap tumpulnya nalar kritis diperparah oleh munculnya fenomena penggunaan AI bahkan di momen evaluasi paling krusial, yaitu ujian. Di lingkungan yang minim pengawasan, banyak mahasiswa yang memanfaatkan AI untuk menjawab soal-soal ujian, baik secara online maupun offline dengan celah pengawasan yang longgar.
Namun, lebih mengkhawatirkannya adalah sikap abai dari sebagian tenaga pendidik atau dosen. Fenomena ini menciptakan "zona abu-abu akademik" yang berpotensi merusak integritas seluruh sistem pendidikan. Sikap abai ini mengirimkan pesan yang berbahaya bahwa etika akademik tidak lagi penting dan hasil instan (walaupun curang) lebih dihargai daripada proses belajar dan pemikiran mandiri.
Fenomena yang tidak kalah mengkhawatirkan adalah merosotnya kualitas dan keaslian dalam kegiatan presentasi kelas. Presentasi yang seharusnya menjadi ajang untuk menguji pemahaman, melatih komunikasi, dan memicu debat kritis, kini sering berubah menjadi "panggung sandiwara akademik" yang skenarionya sudah diatur. Mahasiswa menggunakan AI untuk mengotomatisasi seluruh proses, mulai dari menyusun materi, membuat slide hingga menyiapkan skrip lisan. Hal ini menjadikan penyaji tidak lebih dari "pembaca teleprompter" yang kurang memiliki pemahaman mendalam. Kecurangan ini diperparah dengan praktik "pertanyaan settingan" yang diatur oleh penyaji materi untuk menghindari tantangan kritis yang secara keseluruhan merusak tujuan utama presentasi sebagai wadah untuk mengasah keterampilan komunikasi, penalaran cepat, dan kemampuan berpikir mandiri.
Pandangan baru yang muncul adalah kita harus pintar menggunakan AI. AI seharusnya menjadi asisten pintar, bukan pengganti otak. Dalam cara pandang ini, AI membantu kita jadi lebih kuat, bukan membuat kita jadi malas. Hal ini berarti cara pendidik memberi tugas juga harus berubah. Tugas atau ujian perlu dibuat sedemikian rupa sehingga hanya bisa diselesaikan jika mahasiswa benar berpikir. Contohnya, model tugas untuk membandingkan jawaban dari beberapa AI lalu membuat kesimpulan sendiri atau ujian perlu lebih banyak dilakukan secara lisan agar pemahaman kita diuji langsung. Tugas juga bisa berupa studi kasus di lingkungan sekitar yang jawabannya tidak ada di data AI. Dengan cara ini AI menjadi alat dorong (bukan pengganti otak) untuk berpikir lebih cepat dan efisien sehingga mahasiswa lulus sebagai pribadi yang tidak hanya melek teknologi, tetapi juga kritis, cerdas menganalisis, dan bisa berdiri sendiri dalam memecahkan masalah.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
