Generasi Z dan Digitalisasi Pertanian: Saatnya Anak Muda Turun ke Sawah Digital
Teknologi | 2025-12-03 20:15:29Selama ini kita sering mendengar istilah “Indonesia negara agraris”. Tapi anehnya, untuk kebutuhan kedelai—bahan dasar tempe dan tahu yang jadi makanan sehari-hari—kita masih bergantung pada impor. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022 menyebutkan bahwa 90 persen kebutuhan kedelai nasional masih diimpor, terutama dari Amerika Serikat. Artinya, hanya 10 persen yang diproduksi petani lokal. Bayangkan, negara dengan tanah subur dan iklim tropis ini justru tidak mampu memenuhi kebutuhan kedelai sendiri.
Ketergantungan itu membuat kita rentan terhadap gejolak ekonomi global. Saat terjadi perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok, harga kedelai dunia melonjak hingga 25 persen. Dampaknya, biaya impor meningkat dan harga pangan di dalam negeri ikut naik. Kondisi ini menunjukkan satu hal penting: ketahanan pangan kita lemah karena belum mandiri secara produksi.
Masalah kedelai bukan sekadar soal cuaca atau tanah. Ini persoalan sistemik—mulai dari rendahnya produktivitas lahan, akses teknologi yang terbatas, hingga pemasaran yang tidak adil. Sebagian besar petani kedelai masih menggunakan cara lama dengan hasil rata-rata 1,5 ton per hektar, padahal negara lain bisa dua kali lipat. Di sisi lain, petani juga bergantung pada tengkulak karena tidak punya akses pasar langsung. Ujungnya, petani rugi, konsumen dirugikan, dan Indonesia tetap bergantung pada impor.
Namun di tengah kerumitan itu, ada harapan baru: digitalisasi pertanian. Teknologi bukan lagi milik industri besar saja—sektor pertanian pun bisa ikut naik kelas. Melalui konsep smart farming, teknologi seperti Internet of Things (IoT), big data, dan kecerdasan buatan (AI) bisa membantu petani memantau kondisi tanah, menentukan waktu tanam terbaik, hingga mengatur irigasi secara otomatis. Dengan alat yang tepat, petani bisa menekan biaya produksi sekaligus meningkatkan hasil panen.
Lebih dari itu, digitalisasi juga membuka peluang baru di ranah pemasaran. Platform digital seperti marketplace pertanian memberi jalan bagi petani untuk menjual langsung ke konsumen tanpa perantara. Menurut laporan Bank Dunia (2021), petani yang terhubung ke platform digital bisa meningkatkan pendapatan hingga 20 persen. Ini bukti bahwa teknologi bisa menjadi alat pemberdayaan, bukan sekadar gaya hidup.
Nah, di sinilah peran Generasi Z menjadi sangat penting. Gen Z dikenal sebagai generasi yang paling akrab dengan teknologi. Mereka hidup di dunia digital, cepat beradaptasi, dan kreatif mencari solusi. Tapi ironisnya, hanya sedikit yang mau menoleh ke sektor pertanian. Padahal, kalau ada kelompok yang paling siap membawa pertanian masuk ke era baru, jawabannya jelas: Generasi Z.
Generasi ini punya semua modal yang dibutuhkan—pengetahuan digital, jiwa inovatif, dan semangat kewirausahaan. Beberapa contoh sudah terlihat lewat kemunculan startup agritech seperti TaniHub atau Crowde yang didirikan oleh anak muda. Mereka menggunakan teknologi untuk menghubungkan petani dengan pasar, memberikan akses modal, hingga menyediakan edukasi pertanian modern. Inilah bukti nyata bahwa inovasi anak muda bisa menyentuh akar persoalan ketahanan pangan.
Namun, potensi itu belum sepenuhnya dimanfaatkan. Banyak anak muda masih melihat pertanian sebagai pekerjaan “kotor” dan tidak bergengsi. Ini perlu diubah. Generasi Z harus memandang pertanian sebagai ruang inovasi—tempat untuk menggabungkan teknologi, bisnis, dan nilai sosial. Melalui media sosial, mereka bisa menciptakan narasi baru: bahwa bertani bukan berarti terbelakang, tapi justru masa depan.
Tentu saja, perubahan ini tidak bisa berjalan sendiri. Pemerintah perlu turun tangan dengan kebijakan yang berpihak pada pertanian digital: memberikan pelatihan literasi teknologi bagi petani muda, memberi insentif bagi startup agritech, dan memperluas infrastruktur digital di desa. Sektor swasta pun harus berani berinvestasi dalam riset dan teknologi pertanian yang sesuai dengan kebutuhan petani kecil. Sementara kampus dan komunitas bisa menjadi jembatan yang menghubungkan anak muda dengan dunia pertanian melalui program magang, riset, dan inovasi sosial.
Mengandalkan impor bukanlah solusi jangka panjang. Jika harga dunia naik atau pasokan terganggu, kita akan kembali kelabakan. Indonesia butuh kemandirian pangan, dan kuncinya ada pada generasi muda. Digitalisasi hanyalah alat; yang membuatnya hidup adalah manusia di baliknya. Generasi Z harus berani turun tangan—bukan hanya sebagai pengguna teknologi, tapi sebagai penggerak perubahan.
Bayangkan jika anak muda Indonesia mulai melihat sawah bukan sekadar tempat lumpur, tapi ladang inovasi. Drone menggantikan cangkul, data menggantikan tebakan, dan petani muda menggantikan generasi yang hampir punah. Saat itu terjadi, pertanian bukan lagi simbol keterbelakangan, melainkan tanda kemajuan.
Kemandirian pangan tidak akan datang dari kebijakan impor, tapi dari tangan-tangan muda yang berani berinovasi. Dan ketika Generasi Z memilih untuk tidak hanya menjadi konsumen teknologi, tetapi pencipta solusi bagi pertanian Indonesia, maka kedelai lokal akan tumbuh bukan hanya di tanah kita, tetapi juga di kesadaran kolektif kita: bahwa ketahanan pangan adalah bentuk cinta tanah air yang paling nyata.
Nama: Bening Salsabila Maheswari
Pendidikan: Menempuh S1 Ilmu Informasi dan Perpustakaan, Universitas Airlangga
Kontak: beningsalsabilamaheswari@gmail.com
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
