Bencana Sumatra: Perlu Status Nasional untuk Mendapatkan Penanganan Maksimal?
Info Terkini | 2025-12-02 15:11:57
Bencana besar yang melanda Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara pada akhir November lalu telah meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat. Ratusan korban jiwa, kerusakan infrastruktur, ribuan warga terisolasi, dan lumpuhnya aktivitas ekonomi menjadi gambaran betapa beratnya situasi yang dihadapi tiga provinsi tersebut. Akses transportasi terputus total, pasokan listrik padam, jalur komunikasi terhenti, sementara kebutuhan pokok makin langka dan banyak warga mulai mengalami kelaparan. Meski kondisi ini sangat parah, pemerintah pusat hingga kini belum menetapkan banjir bandang dan tanah longsor di Sumatra sebagai bencana nasional.
Keputusan tersebut memantik reaksi dari berbagai pihak. Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari MaTA, LBH Banda Aceh, AJI Banda Aceh, ICAIOS, dan organisasi lain mendesak Presiden Prabowo Subianto segera menetapkan status darurat bencana nasional. Mereka menegaskan bahwa kapasitas pemerintah daerah sudah jauh melewati batas kemampuan. Dengan kerusakan fasilitas publik seperti sekolah, rumah sakit, jembatan, hingga jalan nasional yang menghubungkan provinsi dan kabupaten, penanganan bencana semakin sulit dilakukan hanya dengan sumber daya daerah yang terbatas.
Desakan juga datang dari Ketua DPD Sultan Baktiar Najamudin yang menilai bahwa bencana ini sudah memenuhi kategori bencana nasional sesuai Undang-Undang Penanggulangan Bencana. Dampak sosial-ekonomi yang masif, kerugian harta benda, kerusakan prasarana, hingga luasnya wilayah yang terdampak menunjukkan bahwa intervensi pemerintah pusat tidak lagi bisa ditunda. Akses darat yang lumpuh membuat bantuan kemanusiaan sulit didistribusikan, sementara kondisi fiskal pemerintah daerah tidak memungkinkan penanganan jangka panjang. Legislator DPR dari Fraksi NasDem, Dini Rahmania, bahkan menyebut bahwa empati saja tidak cukup. Negara harus mengambil langkah paling tinggi, termasuk penetapan status darurat bencana nasional, agar penanganan bisa dilakukan secara cepat, terkoordinasi, dan memiliki legitimasi politik yang kuat.
Di tengah berbagai desakan itu, muncul pertanyaan besar yang menggelitik hati banyak orang: apakah bencana yang menimbulkan korban dan kerusakan di tiga provinsi masih belum pantas disebut sebagai bencana nasional? Apakah negara harus menunggu status tertentu terlebih dahulu sebelum turun secara penuh membantu warganya yang sedang dalam kesulitan? Di titik ini, persoalan bukan lagi sekadar memenuhi syarat administratif atau menunggu batas-batas teknis dalam undang-undang. Yang dipertaruhkan adalah nyawa manusia dan hak warga negara untuk mendapatkan perlindungan dan bantuan yang memadai.
Saat Bencana Melanda, Kehadiran Lebih Penting dari Penetapan!
Pemerintah daerah memang memiliki peran penting dalam penanganan bencana, tetapi hadirnya pemerintah daerah bukan berarti pemerintah pusat dapat menahan diri untuk turun tangan penuh sebelum sebuah bencana dinyatakan sebagai bencana nasional. Respons cepat dari pusat adalah bentuk empati, kepedulian, dan kehadiran negara yang dirasakan langsung oleh rakyatnya. Bencana ini seharusnya menjadi cermin bahwa dalam kondisi luar biasa, negara perlu hadir tanpa menunggu status.
Pada akhirnya, penanganan bencana bukan hanya soal aturan dan prosedur, tetapi juga soal kemanusiaan. Ketika ribuan orang kehilangan tempat tinggal, akses hidup mereka terputus, dan masa depan mereka menjadi tidak pasti, negara harus hadir di garda terdepan. Bukan semata karena aturan mengharuskan, tetapi karena nilai kemanusiaan menuntut demikian. Bagi masyarakat Sumatra yang sedang berjuang, kehadiran pemerintah pusat bukan hanya bantuan fisik, tetapi juga tanda bahwa mereka tidak sendirian menghadapi musibah.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
