Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Raisa Eka Sakya

Langit yang tak Pernah Jatuh

Sastra | 2025-11-27 20:59:44

Di sebuah sudut kota Gaza yang tak benar-benar sunyi, hidup dua sahabat kecil bernama Yusuf dan Khalid. Mereka tumbuh bersama di jalan-jalan sempit yang dulu dipenuhi pasar kecil, aroma roti panas, dan tawa anak-anak. Namun, ketika beranjak dewasa, dunia mereka berubah. Suara tawa digantikan dengan dentuman, dan langit seringkali memerah sebelum fajar. Meski begitu, satu hal yang tidak berubah: persahabatan mereka.

Malam itu, angin laut membawa aroma garam ke kota yang gelap gulita. Yusuf dan Khalid duduk di atap rumah Yusuf, tempat favorit mereka sejak kecil.

“Kalau suatu hari kita terpisah kamu bakal tetap ingat janji kita?” tanya Khalid pelan.

Yusuf tersenyum. “Janji apa?kita punya banyak janji waktu kecil, termasuk mau naik unta sampai Mesir.”

Khalid tertawa kecil — jarang sekali tawa muncul akhir-akhir ini. “Yang itu juga. Tapi aku bicara tentang janji kita yang lebih besar menjaga Gaza dengan cara kita, menjaga keluarga kita.

Yusuf menatap langit yang penuh asap. “Aku ingat. Selama aku masih hidup, aku gak akan biarkan apapun merenggut harapan dari kota ini.”

Khalid menepuk bahu sahabatnya. “Dan selama aku masih disini, kamu tidak akan berjalan sendirian.”

Beberapa minggu kemudian, keduanya bergabung membantu warga sebagai relawan penjaga malam. Bukan tentara, bukan juga kombatan bersenjata — mereka hanya dua pemuda yang ingin menjaga lingkungan, mengevakuasi warga, dan membantu siapapun yang membutuhkan.

Malam itu suara ledakan mengguncang distrik timur. Yusuf dan Khalid segera bergerak bersama regu kecil membawa tandu.

Di antara debu dan reruntuhan, mereka menemukan seorang anak kecil menangis di samping ibunya yang terluka. Yusuf langsung mengangkat si kecil, sementara Khalid memanggul sang ibu.

“Kita harus cepat!” seru Khalid.

Tiba-tiba, dentuman lain membuat tanah bergetar. Yusuf hampir jatuh, namun tangan Khalid menangkap lengannya.

“Tenang. Aku disini!” ujar Khalid.

Mereka berlari, menembus malam yang kacau. Dan saat mereka tiba di tempat aman, anak kecil itu memeluk Yusuf erat-erat. “Kalian malaikat,” bisiknya.

Khalid menahan nafas, menatap Yusuf. “Kami bukan malaikat, kami hanya dua sahabat yang mencoba melakukan yang benar.”

Setelah jam-jam yang terasa sangat panjang, mereka duduk di reruntuhan tembok masjid lama — tempat yang dulu mereka gunakan untuk menghafal Al-Qur’an saat kecil.

“Khalid..” ucap Yusuf perlahan. “Kamu masih ingat ayat yang sering kita baca disini?”

“Yang mana..?” ujar Khalid.

“Fa inna ma’al ‘usri yusra. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.”

Khalid mengangguk. “Dan bersama luka ada harapan, bersama gelap ada cahaya.”

Matahari perlahan muncul dari balik asap yang menggantung. Cahaya keemasan itu menyentuh wajah mereka, membuat dunia yang rusak terlihat sedikit lebih indah.

“Suatu hari,” kata Yusuf, “kita bakal melihat Gaza tersenyum lagi. Dan kalau waktu itu datang, kita akan bilang kita pernah bertahan bersama.”

Khalid menatap sahabatnya — matanya penuh keyakinan. “Apapun yang terjadi nanti Gaza akan berdiri. Dan persahabatan kita juga.”

Angin pagi berhembus lembut, seolah membawa doa-doa yang tak terdengar dari rumah-rumah yang terkoyak.

Di tengah perang, di tengah kehancuran, persahabatan mereka adalah sesuatu yang tidak pernah bisa dihancurkan.

Fajar yang menyentuh Gaza pagi itu tidak membawa kehangatan yang biasa. Cahaya emasnya jatuh pada bangunan-bangunan yang terkelupas, pada jalanan yang tak lagi lurus, dan pada wajah-wajah lelah yang mencoba kembali percaya bahwa dunia masih punya ruang untuk harapan.

Di antara puing-puing masjid tua, Yusuf dan Khalid masih duduk berdampingan. Mereka sama-sama terdiam, membiarkan angin menghapus debu di wajah mereka.

“Kadang,” ujar Khalid sambil mengusap jidatnya, “aku merasa kita hanya mencoba menambal perahu yang sudah bocor terlalu banyak.”

Yusuf menatapnya. “Perahu bocor bisa diperbaiki. Selama kita gak berhenti mendayung.”

Khalid menghela nafas, lalu tersenyum kecil. “Kamu selalu punya jawaban ya.”

“Kalau aku kehabisan jawaban, kamu yang bantu. kan kita partner seumur hidup.”

Mata Khalid berkilat. Mereka memang selalu begitu — dua remaja yang tumbuh menjadi dua pemuda yang tak pernah benar-benar menyerah meski dunia seperti terus menguji.

Kota itu mulai bergeliat lagi. Relawan-relawan lokal membentuk kelompok untuk mengumpulkan makanan, membangun dapur umum, dan menyediakan tempat penginapan sementara. Yusuf dan Khalid tak pernah pulang tanpa membawa sesuatu — entah roti, air, atau sekadar kabar.

Sore itu, mereka membantu di klinik sementara yang hanya berupa tenda besar di samping sekolah yang setengah roboh.

Seorang lelaki tua datang sambil menuntun istrinya. Tangannya bergetar. “Nak tolong dia belum makan sejak kemarin.”

Khalid segera mengambil kursi plastik dan membantunya duduk. Yusuf membawakan selimut lusuh dan menurunkan saturasi oksigen portable.

“Tenang, Ammi,” ujar Yusuf lembut. “Kami bantu. Nama Ammi siapa?”

“Maryam ”

“Ammi Maryam, kami akan bantu sebisa kami, ya?”

Saat mereka bekerja, Khalid memperhatikan Yusuf. Ada sesuatu di mata sahabatnya itu — kelelahan yang sangat dalam, namun tetap ada cahaya kecil yang menolak padam.

“Yusuf,” panggil Khalid pelan ketika keadaan mulai tenang, “kapan terakhir kamu tidur?”

Yusuf tertawa hambar. “Tidur itu sunnah, paling nanti malam.”

“Kamu tuh ya nanti kalau kamu tumbang, siapa yang mau aku marahin?”

Yusuf menyikutnya pelan. “Kalau aku tumbang, kamu tetap bisa marahin aku sambil aku tidur. Kan kamu cerewet.”

“Berani banget kamu ngomong gitu ke orang yang nyelametin kamu kemarin.”

“Kemarin itu kamu juga hampir jatuh, jadi kita impas.”

Malam itu, kota benar-benar gelap, Tidak ada listrik. Tidak ada bintang. Hanya cahaya api dari kejauhan yang membelah langit.

Yusuf dan Khalid sedang bertugas mengantar suplai air ke sebuah keluarga yang baru dievakuasi dari distrik lain. Perjalanan harus cepat karena suara-suara di udara terdengar semakin sering.

“Gaza ini lucu ya,” kata Yusuf tiba-tiba, menatap langit hitam. “Walaupun gelapnya begini, aku tetap tahu arah jalan pulang.”

“Bukan, karena aku bareng kamu.”

Khalid langsung menepuk kepala Yusuf. “Ceritanya mau bikin aku terharu tapi malah bikin aku kesel.”

Yusuf tertawa kecil. Tetapi, tawa itu terhenti ketika suara keras mengguncang udara.

BOOM!

Getarannya membuat tanah di bawah mereka seperti bergerak. Keduanya spontan menunduk.

“Khalid! Kamu gapapa?” teriak Yusuf.

“Iya! Ayo, cepat!”

Mereka berlari, menyusuri gang-gang sempit yang hanya diterangi senter kecil. Namun, ketika mereka mendekati tikungan, suara rintihan terdengar dari balik reruntuhan dinding.

“Berhenti!” kata Yusuf.

“Kita gak boleh berhenti! Lokasi ini gak aman!” ujar Khalid gelisah.

“Tapi ada orang di sana. Dengar gak? Itu suara anak kecil.”

Yusuf tanpa menunggu jawaban langsung menunduk di antara tumpukan beton. Dan benar — seorang anak laki-laki berumur sekitar enam tahun terjebak, kakinya terhimpit batu besar.

“Khalid!” panggil Yusuf panik.

Khalid menutup wajahnya sejenak, lalu menggeleng pahit. “Baiklah. Kita lakukan cepat.”

Mereka berdua mendorong batu itu dengan sekuat tenaga. Nafas Yusuf terengah-engah, tangan Khalid gemetar, tetapi mereka tidak menyerah.

Akhirnya, batu itu terguling.

Yusuf menarik anak itu dan mengangkatnya ke pelukan.

“Kamu aman, adek kamu ikut kita ya,” katanya lembut.

Anak itu hanya mengangguk lemah, wajahnya penuh debu dan air mata.

“Kita harus kabur sekarang!” seru Khalid.

Mereka kembali berlari, kali ini dengan Yusuf menggendong sang anak. Langkah mereka sempoyongan. Tetapi akhirnya mereka sampai di titik aman.

Anak itu tidak banyak bicara. Di tenda pengungsian, ia hanya duduk dengan selimut membungkus tubuh kecilnya.

Yusuf duduk di sampingnya. “Namamu siapa, nak?”

Anak itu menunduk. “Aku nggak ingat.”

Khalid yang mendengar itu berhenti mengemas obat. “Nggak ingat?”

“Aku sama ibuku aku lari setelah suara besar terus aku hilang ”

Yusuf menatap Khalid. Mata mereka saling berbicara tanpa kata.

“Kita jagain dia dulu,” kata Yusuf.

“Iya,” sahut Khalid. “Kalau keluarganya selamat, mereka pasti akan cari.’

Sejak malam itu, anak itu berada di dekat mereka setiap saat. Ia mengikuti Yusuf seperti bayangan.

“Kita panggil dia apa?” tanya Khalid.

Yusuf berpikir sejenak. “Zaid.”

Khalid menaikkan alis. “Kenapa Zaid?”

“Karena artinya ‘pertambahan’. Kehadiran dia nambahin alasan baru buat kita bertahan.”

Khalid terdiam. Lalu ia mengangguk lambat, tersenyum kecil. “Zaid, berarti.”

Dan Zaid tersenyum untuk pertama kalinya sejak mereka menemukannya.

Dalam beberapa hari, Zaid semakin dekat dengan mereka. Ia sering memegang tangan Yusuf saat tidur dan duduk di pangkuan Khalid saat makan.

Namun, kehidupan tidak memberimu waktu lama untuk bernapas di Gaza.

Hari kelima setelah mereka menemukan Zaid, sebuah peringatan datang: distrik tempat tenda mereka berada harus dievakuasi malam itu juga.

“Cepat! Semua bersiap ke titik kumpul!” teriak para relawan.

Yusuf menggendong Zaid. “Dek, jangan lepas dari aku ya.”

Khalid membawa ransel kecil berisi obat dan air. “Ayo, kita ikut rombongan keluarga.”

Namun, baru beberapa menit berjalan, suara sirine menggelegar di langit.

Semua orang menunduk, melindungi kepala.

“Khalid!” panggil Yusuf. “Kita harus cari perlindungan!”

Mereka berlari ke bangunan terdekat — sekolah tua dengan sebagian besar dinding yang masih berdiri.

Begitu mereka masuk, dentuman keras membuat atap sebagian ruangan runtuh. Debu beterbangan. Zaid menangis.

“Husshh tenang, Zaid aku ada di sini,” bisik Yusuf sambil memeluknya.

Khalid menutup pintu yang separuh terlepas. “Kita tunggu lima menit sampai aman.”

Tetapi lima menit itu terasa seperti lima jam. Yusuf menggenggam tangan Khalid erat — pertama kalinya setelah sekian lama.

“Khalid,” katanya lirih, “apapun yang terjadi tetap bareng aku, ya.”

Khalid menatap sahabatnya, matanya berkaca. “Aku gak pernah niat ninggalin kamu.”

Saat itu, suara di luar mulai mereda. Mereka akhirnya keluar perlahan dan melihat warga sudah berkumpul di titik aman.

Malam itu, mereka berhasil tiba di tempat pengungsian lain yang lebih aman. Rumahnya adalah bangunan besar dengan halaman luas — sebuah sekolah yang belum dihancurkan.

Saat Zaid tertidur, Khalid duduk di samping Yusuf.

“Kamu tahu,” kata Khalid perlahan, “kalau bukan karena kamu, aku mungkin sudah berhenti dari semua ini.”

Yusuf tersenyum samar. “Kalau bukan karena kamu, aku gak akan kuat sejauh ini.”

Khalid mengeluarkan selembar kertas lusuh dari sakunya. “Ini aku temuin waktu kita di reruntuhan tadi pagi. Kayaknya jatuh dari tas kamu.”

Yusuf mengambilnya. Ia terdiam.

Itu adalah surat kecil dari adik perempuannya, Amal — yang bersama ibunya dievakuasi ke Rafah beberapa minggu lalu.

“Bang Yusuf, kalau abang capek, istirahat ya. Kalau abang sedih, jangan di pendam. Allah selalu bersama abang. Aku juga. Jangan jadi pahlawan sendirian. Pulanglah setelah abang selesai menolong orang lain.”

Yusuf menutup kertas itu, tangannya bergetar.

Khalid menatap sahabatnya dengan lembut. “Kamu gak sendirian, Yusuf. Ada aku.”

Yusuf memejamkan mata. “Aku tahu.”

Keesokan harinya, mereka bertugas membagi makanan. Zaid selalu mengikuti di belakang, membawa roti kecil di tangannya.

“Zaid,” kata Khalid sambil menunduk, “kamu hebat sekali bantu kami.”

Zaid tersenyum malu-malu. “Aku mau jadi kayak kalian.”

Yusuf menepuk kepala kecil itu. “Untuk jadi pahlawan, kamu gak perlu angkat senjata. Cukup punya hati yang kuat.”

Hari itu berjalan lebih tenang. Tidak ada serangan besar. Tidak ada getaran yang membuat jantung meloncat. Namun, ketenangan itu justru membuat Yusuf gelisah.

“Khalid,” katanya sore itu, “kamu merasa aneh gak hari ini?”

“Sedikit. Tapi mungkin memang sedang tenang.”

“Gaza jarang tenang.”

Khalid mengangguk pelan. “Ya. Tapi kita nikmati saja.”

Ternyata firasat Yusuf benar.

Tengah malam, suara keras kembali mengguncang daerah mereka. Lampu-lampu mati. Warga berteriak. Pengungsian berubah kacau.

“Zaid! Yusuf! Cepat bangun!” seru Khalid.

Yusuf langsung memegang Zaid yang menangis.

“Ayo Khalid! Kita lari!”

Namun ketika mereka hendak keluar, sebuah ledakan terjadi cukup dekat. Pintu bangunan terhempas. Debu menutupi ruangan.

Khalid terdorong mundur, menabrak dinding.

“KHALID!” teriak Yusuf.

Dengan Zaid di pelukan, ia bergegas menuju sahabatnya.

Khalid mencoba bangkit, tapi lututnya goyah.

“Aku aku bisa ,” kata Khalid terbatuk.

“Pegang aku!” Yusuf meraih lengannya.

Mereka bertiga berlari terseok-seok keluar bangunan. Langit merah. Tanah berguncang. Warga panik berhamburan.

Namun, Yusuf tidak peduli pada apapun selain dua orang di sampingnya.

Saat mereka akhirnya mencapai tempat aman, adzan subuh berkumandang dari kejauhan — suara yang nyaris tenggelam di antara kekacauan.

Zaid menggenggam jari Yusuf. “Aku takut ”

Yusuf mencium keningnya. “Aku tahu, Nak. Tapi kita bertiga masih di sini. Itu berarti kita masih punya harapan.”

Khalid duduk kelelahan, tetapi ia tersenyum ke arah Yusuf.

“Kita berhasil lagi.”

“Ya,” jawab Yusuf dengan nafas berat. “Kita berhasil lagi.”

“Kamu sadar gak?” tanya Khalid. “Kita sering banget mau mati.”

“Selama kita bareng, kayaknya hidup masih mau nahan kita.”

Mereka tertawa pelan — tawa letih, tetapi sungguh-sungguh.

Pagi itu, mereka bertiga duduk bersama. Zaid bersandar di pangkuan Yusuf. Khalid duduk di sebelah, menatap langit yang mulai cerah.

“Yusuf,” kata Khalid, “mungkin suatu hari Gaza akan benar-benar hancur.”

“Mungkin.”

“Tapi lihat langit itu.” Khalid menunjuk ke atas. “Walaupun penuh asap, warnanya tetap biru. Seakan bilang: kalian belum kalah.”

Yusuf menatap langit yang perlahan memudar dari merah ke biru abu-abu.

“Kamu tahu kenapa aku namain cerita kita ‘langit yang tak pernah jatuh’?”

“Kenapa?”

“Karena langit Gaza tetap di atas, walau dunia berusaha menjatuhkannya. Sama kayak kita.”

Khalid mengangguk pelan. “Sama kayak persahabatan kita.”

Angin pagi kembali berhembus. Debu berputar, sinar matahari merayap masuk menembus udara.

Di tengah kehancuran, di tengah dunia yang terasa ingin runtuh, tiga hati itu berdiri — Yusuf, Khalid, dan Zaid.

Karena selama mereka masih saling menjaga, harapan tidak akan pernah benar-benar hilang.

Seperti langit Gaza.

Yang tak pernah jatuh.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image