Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image andini maratu

Harmoni yang Terbangun di Akar Rumput: Belajar Keberagaman dari Desa Laban

Agama | 2025-11-26 15:51:44

Di tengah maraknya perdebatan mengenai intoleransi di ruang publik Indonesia, ada sebuah desa kecil di Gresik yang justru menunjukkan hal sebaliknya. Desa Laban di Kecamatan Menganti menjadi contoh bagaimana keberagaman bisa tumbuh tanpa konflik. Field study yang dilakukan pada Oktober 2025 mengungkap bahwa harmoni sosial di desa ini bukan sekadar narasi indah, melainkan praktik hidup yang dijalankan warganya setiap hari.

Desa Laban dihuni hampir delapan ribu jiwa dengan komposisi mayoritas Muslim dan minoritas Hindu, disertai kelompok kecil Kristen, Katolik, dan Buddha. Keberagaman ini mudah terlihat dari lanskap desa: masjid dan pura berdiri dalam jarak yang saling berdekatan, bahkan makam Islam dan Hindu berada berdampingan. Bagi banyak daerah, kedekatan fisik seperti ini bisa menjadi sumber gesekan. Tetapi di Laban, kedekatan justru melahirkan kebiasaan saling memahami. Inilah yang membuat desa ini sering dijuluki sebagai “Desa Pancasila”.

Yang menarik, kerukunan ini terbentuk bukan dari slogan semata, tetapi dari sejarah panjang masyarakatnya. Warga Laban dahulu banyak menganut Buddha Jawa Wisnu. Namun setelah negara tidak lagi mengakui kepercayaan tersebut pasca-1965, masyarakat menghadapi pergulatan identitas. Sebagian besar memilih berpindah ke Hindu karena kesamaan nilai dan ritual, sebagian lainnya masuk Islam, dan sebagian memilih meninggalkan desa. Masa transisi ini tentu tidak mudah, dan pada titik tertentu muncul gesekan kecil. Namun warga Laban mampu melewati masa itu dengan adaptasi dan dialog, sehingga perbedaan agama tidak berubah menjadi garis pemisah.

Kini, warisan sejarah itu membentuk cara warga berinteraksi. Dari hasil wawancara, jelas terlihat bahwa toleransi di Laban bukanlah sesuatu yang dipaksakan atau dipertahankan dengan aturan formal. Ia tumbuh sebagai kebiasaan turun-temurun. Saat perayaan Nyepi, warga Muslim tetap beraktivitas seperti biasa tetapi menjaga ketenangan desa dan menyesuaikan penggunaan pengeras suara sebagai bentuk penghormatan. Bahkan adzan tidak diperdengarkan melalui toa luar agar rangkaian upacara Hindu tetap berlangsung khidmat. Sebaliknya, saat Idul Fitri, warga Hindu memberikan ucapan selamat, ikut berkunjung, dan menjaga lingkungan desa tetap kondusif. Kebiasaan ini lahir bukan dari instruksi pemerintah atau kampanye toleransi, tetapi dari kesadaran kolektif bahwa kerukunan adalah kebutuhan bersama.

Dalam aktivitas sosial, pola yang sama terlihat jelas. Warga dari berbagai agama bekerja berdampingan dalam kerja bakti, bersih desa, dan pembangunan fasilitas umum. Pemerintah desa secara aktif melibatkan tokoh agama Islam dan Hindu dalam forum musyawarah desa, menunjukkan bahwa identitas keagamaan tidak menjadi batas partisipasi. Bahkan pada acara sedekah bumi, tokoh dari kedua agama diberi kesempatan yang sama untuk memanjatkan doa. Di level kehidupan sehari-hari, hubungan antarwarga begitu cair sehingga perbedaan agama tidak lagi menjadi variabel penting dalam interaksi sosial.

Temuan lapangan juga menunjukkan bahwa generasi muda berperan besar dalam menjaga kerukunan ini. Inisiatif pembangunan Laban Central Park menjadi bukti bagaimana pemuda lintas agama dapat bekerja sama menciptakan ruang publik yang inklusif. Bidang ekonomi pun ikut terdampak positif. Puluhan UMKM lokal tumbuh di area tersebut, dan warga dari berbagai agama berinteraksi tanpa sekat. Bagi pemuda Laban, toleransi bukan isu yang harus dibahas panjang lebar; ia sudah menjadi bagian dari kultur hidup sehari-hari.

Pelajaran penting dari Desa Laban adalah bahwa toleransi lahir dari praktik, bukan slogan. Warga tidak berbicara tentang Pancasila, tetapi mereka mempraktikkan Sila Kedua melalui sikap saling menghormati, Sila Ketiga melalui gotong royong lintas agama, dan Sila Kelima melalui pemerataan ruang sosial dalam pembangunan desa. Gaya hidup seperti ini justru lebih kuat daripada kampanye formal yang sering hanya berhenti pada retorika.

Field study ini mengingatkan bahwa keberagaman tidak harus menjadi sumber konflik. Namun ia hanya bisa menjadi kekuatan jika masyarakat memiliki tradisi dialog, kesediaan untuk menyesuaikan diri, dan pemahaman bahwa perbedaan bukan untuk dipertajam. Desa Laban menunjukkan bahwa harmoni sosial bisa tercipta bukan dari program besar pemerintah, tetapi dari kebiasaan kecil yang diulang setiap hari kerja bakti bersama, saling menghormati perayaan keagamaan, dan membangun fasilitas umum secara gotong royong.

Di tengah narasi nasional yang sering dipenuhi isu intoleransi, Desa Laban memberikan pesan penting: perdamaian tidak hanya lahir dari kebijakan, tetapi dari budaya sosial yang tumbuh di akar rumput. Agar contoh seperti ini tidak hilang ditelan waktu, dokumentasi, penelitian, dan perhatian publik sangat diperlukan. Karena seringkali, teladan terbaik justru datang dari tempat yang tidak pernah masuk berita.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image