Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Maulana Firdaus

Kekerasan Pemuda terhadap Pasangan karena Penolakan Ajakan Kriminal: Tinjauan Sosiologis

Hukum | 2025-11-24 17:54:21

Abstrak

Kekerasan dalam hubungan pacaran merupakan bentuk kekerasan interpersonal yang terus meningkat dan semakin sering dijumpai dalam kehidupan sosial dewasa ini. Salah satu fenomena yang jarang dibahas adalah tindakan penganiayaan yang dilakukan seorang pemuda terhadap pasangannya akibat penolakan untuk terlibat dalam aktivitas kriminal. Situasi semacam ini menunjukkan pola hubungan yang didominasi oleh kontrol, tekanan, dan perilaku menyimpang. Artikel ini membahas faktor penyebab, bentuk kekerasan, dinamika relasi, serta dampak yang ditimbulkan dengan menggunakan perspektif sosiologis, psikologis, dan hukum. Hasil kajian menunjukkan bahwa kekerasan ini dipengaruhi oleh lingkungan sosial berisiko, lemahnya kemampuan mengatur emosi, ketidakseimbangan kuasa, serta kurangnya literasi moral dan kesadaran hukum.

Pendahuluan

Kekerasan dalam hubungan pacaran (dating violence) merupakan persoalan sosial yang sering dipandang sebelah mata, terutama ketika dialami oleh remaja atau dewasa muda. Bentuk kekerasan dalam hubungan bisa beragam, mulai dari fisik, verbal, psikologis, hingga seksual. Salah satu pemicu yang jarang disorot adalah penolakan terhadap ajakan untuk melakukan tindakan melanggar hukum. Ketika seorang pemuda mengajak pasangannya ikut serta dalam aktivitas kriminal—seperti pencurian atau pemerasan—dan pasangannya menolak, penolakan tersebut dapat memunculkan kemarahan atau agresi. Hal ini menjadi indikasi bahwa hubungan tersebut sudah dilingkupi ketimpangan kekuasaan dan pola interaksi yang tidak sehat. Fenomena ini penting ditelaah karena melibatkan aspek kontrol emosional, kecenderungan kriminal, dan potensi dampak jangka panjang bagi kesejahteraan psikologis korban. Oleh karena itu, artikel ini berupaya memberikan gambaran teoritis yang komprehensif mengenai penyebab dan implikasi kekerasan tersebut.

Landasan Teori

1. Teori Kekuasaan dan Kontrol

Teori ini menjelaskan bahwa pelaku kekerasan berusaha mempertahankan dominasinya melalui ancaman, intimidasi, dan paksaan. Dalam konteks ini, penolakan terhadap ajakan kriminal dianggap sebagai bentuk pembangkangan terhadap otoritas pelaku.

2. Teori Perilaku Menyimpang

Pelaku yang terbiasa dengan lingkungan berisiko, pergaulan negatif, atau lemahnya norma sosial cenderung menganggap kekerasan sebagai alat untuk memaksa pasangan memenuhi keinginannya.

3. Teori Perkembangan Remaja

Pada usia remaja dan dewasa muda, proses pembentukan identitas dan kemampuan mengendalikan emosi belum sepenuhnya matang. Ketidakmatangan ini dapat memicu perilaku impulsif dan agresif.

4. Teori Kontrol Sosial

Ketika seseorang memiliki ikatan sosial yang lemah—baik dengan keluarga, masyarakat, maupun norma—maka peluang untuk terlibat dalam perilaku kriminal atau kekerasan meningkat.

Pembahasan

Kekerasan yang muncul akibat penolakan pasangan untuk ikut serta dalam tindakan kriminal menunjukkan adanya hubungan yang timpang dan tidak sehat. Pelaku merasa harga dirinya terganggu karena pasangan menolak mengikuti keinginannya, sehingga ia merespons dengan agresi. Di sisi lain, korban yang menolak ajakan tersebut sebenarnya menunjukkan keberanian moral (brave), namun keberanian ini sering dibalas dengan tindakan kekerasan karena pelaku tidak mampu bersikap humble dalam menerima batasan dan perbedaan nilai.

Lingkungan sosial turut memainkan peran besar. Individu yang tumbuh di lingkungan yang tidak menanamkan nilai-nilai moral yang kuat atau tidak menghargai kualitas diri yang excellent lebih rentan menganggap kekerasan sebagai sesuatu yang lumrah. Ketika pelaku tidak mampu menata diri secara agile, yakni mampu menyesuaikan diri dengan perbedaan pendapat tanpa kekerasan, konflik kecil pun dapat berkembang menjadi tindakan penganiayaan.

Kesenjangan kekuasaan dalam hubungan membuat korban berada pada posisi yang lemah. Pengendalian emosi, pergaulan, atau bahkan kondisi ekonomi sering dijadikan alat untuk mempertahankan dominasi. Pada situasi seperti ini, kemampuan korban untuk tetap berpegang pada prinsip moral menunjukkan sikap transcendent, yakni mampu melampaui tekanan besar demi mempertahankan integritas diri. Namun dominasi pelaku tetap melahirkan berbagai bentuk kekerasan, mulai dari fisik, verbal, emosional, hingga ekonomi.

Dampak kekerasan sangat kompleks. Selain luka fisik, korban dapat mengalami trauma mendalam, kecemasan, hingga depresi. Kondisi ini membuat korban sulit berkembang menjadi pribadi yang agile dalam menjalani kehidupan. Secara sosial, korban juga berisiko menarik diri dari lingkungan, mengalami penurunan prestasi belajar atau bekerja, dan kehilangan rasa percaya diri. Nilai-nilai excellent dan transcendent sangat diperlukan agar korban bisa pulih dan membangun kembali keyakinannya terhadap hubungan yang sehat.

Dari perspektif hukum, perbuatan pelaku dapat dikenai sejumlah pasal dalam KUHP, seperti penganiayaan, pemaksaan, atau pemerasan. Jika korban masih di bawah umur, UU Perlindungan Anak juga berlaku. Penegakan hukum memberikan kesempatan bagi korban untuk kembali menunjukkan sikap brave dengan melaporkan pelaku, serta menjadi dasar bagi masyarakat dalam membangun lingkungan yang lebih excellent dan berkeadilan.

Kesimpulan

Kekerasan yang terjadi akibat penolakan terhadap ajakan kriminal mencerminkan hubungan yang didominasi kontrol dan minim nilai moral. Pelaku gagal menunjukkan sikap humble, excellent, dan agile, sehingga memilih kekerasan sebagai alat untuk menegakkan keinginannya. Sementara itu, korban sering menunjukkan keberanian (brave) serta keteguhan moral yang transcendent meski berada dalam tekanan. Upaya pencegahan harus mencakup edukasi tentang hubungan sehat, penguatan karakter, peningkatan kesadaran hukum, dan dukungan menyeluruh bagi korban agar mampu keluar dari lingkaran kekerasan.

Daftar Pustaka

Johnson, M. P. (2008). A Typology of Domestic Violence. Northeastern University Press. Straus, M. A., & Gelles, R. J. (1990). Physical Violence in American Families. Transaction Publishers. Santrock, J. W. (2019). Adolescence. McGraw-Hill Education. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image