Impulsive Buying dan Siklusnya
Gaya Hidup | 2025-11-24 05:34:53Impulsive Buying dan Siklusnya Saat Tekanan Berulang menjadi Penyesalan
Dunia bergerak cepat. Teknologi baru, tren sosial media, ekspektasi karir, semuanya menuntut kita untuk adaptasi atau tertinggal dari kenyataan yang ada. Namun, dibalik kata “adaptasi adalah kunci sukses”, tersembunyi realitas yang menyedihkan. Adaptasi yang seharusnya membuat lebih baik justru menciptakan beban psikologis dan tekanan. Bagi mereka yang tidak mampu mengikuti hal tersebut, stress bukanlah pilihan, tetapi konsekuensi yang tak terhindarkan. Namun, stress dapat diakomodir dengan coping mechanism, sebuah cara yang dilakukan secara berbeda-beda oleh tiap individu untuk mengatasi stress pada dirinya.
Ketika stress mendorong aktivitas belanja impulsif
Stress adalah bagian tak terhindarkan dari kehidupan modern, terutama bagi generasi muda. Tekanan akademik, pekerjaan, dan tuntutan untuk selalu tampil “kekinian” di media sosial menciptakan beban psikologis yang cukup berat. Dalam kondisi-kondisi, seperti ini banyak orang, khususnya Gen Z dan milenial, mencari pelarian instan untuk meredakan stress yang ada
Banyak anak muda, seperti Gen Z dan milenial yang mencari pelarian dari stress mereka dengan aktivitas belanja, baik itu aktivitas belanja online maupun offline. Mereka menyebutnya sebagai retail therapy (Kim et al., 2023). Hal ini tentu saja tidak mengherankan mengingat mereka merupakan pengguna internet terbanyak menurut survei dari Indonesia Internet Service Provider Association (APJII). Disinilah belanja impulsif (impulsive buying) muncul sebagai salah satu strategi menghadapi stress.
Aktivitas belanja merupakan aktivitas yang dapat melepaskan hormon dopamin yang membuat kita senang dan bahagia. Dari melihat koleksi barang di Shopee, Tiktok, dan diskon, setiap aktivitas ini memberikan kepuasaan sesaat yang membuat kita melupakan sejenak masalah yang ada. Sensasi menang atas diskon yang didapat atau mendapatkan barang memberikan ilusi bahwa kita memiliki kontrol atas hidup kita, meskipun hanya sesaat.
Sayangnya, efek bahagia tersebut hanya berlangsung singkat, bahkan hanya dalam hitungan menit ketika kita mendapatkan barang tersebut. Kemudian, sensasi “menang” tersebut memudar dan kita kembali ke kenyataan yang ada. Parahnya, kenyataan yang disadari kembali ini seringkali lebih buruk dari sebelumnya.
“Lingkaran Setan”, Spiral Utang, dan Penyesalan
Disinilah titik dimana siklus berbahaya dimulai. Belanja impulsif yang tidak terkontrol membawa konsekuensi yang serius, terutama di bidang finansial. Konsekuensi ini biasanya banyak dirasakan oleh anak-anak muda yang mayoritas belum memiliki pendapatan tetap. Mereka seringkali menggunakan kartu kredit atau layananan paylater untuk memenuhi keinginan belanja impulsif mereka berkedok releasing stress. Ditambah lagi, tuntutan akan “memberi makan” sosial media menambah pembelanjaan mereka yang sebenarnya tidak perlu.
Notifikasi pembelanjaan dari aplikasi perbelanjaan seringkali memainkan peran penting dalam penggunaan pay later (IDN, 2024). Bahkan, survey yang dilakukan oleh IDN (2024) melaporkan bahwa 47,8% Gen Z di Indonesia menggunakan pay later untuk membeli barang-barang yang tidak berguna.
Disinilah dimulainya fenomena “lingkaran setan”. Penelitian Rosadi & Andriani (2023) menunjukkan bahwa semakin tinggi impulsive buying seorang individu maka semakin tinggi pula perilaku berhutang yang dilakukan. Hal tersebut kemudian memicu ketidakseimbanngan psikologis pada individu yang berhutan yang akhirnya berujung pada stress dan depresi. Lebih parahnya lagi, untuk mengatasi perasaan ini, banyak individu yang kembali berbelanja sebagai pelarian sehingga menciptakan “lingkaran setan” yang sulit diputus yang dikenal dengan istilah vicious circle of impulsive buying (Obukhovich & Krasnova, 2021).
Di Indonesia sendiri, fenomena impulsive buying yang dipicu oleh stres dikenal dengan istilah doom spending. Doom spending merupakan konsumsi impulsif yang didorong oleh kecemasan terhadap masa depan, pesimisme ekonomi, dan dorongan emosional negatif (Rafiah et al., 2025). Generasi muda umumnya sangat rentan terhadap doom spending karena tumbuh dan berkembang di era digital dengan akses yang mudah ke platform belanja online dan bombardir iklan di media sosial.
Memutus Siklus : Self-Control dan Literasi Keuangan sebagai Kunci
Ada banyak cara untuk keluar dari “lingkaran setan”, tetapi menurut penelitian, terdapat dua faktor kunci untuk memutus siklus ini, yaitu self control (pengendalian diri) dan literasi keuangan yang baik (Purwaningdya & Pratminingsih, 2025; Oktaviani & Aji, 2025). Self control merupakan kemampuan untuk mengendalikan diri atas apa yang terjadi, baik dalam diri sendirinya maupun peristiwa di sekitarnya. Self control terbukti mampu menjadi faktor yang paling dominan untuk mengurangi perilaku impulsive buying. Individu dengan self control yang baik mampu mengendalikan diri dan menghindari dari godaan diskon dan pelarian yang sia-sia.
Selain itu, literasi keuangan juga menjadi faktor kunci dalam membentengi diri dari siklus impulsive buying dan stress. Literasi keuangan merupakan kemampuan untuk memahami dan mengelola keuangan secara efektif, seperti pengetahuan tentang penganggaran, investasi, dan pengelolaan utang (Bai et al., 2023). Banyak penelitian yang mengungkapkan hubungan yang negatif antara tingkat literasi keuangan dengan aktivitas impulsive buying. Hal ini mengindikasikan bahwa individu yang memiliki literasi keuangan dengan lebih baik cenderung menghindari bentuk impulsive buying dan sebaliknya.
Kombinasi antara literasi keuangan yang baik dengan self control yang ketat merupakan benteng pertahanan kuat untuk menghindari bentuk impulsive buying. Self control yang ketat akan menyadarkan betapa sia-sianya perilaku impulsive buying. Sementara itu, literasi keuangan yang baik akan membantu individu dalam mengelola keuangannya secara efektif.
Referensi :
APJII. (2024). APJII Jumlah Pengguna Internet Indonesia Tembus 221 Juta Orang. https://apjii.or.id/berita/d/apjii-jumlah-pengguna-internet-indonesia-tembus-221-juta-orang
Bai, R. (2023). Impact of financial literacy , mental budgeting and self control on financial wellbeing : Mediating impact of investment decision making. 1–18. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0294466
Kim, S., Jung, H., & Chang, J. (2023). Journal of Retailing and Consumer Services Mechanism of retail therapy during stressful life events : The psychological compensation of revenge consumption toward luxury brands. Journal of Retailing and Consumer Services, 75(March), 103508. https://doi.org/10.1016/j.jretconser.2023.103508
Oktaviana, H., & Aji, S. (2025). How Financial Literacy Shapes Impulsive ’ Paylater ’ Buying Among Yogyakarta Students. 3(Idc), 209–224.
Rafiah, A.D., et al. (2025). Generasi Z dan Doom Spending: Analisis Prediktor Perilaku Konsumtif. Jurnal AR-Raniry
Rosadi, D. S., & Andriani, I. (2023). Hubungan Impulsive Buying dengan Perilaku Berhutang pada Pengguna Pinjaman Online. 8(4).
Wiludjeng, S., Purwaningdyah, S., & Pratminingsih, S. A. (2024). JBTI : Jurnal Bisnis : Teori dan Implementasi. 15(3), 343–359.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
