Rak Berdebu, Buku Menguning : Mengapa Generasi Kita Malas Membaca?
Edukasi | 2025-11-23 16:34:18Di sudut-sudut sunyi perpustakaan, berjejer deretan buku-buku menunggu untuk dibaca. Di sisi lain, jari-jari anak muda lebih senang menggulirkan layar berisi potongan video 30 detik, dibanding membalikkan halaman-halaman buku. Begitulah kira-kira gambaran tingkat literasi di Indonesia saat ini.
Perkembangan media sosial dengan cepat menggeser kebiasaan membaca generasi muda, fenomena ini alarm nyata gentingnya darurat literasi di negara kita. Dengan media sosial yang menjadi asupan sehari-hari, tanpa sadar merubah cara kerja otak kita dalam memproses informasi. Media sosial membentuk kebiasaan untuk memproses informasi dengan ringkas dan cepat. Melalui video berdurasi 15 hingga 30 detik, otak kita menjadi terbiasa untuk mengkonsumsi informasi yang instan sehingga kegiatan membaca buku berlembar-lembar terasa berat. Hal ini membuat otak kita membutuhkan fokus yang lebih dan kesabaran untuk memproses informasi. Bahkan dengan akses internet yang berat sekalipun, kenyamanan tersebut tidak dimanfaatkan untuk mencari buku melainkan hiburan dari video pendek.
Selain pesatnya perkembangan teknologi, sekolah dan lingkungan juga menjadi alasan utama dalam isu ini. Di institusi pendidikan tertentu, membaca buku masih dianggap sebagai tugas, buku dibaca untuk menjawab soal bukan mendapatkan wawasan dan pengetahuan. Dengan begitu, membaca buku dikerdilkan dan dianggap memberatkan sehingga kebiasaan membaca lenyap setelah lulus dari sekolah. Padahal pendidikan literasi sejak dini seharusnya sudah menjadi kebiasaan yang tumbuh alami bagi anak-anak agar nantinya mereka terbiasa untuk membaca, bukan hanya untuk nilai melainkan karena rasa ingin tahu dan rasa ingin memperluas wawasan baru.
Nyatanya, minat baca masyarakat Indonesia yang rendah bukanlah isu yang baru. Namun persoalan ini masih menjadi hambatan di dalam pembangunan paling dasar, yaitu sumber daya manusia di Indonesia. Ini merupakan PR yang besar untuk negara kita. Mulai dari tingkat literasi hingga kemampuan berpikir kritis yang harus dibangun sebagai dasar penopang pertumbuhan sumber daya manusia Indonesia. Karena tingkat literasi bukan hanya terbatas pada kemampuan membaca, namun merupakan hasil dari kebijakan pendidikan yang berdasarkan prioritas untuk membangun generasi yang unggul dan berpikir kritis. Tanpa adanya fondasi dalam literasi yang kuat, kemampuan untuk berpikir kritis akan susah untuk tumbuh, padahal itulah modal utama untuk bersaing di era global ini.
Namun, tidak hanya teknologi yang disalahkan, karena sebenarnya jika dimanfaatkan dengan baik sosial media dan kemajuan teknologi dapat menjadi alat bantu yang berpeluang sangat besar dalam rangka peningkatan literasi di antara generasi muda. Banyak wadah yang menyediakan e-book, jurnal, dan konten edukasi secara gratis yang dapat diakses semua kalangan dengan mudah dan cepat. Hambatan selanjutnya adalah bagaimana cara agar menarik perhatian generasi muda tentang persepsi mereka tentang membaca. Sekarang ini tidak hanya buku berbentuk fisik yang tersebar namun juga berbentuk digital sehingga dapat diakses dengan lebih mudah dan interaktif. Yang dibutuhkan adalah kemampuan memilah informasi secara kritis bukan hanya menelan konten secara mentah-mentah.
Selain di ruang kelas, ekosistem yang tepat dan peran dukungan dari orang terdekat juga memberikan andil dalam menumbuhkan tingkat literasi sejak dini. Di rumah peran orang tua sangat penting, karena anak-anak yang tumbuh dengan lingkungan yang familiar akan buku akan lebih mudah untuk membangun kebiasaan membaca. Jika di area publik, kafe literasi, taman baca, atau perpustakaan komunitas dapat menjadi tempat baru untuk menumbuhkan kebiasaan membaca. Dengan itu literasi dapat menjadi bagian dari gaya hidup bukan hanya kewajiban akademik.
Peran pemerintah pun sangat diperlukan, sebab mereka memegang tanggung jawab besar dalam membentuk arah dan kualitas literasi nasional. Upaya memperbaiki budaya membaca tidak cukup berhenti pada kampanye slogan atau seremonial belaka. Diperlukan langkah konkret yang menyentuh akar permasalahan. Pemerintah perlu meningkatkan kualitas bahan bacaan anak-anak dan remaja agar lebih relevan, menarik, dan sesuai dengan konteks kehidupan mereka saat ini. Selain itu, akses terhadap buku dan sumber pengetahuan harus merata di seluruh daerah, termasuk wilayah terpencil yang seringkali tertinggal dari pusat kota.
Tidak kalah penting, pelatihan literasi bagi guru dan tenaga pendidik juga harus diperkuat. Guru tidak hanya berperan sebagai pengajar, tetapi juga sebagai agen pembentuk minat baca. Ketika guru mampu menularkan semangat membaca kepada siswanya, maka literasi tidak lagi dianggap sebagai beban akademis, melainkan jendela untuk memahami dunia. Pemerintah, dengan dukungan masyarakat, dapat menciptakan ekosistem literasi yang berkelanjutan dan inklusif bagi seluruh lapisan bangsa.
Pada akhirnya, membangun bangsa yang cerdas dimulai dari membangun budaya membaca. Literasi adalah pondasi dari semua aspek kemajuan: ekonomi, politik, hingga moral. Tanpa literasi, bangsa hanya akan menjadi penonton di tengah derasnya arus informasi global. Saat ini, tugas kita bukan sekadar meningkatkan angka minat baca, tetapi menghidupkan kembali rasa haus akan pengetahuan.
Mungkin kita tak bisa memaksa semua orang untuk kembali membuka buku, tetapi kita bisa mulai dari diri sendiri. Menyisihkan waktu 15 menit setiap hari untuk membaca satu bab buku, satu artikel, atau bahkan satu puisi, bisa menjadi langkah kecil menuju perubahan besar. Sebab membaca bukan sekadar kegiatan intelektual, ia adalah latihan untuk berpikir, memahami, dan menjadi manusia yang utuh. Dan ketika kebiasaan itu kembali hidup, rak-rak buku yang kini berdebu perlahan akan kembali berfungsi menjadi jendela dunia yang membuka pandangan generasi muda Indonesia menuju masa depan yang lebih cerdas.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
