Dikejar Target, Ditelan Burnout: Bagaimana Hustle Culture Menekan Anak Muda
Eduaksi | 2025-11-23 00:54:05
Apa Itu Hustle Culture dan Mengapa Ia Muncul?
Dalam beberapa tahun terakhir, terutama sejak pandemi mereda, fenomena hustle culture semakin menekan kehidupan anak muda di Indonesia. Banyak dari mereka hidup dalam tekanan yang terasa tidak pernah berhenti. Rasanya seperti ada suara yang terus berbisik di kepala: “Kamu harus produktif setiap hari. Kamu harus bekerja lebih keras. Kalau kamu santai, kamu akan tertinggal.” Suara itu muncul dari sekolah, tempat kerja, lingkungan pertemanan, hingga media sosial. Budaya produktivitas tanpa jeda inilah yang kemudian dikenal sebagai hustle culture, sebuah fenomena yang pelan-pelan menggerus kesehatan mental generasi muda.
Hustle culture sendiri adalah pola pikir yang mengagungkan kerja tanpa henti. Bekerja hingga larut malam dianggap wajar. Tidur hanya empat jam seolah tidak masalah. Tidak punya waktu istirahat bahkan dipuji sebagai “prestasi”. Media sosial ikut memperkuat budaya ini dengan berbagai konten motivasi yang terlihat keren: “grind now, glow later”, “kerja keras dulu, nikmatin nanti”, atau “tidur itu buat yang lemah”. Meski tampak inspiratif, narasi-narasi itu justru menormalisasi kelelahan dan menempatkan kesehatan mental sebagai sesuatu yang bisa dikorbankan.
Tekanan Produktivitas dan Meningkatnya Burnout pada Anak Muda
Di balik pencitraan bahwa “sibuk itu keren”, banyak anak muda justru hidup dalam tekanan berat. Mahasiswa merasa harus mengikuti banyak kegiatan agar tidak dianggap pasif. Freelancer dan pekerja kreatif takut menolak proyek karena khawatir kehilangan kesempatan. Pegawai kantoran merasa harus selalu online untuk menunjukkan loyalitas. Alhasil, tubuh dan pikiran bekerja tanpa henti. Tidak heran jika gejala burnout, stres berkepanjangan, dan kelelahan mental semakin sering dialami generasi muda. Menurut survei GoodStats pada 1.500 pekerja Milenial dan Gen Z, 35% responden merasa tekanan untuk selalu meng-upgrade skill, sementara 30% menyebut ketidakpastian pekerjaan sebagai pemicu burnout.
Burnout tidak muncul begitu saja. Kondisi ini biasanya diawali rasa lelah berkepanjangan, sulit tidur, kehilangan minat terhadap aktivitas yang sebelumnya disukai, serta perasaan bahwa apa pun yang dilakukan tidak pernah cukup. Beberapa anak muda bahkan mulai menarik diri dari pergaulan karena merasa tidak punya energi untuk bersosialisasi. Ini menunjukkan bahwa hustle culture bukan sekadar tren gaya hidup, tetapi sudah berkembang menjadi masalah kesehatan mental dan sosial yang serius.
Fenomena ini juga berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi yang dihadapi anak muda saat ini. Biaya hidup yang terus naik, lapangan kerja yang kompetitif, serta standar kesuksesan yang semakin tinggi membuat banyak orang merasa harus “berlari lebih cepat” hanya untuk bertahan. Media sosial menambah tekanan dengan menghadirkan ilusi bahwa kehidupan orang lain selalu lebih produktif dan lebih berhasil. Tekanan semacam ini membuat banyak anak muda merasa wajib terus membuktikan diri, meski sebenarnya mereka sudah kelelahan.
Mengapa Burnout Bukan Kesalahan Individu? Perspektif Sosiologi Kesehatan
Dalam perspektif sosiologi kesehatan, masalah seperti burnout bukan semata-mata karena individu “kurang kuat” atau tidak bisa mengatur waktu. Kesehatan mental dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Ketika lingkungan menuntut produktivitas tanpa henti, wajar jika banyak anak muda merasa tertekan. Cara pandang masyarakat yang menganggap kerja keras sebagai satu-satunya ukuran keberhasilan juga ikut memperkuat budaya tersebut. Dalam konteks ini, kesehatan mental tidak bisa dipisahkan dari struktur sosial yang membentuknya.
Dalam perspektif Marxian, hustle culture bukan sekadar gaya hidup, tetapi bagian dari logika kapitalisme yang menempatkan manusia sebagai sumber tenaga produksi. Tekanan untuk terus produktif bukan muncul karena ambisi pribadi, melainkan karena tuntutan sistem ekonomi yang membuat anak muda merasa harus bekerja lebih keras agar tetap relevan dan tidak tertinggal. Kompetisi, ketidakpastian kerja, dan kenaikan biaya hidup membuat tubuh dan pikiran dipaksa menyesuaikan diri dengan ritme produksi yang tidak manusiawi. Burnout, dalam kerangka Marxian, adalah bentuk kelelahan struktural, bukan sekadar stres individu yang lahir dari relasi kerja dan kondisi ekonomi yang mendorong eksploitasi halus melalui glorifikasi produktivitas.
Saatnya Mengubah Cara Kita Melihat Produktivitas
Sudah saatnya kita meninjau ulang cara memaknai produktivitas. Bekerja keras tetap penting, tetapi tidak seharusnya mengorbankan kesehatan mental. Menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi bukan tanda kelemahan, justru menunjukkan bahwa seseorang memahami batas dirinya. Dalam jangka panjang, tubuh dan pikiran yang sehat akan membuat seseorang lebih mampu berkarya.
Generasi muda membutuhkan ruang untuk bernapas, bukan hanya tuntutan untuk terus berlari. Lingkungan pendidikan, tempat kerja, dan masyarakat perlu memberikan dukungan yang lebih manusiawi. Kita perlu mengubah cara pandang bahwa istirahat bukanlah kemunduran, melainkan bagian penting dari proses tumbuh dan berkembang.
Pada akhirnya, kesuksesan bukan diukur dari seberapa sibuk seseorang, tetapi dari bagaimana ia mampu menjalani hidup dengan sehat, seimbang, dan bermakna. Hustle culture mungkin membuat kita terlihat produktif dari luar, tetapi tanpa disadari juga dapat menelan kita perlahan. Karena itu, tidak ada salahnya berhenti sejenak, menarik napas, dan mengingat bahwa hidup bukan hanya tentang mengejar target, tetapi juga tentang menjaga diri sendiri.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
