Salah Jurusan Tapi Tetap Jalan: Realita Pahit-Manis Kehidupan Kampus
Pendidikan | 2025-11-22 23:32:46
Fenomena “salah jurusan” tidak lagi dapat dianggap sebagai keluhan individual semata, melainkan telah berkembang menjadi isu structural yang dialami oleh sebagian besar peserta didik di Indonesia. Berdasarkan temuan ahli psikologi Pendidikan dari Integrity Development Flexibility (IDF), Irene Guntur, sebanyak 87 persen siswa di Indonesia merasa salah memilih jurusan (DetikEdu, 2022). Angka tersebut bukan hanya menunjukkan masalah pilihan akademik, tetapi juga menggambarkan bagaimana proses pengambilan keputusan dalam dunia pendidikan masih minim informasi, tekanan sosial, serta harapan keluarga yang sering kali tidak sejalan dengan minat dan kapasitas pelajar. Realita tersebut menempatkan banyak pelajar dalam situasi dilematis, yaitu harus menjalani sesuatu yang tidak mereka pilih sepenuhnya, namun tetap dituntut untuk bertahan.
Dari sudut padang akademik, perasaan tentang “salah jurusan” muncul karena adanya ketidaksesuaian antara minat, bakat dan lingkungan. Tiga komponen dasar dalam teori kesesuaian kejuruan yang menentukan kenyamanan seseorang pada suatu bidang. Namun, dalam kehidupan nyata pelajar, alasan salah jurusan ini kerap lebih kompleks. Ada yang mengaku hanya ikut-ikutan teman, ada yang menuruti keinginan orang tua, dan ada pula yang gagal masuk ke jurusan impian sehingga akhirnya, mengambil jurusan yang tidak sesuai dengan keinginan mereka. Situasi seperti ini merupakan permasalahan structural dalam pemilihan jurusan, dimana Keputusan besar tentang masa depan sering diambil Ketika siswa belum memiliki literasi karir yang memadai.
Meski demikian, realita kampus menunjukkan bahwa salah jurusan bukan berarti salah masa depan. Banyak pelajar yang awalnya merasa salah jurusan justru menemukan ruang baru untuk berkembang di luar kurikulum formal. Organisasi mahasiswa, komunitas kreatif, kegiatan kewirausahaan, hingga peluang magang membuka pintu untuk mengeksplorasi minat mahasiswa yang sebenarnya. Bahkan beberapa penelitian global, seperti Wolrd Economic Forum (2023), menegaskan bahwa pasar kerja masa kini lebih menilai keterampilan seperti komunikasi, kreativitas, literasi digital, dan pemecahan masalah dibandingkan hanya latar belakang jurusan. Hal ini selaras dengan dunia kerja yang semakin fleksibel, di mana banyak lulusan bekerja di bidang yang tidak sejalan dengan pendidikannya.
Namun, tidak semua pengalaman salah jurusan berakhir secara positif seperti yang sudah dijelaskan di atas. Menempuh studi pada jurusan yang tidak sesuai dengan minat maupun kecenderungan pribadi memiliki implikasi psikologis yang signifikan. Banyak mahasiswa melaporkan penurunan motivasi belajar, melemahnya performa akademik, serta meningkatnya Tingkat stress akibat beban tanggung jawab terhadap pilihan yang pada dasarnya bukan Keputusan mandiri. Kondisi “merasa terjebak” ini kerap tidak tampak secara eksplisit, sebab mahasiswa cenderung menormalisasikan tekanan tersebut demi memenuhi ekspektasi keluarga maupun lingkungan sosial. Meskipun demikian, situasi inilah yang justru membentuk karakter dan ketangguhan mahasiswa. Kampus menjadi ruang pembelajaran substansial di mana individu belajar beradaptasi, mempertahankan resiliensi, dan membangun identitas diri melalui proses trial-and-error yang berlangsung secara berkelanjutan.
Fenomena salah jurusan juga perlu dipahami sebagai kritik terhadap kondisi structural dalam sistem Pendidikan di Indonesia. Survei Kemdikbud Riset (2022) mengungkapkan bahwa mayoritas siswa SMA belum memiliki pemahaman memadai mengenai prospek karier dan kecocokan diri Ketika menentukan pilihan jurusan. Keputusan mengenai prospek karier dan kecocokan diri Ketika menentukan pilihan jurusan. Keputusan yang idealnya didasarkan pada minat, kemampuan, dan informasi karier yang objektif, sering kali justru dipengaruhi oleh stereotip pekerjaan, tekanan keluarga, atau sekadar keinginan untuk “sekadar masuk perguruan tinggi”. Tidak mengherankan jika angka salah jurusan menjadi begitu tinggi. Tanpa literasi karier yang diperkenalkan sejak dini, mahasiswa cenderung mengambil Keputusan berdasarkan persepsi sesaat, bukan pertimbangan yang berorientasi pada masa depan.
Pada akhirnya, salah jurusan tetap bertahan menutup cerminan autentik dari perjalanan akademik mahasiswa Indonesia yang penuh dinamika dan ketidaksempurnaan. Tidak semua individu memasuki dunia perguruan tinggi dengan kesiapan yang matang, dan tidak pula setiap pilihan akademik yang keliru berujung pada kegagalan. Banyak mahasiswa justru menemukan jati diri serta jalur karier yang lebih sesuai melalui pengalaman yang tidak direncanakan. Namun demikian, angka 87 persen bukan sekadar data statistic, angka tersebut merupakan indicator kuat bahwa sistem Pendidikan masih membutuhkan perbaikan, terutama dalam menyediakan layanan informasi karier yang komprehensif sebelum siswa menentukan pilihan akademiknya.
Meskipun salah jurusan bukan kondisi ideal, hal tersebut tidak menentukan batas akhir bagi masa depan seseorang. Selama individu mampu mengeksplorasi diri, mengembangkan kompetensi, serta memanfaatkan peluang yang tersedia, masa depan tetap dapat dibentuk sesuai dengan aspirasi pribadi. Perguruan tinggi bukan hanya arena untuk memperoleh pengetahuan teoretis, tetapi juga sebuah ruang untuk pembentukan identitas dan pengembangan diri, bahkan Ketika Langkah awal yang diambil tidak sepenuhnya sesuai dengan arah yang diharapkan. Pada akhirnya, yang terpenting bukanlah di mana seseorang memulai, melainkan bagaimana ia memilih untuk terus bergerak maju dan berkembang ke arah yang lebih baik.
Referensi:
Masterson, V. (2023, May 1). Future of jobs 2023: These are the most in-demand skills now - and beyond. Retrieved from
Zulfikar, F. (2021, November 26). https://www.detik.com. Retrieved from 87 Persen Mahasiswa RI Merasa Salah Jurusan, Apa Sebabnya?:
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
