Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Prisca Jameila Bilbinna

Mengapa Kehadiran Ayah Sangat Berpengaruh bagi Perkembangan Anak Perempuan?

Parenting | 2025-11-22 22:32:39

Fenomena fatherless di Indonesia makin sering dibicarakan dalam beberapa tahun terakhir. Namun, persoalan ini bukan sekadar tentang ketidakhadiran ayah secara fisik, tetapi tentang hilangnya fungsi ayah sebagai figur emosional, panutan, dan penopang stabilitas psikologis anak. Di tengah laju modernitas dan tekanan ekonomi, banyak keluarga mengalami dinamika yang membuat ayah hadir secara biologis tetapi absen secara emosional. Dampaknya terasa paling kuat pada anak perempuan yang sedang membentuk identitas diri dan harga diri.

https://www.kompas.com/tren/read/2024/11/12/083000265/kata-kata-ucapan-selamat-hari-ayah-nasional-12-november-2024-happy-father-s

Berbagai penelitian lokal menegaskan bahwa absennya ayah, baik secara fisik maupun emosional, meninggalkan jejak panjang dalam perkembangan anak. Penelitian fenomenologis oleh Musthofa dan Arfensia (2024) menunjukkan bahwa perempuan dewasa awal yang tumbuh dalam kondisi fatherless banyak mengalami kekhawatiran terhadap masa depan, rasa tidak aman, hingga rendahnya self worth. Dalam wawancara yang mereka lakukan, para partisipan menggambarkan sosok ayah sebagai figur penguat identitas diri. Ketika fungsi itu hilang, mereka tumbuh dengan keraguan terhadap kemampuan diri sendiri.

Temuan ini sejalan dengan studi kualitatif Irhamna dan Faridy (2023) yang meneliti dampak fatherless pada anak usia dini. Hasilnya, ketidakhadiran ayah membuat anak lebih rentan mengalami hambatan dalam pembentukan karakter moral seperti disiplin, kontrol diri, dan tanggung jawab. Artinya, peran ayah bukan hanya memengaruhi dinamika emosional, tetapi juga membangun fondasi kepribadian anak sejak usia paling awal.

Lebih jauh lagi, penelitian Sarajih, Ramanda, dan Anik menemukan bahwa anak perempuan yang tumbuh tanpa keterlibatan ayah sering menghadapi hambatan dalam perkembangan sosial emosional. Tanpa figur ayah sebagai tempat bersandar dan belajar pola relasi, mereka lebih rentan merasa kurang dicintai, sulit membangun kepercayaan interpersonal, serta mudah mengalami hambatan dalam relasi sosial.

Dari perspektif perkembangan usia dini, penelitian oleh Devi Ambarsari dari Universitas Pendidikan Indonesia menegaskan bahwa absennya peran ayah secara aktif dapat menghambat ekspresi diri dan kepercayaan diri anak. Anak yang tidak mendapatkan validasi dan dukungan emosional ayah sering terlihat ragu-ragu ketika menghadapi tantangan baru, takut salah, dan kurang berani bersosialisasi.

Jika seluruh hasil penelitian ini dirangkum, pesan pentingnya jelas bahwa kehadiran ayah bukan hanya soal ada di rumah, tetapi benar-benar hadir dalam bentuk perhatian, dialog, dan pengasuhan. Ayah adalah figur yang memberi arah, rasa aman, dan validasi emosional. Tanpa itu, anak terutama perempuan berisiko tumbuh dengan luka yang tidak kasat mata tetapi memengaruhi seluruh aspek hidupnya, mulai dari cara menjalin hubungan, kepercayaan diri, hingga pilihan masa depan.

Dalam konteks Indonesia yang masih memegang nilai keluarga kuat, fenomena fatherless seharusnya menjadi alarm sosial. Tujuannya bukan untuk menyalahkan siapa pun, tetapi untuk menyadari bahwa kualitas kehadiran orang tua, khususnya ayah, perlu ditingkatkan. Anak membutuhkan lebih dari sekadar nafkah, yaitu kehangatan, waktu, dan keterlibatan emosional.

Pada akhirnya, penyelesaian isu fatherless tidak cukup dengan mengajak ayah pulang lebih cepat. Yang diperlukan adalah perubahan cara pandang bahwa menjadi ayah adalah peran emosional, bukan hanya peran finansial. Ketika ayah hadir sepenuhnya, generasi mendatang dapat tumbuh lebih kuat, baik secara mental, sosial, maupun moral.

Selamat Hari Ayah!

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image