Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Farras Haidar

Ombak Dua Darah

Sastra | 2025-11-21 14:00:04

Angin laut datang lebih cepat daripada cahaya matahari pagi di Desa Karang Layar, sebuah desa kecil di pesisir selatan Sulawesi yang hanya dikenal oleh nelayan dan ombak. Desa itu miskin, terpencil, dan nyaris tak tersentuh pembangunan, tetapi bagi seorang anak bernama Reno, desa itulah pusat dunia. Ia tinggal bersama Kakek Hadji dan Nenek Mira sejak usia lima tahun. Pada usia itulah hidupnya berubah: ibunya, Desrina, meninggalkannya untuk pergi ke Eropa demi mengejar mimpi menjadi pesepakbola profesional. Ayahnya ikut serta, bekerja serabutan demi memungkinkan istrinya bertahan hidup di tanah asing.

Reno tumbuh dengan cerita-cerita samar tentang ibunya—perempuan tangguh yang dulu berlatih sepak bola di pasir pantai dengan bola rotan, tak pernah mengeluh meski kakinya lecet dan tubuhnya lelah. Cerita itu sering diulang-ulang Kakek Hadji seperti dongeng. Namun bagi Reno, ibunya bukan dongeng. Ibunya adalah sosok nyata yang meninggalkannya begitu lama, begitu jauh, hingga kadang ia bertanya-tanya apakah ia masih ingat bentuk wajah anaknya.

Meski begitu, setiap sore Reno melatih diri di lapangan pasir belakang rumah. Lapangan itu lebih mirip hamparan kerang dan pecahan karang, tetapi di tempat itulah ia berlari, menggiring bola, melatih otot, dan membangun mimpi. Ia memiliki bakat alami: kelincahan, kontrol bola halus, dan kaki kiri yang kuat. Kakeknya selalu berkata bahwa gerakan Reno mirip sekali dengan ibunya, seolah darah Desrina mengalir langsung ke setiap gerakannya.

Suatu sore saat Reno masih berusia 17 tahun, ia berhenti berlatih dan menatap laut yang memantulkan cahaya matahari senja. Ombak datang dan pergi, seperti detik yang terus berjalan. Ia bertanya dengan suara lirih, “Kek, menurut Kakek Ibu masih ingat aku?” Pertanyaan itu seperti angin yang tiap tahun kembali, dan seperti biasa, tidak ada jawaban pasti. Nenek Mira mendekat, mengusap rambut Reno sambil berkata bahwa mimpi besar memang terkadang memaksa seseorang menjauh, meski hatinya tetap tinggal. Reno tak pernah benar-benar yakin, tetapi ia ingin percaya bahwa ibunya tidak melupakannya.

Bakat Reno berkembang pesat. Pada usia 18 tahun, ia mengikuti seleksi klub Liga 1 di Makassar dan mengejutkan semua pelatih. Anak kurus dari pesisir itu bermain seolah lahir di akademi sepak bola Eropa—dribelnya liar namun presisi, kecepatan berlari bagai angin, dan insting golnya tajam. Dalam dua tahun, ia menjadi pemain muda terbaik liga dan mulai dikenal dengan julukan “Anak Ombak Sulawesi”. Saat ia berusia 20 tahun, mimpi itu akhirnya datang mengetuk: ia dipanggil untuk memperkuat Tim Nasional Indonesia. Panggilan itu membangunkan seluruh desa; orang-orang menangis, tertawa, dan memeluk Reno. Namun di antara euforia itu, Reno hanya memikirkan satu hal: apakah ibunya tahu? Apakah ibunya menonton? Atau apakah jarak lima belas tahun itu membuat mereka berhasil melupakan satu sama lain?

Piala Dunia tahun itu menjadi sejarah karena Indonesia lolos untuk pertama kalinya. Negeri itu gegap gempita, namun dunia sepak bola lebih terkejut lagi ketika hasil drawing diumumkan. Indonesia satu grup dengan Prancis, dan di dalam tim Prancis itu, ada nama Desrina—pemain legendaris, mesin gol Eropa, perempuan yang menginspirasi jutaan orang. Dalam hitungan jam saja, media global meledak dengan berita tentang pertemuan ibu dan anak di panggung terbesar dunia. Reno membaca judul-judul itu sambil menahan napas. Ia bangga, tetapi gugup. Senang, tetapi takut. Dan di dalam hatinya ada luka lama yang bangkit lagi, luka rindu yang tak pernah sembuh.

Suatu malam, manajer tim Indonesia datang membawa sebuah amplop putih dari pengirim anonim. Namun Reno langsung tahu tulisan tangan di permukaannya. Tangan itu pernah menulis surat ulang tahunnya ketika ia masih kecil. Gemetar, Reno membuka amplop itu. Surat di dalamnya hanya memiliki beberapa paragraf, tetapi setiap kata terasa berat. Ibunya menulis bahwa jika mereka bertemu di lapangan, Reno harus menganggapnya sebagai lawan, bukan ibu. Tetapi setelah peluit panjang berbunyi, ia tetaplah ibu yang merindukan anaknya setiap hari. Reno membaca surat itu berkali-kali, sampai akhirnya air matanya jatuh. Rasa rindu yang ia kubur bertahun-tahun akhirnya pecah.

Hari pertandingan pun tiba. Stadion Paris dipenuhi puluhan ribu orang yang ingin menyaksikan duel paling emosional sepanjang sejarah sepak bola. Ketika kedua tim berdiri di lorong menuju lapangan, Reno melihat ibunya untuk pertama kalinya dalam 15 tahun. Desrina berjalan dengan kepala tegap, tubuh atletis, dan aura elegan yang hanya dimiliki bintang besar. Namun ketika matanya bertemu mata Reno, dunia seolah berhenti berputar. Mereka hanya saling menatap—hening, dalam, penuh jutaan kata yang tak sempat terucap. Sebelum masuk lapangan, Desrina berbisik tanpa menoleh, “Tunjukkan dari mana kau berasal.”

Peluit berbunyi, pertandingan dimulai. Prancis mendominasi, tetapi serangan Indonesia selalu mengalir lewat kaki Reno. Duel pertama mereka terjadi saat Reno menerima bola dan dihadang langsung oleh Desrina. Reno melakukan nutmeg cepat melewati ibunya, membuat stadion meledak. Namun Desrina mengejar dan menekel bola dengan bersih. Keduanya tersenyum kecil. Itu bukan sekadar duel pemain. Itu duel dua darah.

Prancis mencetak gol lebih dulu melalui aksi Desrina yang menakjubkan. Namun Reno membalas dengan tendangan voli jarak menengah yang membuat penonton terdiam sebelum akhirnya bersorak keras. Reno tidak selebrasi. Ia hanya berdiri sambil menatap langit, seolah berbicara dengan sesuatu di luar jangkauan manusia. Pertandingan menjadi semakin memanas, sampai akhirnya di menit 83, Desrina mencetak gol indah dengan kaki kiri—gol yang mustahil, lengkungan sempurna yang membuat komentator kehilangan kata-kata. Indonesia kalah 2–1, tetapi seluruh dunia setuju bahwa pertandingan itu adalah salah satu yang paling emosional yang pernah terjadi.

Setelah pertandingan, Reno duduk sendirian di ruang ganti, memandangi sepatunya. Ia tidak menangis. Tidak juga tersenyum. Ia hanya merasa dadanya penuh. Lalu pintu terbuka, dan ibunya masuk dengan jersey Prancis masih basah keringat. Semua pemain Indonesia memberi jalan. Desrina berjalan mendekati Reno dan tanpa mengatakan apa-apa, memeluknya. Pelukan itu menghancurkan tembok yang bertahun-tahun ia bangun untuk menahan rindu. Desrina meminta maaf, tetapi Reno menggeleng sambil mengatakan bahwa ia tidak pernah membenci ibunya—ia hanya ingin dipeluk seperti itu sejak lama.

Prancis melaju ke final dan menjadi juara. Desrina mencetak delapan gol selama turnamen dan meraih Golden Boot, penghargaan tertinggi bagi pencetak gol terbanyak. Saat diwawancarai di podium, ia mengatakan bahwa trofi itu ia persembahkan untuk anaknya, Reno, yang menantangnya di pertandingan paling emosional dalam hidupnya. Pernyataan itu membuat dunia terharu, dan Reno yang menonton dari tribun tidak mampu menahan air mata.

Beberapa minggu setelah final, Desrina pulang ke Indonesia. Desa Karang Layar menyambutnya seperti menyambut pahlawan. Kakek dan nenek Reno memeluknya lama sekali. Di tepi pantai saat senja, Desrina duduk bersama Reno, berdua menatap ombak yang datang dan pergi. Ia mengaku takut bahwa Reno akan membencinya karena pergi begitu lama. Reno tersenyum kecil, mengatakan bahwa ia akhirnya mengerti bahwa mimpi memang mahal, dan terkadang mimpi itu memaksa seseorang meninggalkan yang paling berharga.

Dalam keheningan senja yang hangat, Desrina menggenggam tangan Reno. Ia berkata bahwa dunia ini luas dan pantai kecil itu hanyalah awal. Ia ingin Reno berlari sejauh mungkin, mengejar mimpi yang lebih besar daripada daratan, lautan, dan jarak. Reno berjanji akan mewujudkannya. Jika suatu hari ia berdiri di panggung dunia, ia ingin ibunya menjadi orang pertama yang melihatnya dari tribun, tersenyum bangga seperti hari itu.

Ombak terus bergulung. Angin pantai menyapu lembut. Di tepi pantai Desa Karang Layar, dua generasi yang terpisah oleh jarak akhirnya bersatu kembali. Reno menatap laut yang sama yang dulu ditatap ibunya saat masih kecil, dan di dalam dadanya, api yang sama itu menyala. Masa depannya baru dimulai.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image