Jual Beli di Era Digital
Agama | 2025-11-21 13:08:07
Jual Beli adalah suatu kegiatan transaksi atau penukaran harta dengan barang/jasa atas dasar suka sama suka. Di dalam kegiatan jual beli dilibatkan dua pihak yaitu penjual dan pembeli yang melakukan transaksi tersebut. Jual beli juga dapat diartikan seperti memberikan hak milik atas harta atau benda dengan cara menukarkan dengan orang lain sesuai kesepakatan dan hukum atau ketentuan syara’ dan dilakukan sesuai dengan ketentuan akad yang ada.
Penukaran di dalam akad jual beli ini tidak semata-mata dilakukan hanya atas dasar suka sama suka, tetapi juga dilihat dari segi manfaat suatu harta, barang atau jasa tersebut. Bukan hanya dari pihak penjual yang memberikan manfaat tetapi juga dari pihak pembeli yang memberikan manfaat bagi penjualnya. Harta yang baik harus didapatkan dengan cara terbaik seperti bekerja yang halal atau mendapatkan harta dengan cara yang halal, dan digunakan untuk hal-hal yang baik pula agar kita sebagai manusia bisa merasakan manfaatnya dari harta tersebut.
Jual beli adalah salah satu akad yang sangat umum digunakan oleh kita di kehidupan sehari-hari, karena untuk memenuhi kebutuhan, kita sebagai manusia tidak akan pernah meninggalkan transaksi atau akad jual beli tersebut. Seperti kebutuhan sandang, pangan, dan papan hanya bisa kita dapatkan dengan cara melakukan transaksi jual beli.
Jadi sudah sangat bisa dipastikan transaksi jual beli ini tidak akan bisa kita pisahkan dari kehidupan sehari-hari kita, jual beli sudah menjadi bagian penting dari hidup kita. Tanpa adanya transaksi jual beli di zaman sekarang ini akan sangat susah untuk memenuhi kebutuhan hidup kita.
Akad jual beli juga berlandaskan atas dalil yang ada di dalam Al-Qur’an dan Hadist, salah satu dalil yang memperbolehkan atau menganjurkan akad/praktik jual beli ada pada QS. Al-Baqarah ayat 275:
اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ فَمَنْ جَاۤءَهٗ مَوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّهٖ فَانْتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَۗ وَاَمْرُهٗٓ اِلَى اللّٰهِۗ وَمَنْ عَادَ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ ٢٧٥
Artinya: “Orang-orang yang memakan (bertransaksi dengan) riba tidak dapat berdiri, kecuali seperti orang yang berdiri sempoyongan karena kesurupan setan. Demikian itu terjadi karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Siapa pun yang telah sampai kepadanya peringatan dari Tuhannya (menyangkut riba), lalu dia berhenti sehingga apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Siapa yang mengulangi (transaksi riba), mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.”
Dari penjelasan tersebut dapat kita pahami bahwa hukum jual beli adalah diperbolehkan (mubah), dapat diartikan boleh apabila transaksi jual beli dilakukan atas dasar ridha kedua orang yang melakukan transaksi atau atas dasar suka sama suka oleh penjual dan pembeli. Dapat diartikan juga beberapa hukum jual beli yang bisa kita ambil dari QS. Al-Baqarah ayat 275 tersebut: Boleh (mubah), sesuai dengan QS. Al-Baqarah ayat 275 kegiatan transaksi jual beli dianjurkan dan sudah dihalalkan Allah SWT. Wajib, wajib melakukan transaksi jual beli apabila dalam keadaan terdesak. Haram, haram hukumnya jika melakukan transaksi jual beli tidak memenuhi syara’ dan ada unsur riba didalam kegiatan jual beli tersebut.
Contoh jual beli online yang mengandung unsur ketidakjelasan (Gharar): Rina adalah seorang mahasiswa di Universitas B, pertemanan di lingkungan Rina adalah orang-orang yang menyukai barang-barang branded. Pada saat itu Rina juga ingin memiliki tas branded seperti teman-temannya, Rina membeli tas tersebut di marketplace dengan harga yang sedang promo besar-besaran. Di foto katalog diperlihatkan tas asli yang mempunyai kualitas tinggi. Namun, setelah tas itu sampai di tangan Rina, ternyata tas tersebut adalah tas tiruan (KW), dan Rina meminta pengembalian barang dan juga uang karena tas tersebut adalah tas kw, tetapi penjualnya menolak untuk melakukan pengembalian atau retur dengan alasan “barang sudah dikirim sesuai deskripsi.” Tentu saja masalah ini menimbulkan kerugian bagi Rina sebagai pembeli dan Rina juga tidak tahu bagaimana untuk menyelesaikan masalah tersebut karena Rina melakukan transaksi jual beli tersebut secara online.
Pada kasus Rina, terdapat unsur gharar karena tas yang diterima Rina tidak sesuai dengan deskripsi dan foto katalognya. Hal ini bisa menyebabkan akad jual beli menjadi fasid (rusak) karena tidak memenuhi prinsip kejujuran dan kejelasan pada barang. Solusinya adalah: Hak Khiyar (hak memilih) bagi pembeli, pembeli memiliki hak untuk membatalkan transaksi karena tertipu. Sehingga, Rina berhak untuk mengembalikan tas tersebut dan meminta pengembalian uangnya. Penjual wajib berlaku atau bersikap jujur (shidiq), penjual tidak boleh memasang foto palsu pada saat menjual barang, penjual harus memasang foto sesuai dengan keadaan barang dan memberikan catatan deskripsi yang sesuai dengan keadaan barang yang ingin dijual. Jika pembeli dirugikan, maka penjual wajib untuk mengganti kerugian tersebut atau mengembalikan uang pembeli.
Kesimpulannya, jual beli yang dilakukan secara online hukumnya boleh (mubah) tetapi harus mengikuti sesuai dengan prinsip syariah, dan memenuhi syarat kejujuran, kejelasan, dan ada kesepakatan diantara kedua pihak. Namun jika terjadi penipuan, gharar, dan lain sebagainya, maka akad jual beli tersebut batal atau tidak sah, dan pembeli memiliki hak untuk mendapatkan hak khiyar untuk melindungi dirinya sendiri dari kerugian yang didapatkan.
Millah Naf'an 3B - Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
