Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rif'at Fardhan

Sahabat Fisabilillah

Sastra | 2025-11-20 14:43:43

Angin malam berjalan pelan di antara puing-puing yang dulu disebut rumah. Debu menempel seperti selimut tipis di pipi anak-anak yang masih terjaga, sementara ada suara-suara kecil dari dapur umum: wajan beradu, orang berbisik, doa yang di sela nafas. Di sebuah lorong yang mengarah ke jalan sempit, berdiri Yusuf, dua puluh tiga tahun, tubuhnya kurus namun matanya padat; bukan hanya karena lelah, tetapi karena beban yang dipilihnya untuk dipikul. Di pundaknya tergantung tas kain yang sudah pudar warnanya. Di dalam tas itu ada obat-obatan, selembar roti, dan sebuah buku catatan yang hampir hilang pinggirnya — buku yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi, seperti membawa sedikit keyakinan bahwa suatu hari dunia akan membaca apa yang pernah terjadi di sini.

Langkah mendekat, satu suara yang familiar memecah diam. “Kenapa kau berdiri menatap puing sendirian? Kau tahu ini membuatmu kelihatan seperti penyair.” Suara itu datang dari Amir—tinggi, berotot, bibirnya sering membentuk lelucon untuk menutupi kekhawatiran. Amir dan Yusuf sudah seperti dua sisi dari satu mata uang; Yusuf empatik, penuh pikir; Amir gagah, penuh tindakan. Mereka bertemu sejak kecil ketika laut yang luas seakan menantang anak-anak kampung untuk menaklukkannya. Amir yang berani, Yusuf yang cemas. Mereka bertahan bersama melalui tawa, luka, dan kini melalui reruntuhan yang diguyur debu dan ketakutan.

“Kau tahu aku suka menulis di saat-saat gila ini,” kata Yusuf sambil menutup bukunya rapat-rapat. “Jika aku tidak menulis, aku takut lupa akan hal-hal kecil — seperti nama-nama yang dulu mengisi meja makan kita.”

Amir mengangkat bahu. “Kalau begitu, tulis saja semua yang kau suka. Nanti kita cetak dan jual kepada musuh. Mereka pasti membutuhkan pelajaran kemanusiaan.” Mereka tertawa, tawa yang ringan tetapi mengandung kepedihan. Di Gaza, tawa adalah mata air kecil; tak banyak, tetapi berharga ketika muncul.

Malam itu mereka berjalan menuju posko kecil yang menjadi pusat pembagian air dan obat. Rute mereka melintasi bangunan sekolah yang atapnya runtuh sebagian; sekelompok ibu berkumpul di bawah selimut tebal, menjaga anak-anak yang meringkuk seperti bola. Seorang gadis kecil bernama Lina menggenggam kertas sobek dan menunjukkannya pada Yusuf. “Kau lihat? Aku menggambar awan yang tersenyum,” katanya yakin. Wajahnya masih polos, tanpa mengerti bahwa awan di sini seringkali bukan hanya awan — tapi asap, dan bukan senyum yang membawa hujan, melainkan suara sirene.

“Bagus sekali,” ujar Yusuf, dan suaranya sarat hangat. Ia memberi gadis itu sepotong roti. Anak-anak lain berkumpul, mata mereka mencari-cari figur-figur yang memberi mereka rasa aman. Di mata mereka, Yusuf dan Amir bukan sekadar pemuda bertopi; mereka adalah pegangan ketika malam terasa begitu panjang.

Dalam kegelapan, kedua sahabat itu melaksanakan tugas mereka: memeriksa rute aman, menandai jalan yang masih dapat dilewati, mengantar obat ke satu keluarga yang tak mampu, menolong menambal tampungan air yang bocor. Tidak ada ritual heroik di sini, hanya pekerjaan sederhana yang dikumpulkan menjadi amal besar — membantu orang bertahan hidup hari demi hari. Ketika Yusuf memberikan obat ke seorang pria tua, pria itu menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. “Terima kasih,” katanya pelan. “Anakmu, nanti kau harus berhati-hati. Dunia kita rapuh.” Kata-kata itu menempel di hati Yusuf seperti guratan yang tidak ingin hilang.

Pada suatu malam yang lain, ketika bulan baru menggantung seperti koin tipis, datang surat dari kampung Yusuf. Tulisan ibunya ringkas: Ayahmu sakit lagi. Pulang jika bisa. Surat itu seperti batu kecil yang menempel di dada Yusuf. Ada rasa bertanggung jawab yang menjeratnya, namun tugasnya di posko juga memanggil. Ia memandang wajah Amir, ragu. “Pergilah,” ucap Amir tanpa banyak bicara. “Keluargamu adalah prioritas.” Amir selalu seperti itu; ia akan menunggu Yusuf kembali, menyelesaikan sisa tugas dan menjaga rute. Kata-kata Amir adalah perintah yang lembut.

Yusuf pulang. Rumahnya kecil, retak di beberapa sisi, tetapi hangat oleh bau teh dan roti. Ibunya memeluknya seperti memeluk bagian yang hilang. Ayahnya terbaring di ranjang, napasnya pendek namun matanya menerawang seperti orang yang melihat sesuatu yang lain. Yusuf duduk di sampingnya, menggenggam tangan yang sudah menua. Mereka berbicara tentang hal-hal kecil: kenangan tentang musim panen, tetangga yang pindah, dan bagaimana bintang di langit kampung mereka lebih bersinar dulu. Itu adalah malam di mana Yusuf merasa seperti anak kecil lagi, terlindung oleh dua mata yang menatapnya tanpa memaksa.

Namun fajar kali itu membawa dentuman yang mengoyak. Tanah berguncang, cat terkelupas dari dinding, dan suara sirene menjerit seperti mamalia yang kesakitan. Yusuf menjerit ketika melihat kepulan asap di kejauhan; kepulan itu berada di rute yang baru saja dilewati Amir. Tanpa berpikir panjang, ia berlari, meninggalkan rumah, meninggalkan ibu yang memanggil namanya, menuju asap yang menggantung.

Di lokasi, pemandangan kacau. Orang-orang berseragam mengangkat potongan besi, relawan mengevakuasi yang terluka, dan tanah masih bergetar pelan. Di sebuah tenda darurat, Yusuf menemukan Amir — wajahnya penuh debu, lengan terikat perban. Ia tampak kelelahan namun masih mampu tersenyum ketika melihat Yusuf. “Kau terlambat,” canda Amir, suaranya serak tetapi menggembirakan. “Aku mulai mengira kau akan meninggalkanku sebab kau lebih menyukai keluarga.”

Yusuf terisak, memeluk sahabatnya. “Jangan bercanda seperti itu. Aku takut—”

“Kau datang,” Amir memotong. “Itu saja cukup.”

Keesokan harinya ketika debu masih menempel di rambut warga, Amir duduk di sisi Yusuf, dan mereka berbicara tentang hal-hal yang tak pernah mereka ucapkan di hadapan orang lain. Amir bercerita tentang rasa takutnya ketika melihat wajah seorang teman yang tidak bangun lagi. Yusuf membagi kekhawatirannya tentang masa depan: apakah seorang penulis di tanah berantakan ini memiliki peluang untuk membacakan kembali sejarah yang tak adil? Mereka saling menatap, menemukan bahwa rasa takut adalah hal yang sama — tapi keberanian muncul ketika mereka memutuskan untuk tidak menanggungnya sendirian.

Waktu berjalan, seperti garis yang sering ditarik kembali dan tak pernah lurus. Hari demi hari membawa tugas baru, berita baru, orang-orang baru yang kehilangan sesuatu. Di tengah kehampaan itu, Yusuf menulis. Ia menulis tentang Lina yang menggambar awan tersenyum, tentang pria tua yang menangis diam ketika menerima obat, tentang ibu yang membuatkan teh meski tahu tak ada lagi gula. Ia menulis tentang Amir yang menertawakan dirinya sendiri dan menahan tangis ketika tidak ada yang melihat. Tulisan-tulisan itu bukan sekadar kata; ia menaruh di dalamnya doa. Ia yakin kata-kata bisa menjadi saksi yang lebih jujur daripada kamera.

Suatu sore yang temaram, ketika matahari turun rendah dan menyisakan garis-garis jingga, Yusuf dan Amir duduk di atap sebuah gedung yang hampir roboh. Dari sana, mereka dapat melihat permainan anak-anak di halaman kumuh; mereka dapat melihat langit yang memancarkan warna yang belum pernah terlihat sejak lama. Amir mengeluarkan sebatang rokok yang ia simpan untuk momen-momen ketika dunia terasa terlalu berat, namun ia menatap Yusuf lalu membuang rokok itu ke tanah. “Sudah cukup untuk menambah beban,” katanya ringan.

Yusuf membuka bukunya dan membaca satu paragraf yang baru saja ia tulis. “Persahabatanqof bukan sekadar berbagi makanan atau meminjam jaket. Persahabatan adalah ketika kau tahu ada tangan yang akan hadir ketika dunia menjadi terlalu bising, ketika kau tahu ada seseorang yang akan menangkapmu jika kau jatuh.” Kata-kata itu terucap seperti doa, dan malam itu mereka sepakat: jika ada hal yang membuat mereka tetap manusia di tengah kekacauan, itu adalah kehadiran satu terhadap yang lain.

Beberapa bulan kemudian, keadaan semakin sulit. Bantuan semakin sedikit, dan berita buruk datang silih berganti. Namun di sudut-sudut kecil ada kebaikan yang tak mau padam: seorang ibu yang meminjamkan selimutnya, seorang pemuda yang menggantikan tugas sahabatnya untuk semalam, seorang anak yang membagikan sepotong roti kepada temannya. Semua tindakan kecil itu membuat jaringan kemanusiaan yang tak terlihat — dan Yusuf dan Amir adalah bagian dari jaringan itu.

Pada suatu malam ketika angin dingin menggigit, sebuah serangan lain mengguncang. Kali ini tempat yang hancur lebih dekat ke kampung mereka. Mereka membantu sampai larut, mengevakuasi sampai tubuh terasa lelah hingga tak mampu lagi menopang. Saat-saat itulah Amir dan Yusuf bekerja seperti dua mesin yang diberi bahan bakar oleh amarah dan cinta. Tidak ada keberanian berlebihan atau pameran; hanya ketetapan hati untuk memastikan seseorang dapat melihat matahari lain esok hari.

Di sela-sela itu, Yusuf menulis sebuah kalimat yang selalu membuatnya menangis saat membaca ulang: “Kami adalah orang-orang yang tertinggal di antara reruntuhan, namun kami menyalakan lilin-lilin kecil agar yang lain tidak tersesat. Lilin itu kecil, tetapi cahayanya cukup untuk menunjukkan jalan pulang.” Ia menaruh kalimat itu di baris paling akhir dari buku yang hampir habis halamannya.

Ketika kondisi mereda sedikit—hanya sedikit saja—Amir dan Yusuf duduk di dalam sebuah ruangan yang dipenuhi orang-orang menunggu bantuan. Mereka memandang wajah-wajah yang berbeda: ada mata yang sinis, mata yang lelah, mata yang masih menyimpan tawa. Seorang wanita tua datang menghampiri, menggenggam tangan Yusuf dan menatapnya lama. “Jangan lupakan kami,” katanya. “Tuliskan kami. Jika dunia melupakan, biarlah kata-katamu yang menjaga.”

Yusuf menunduk. Ia menggenggam buku catatannya erat seperti memegang amanah. “Aku berjanji,” bisiknya.

Persahabatan mereka terus berlanjut bukan karena janji-janji heroik, tetapi karena pilihan kecil setiap hari: menghadiri tenda seorang yang sakit, menukar giliran menjaga, menunggu di depan pintu meski takut. Suatu malam ketika suara tembakan jauh mereda, mereka terdiam, memandang satu sama lain. Tidak ada yang perlu diucapkan. Semua yang penting sudah ada di antara mereka: loyalitas, lelah yang dibagi, dan kata-kata Yusuf yang menempel pada kertas.

Di akhir musim yang keras itu, ketika sedikit air mengalir seperti berkah, Yusuf menulis kalimat terakhir pada bukunya: “Di antara reruntuhan Gaza, kami menemukan sesuatu yang tak dapat dirusak: sahabat yang memegang ujung tali ketika kita hampir tergelincir. Mereka bukan sekadar bayangan; mereka adalah rumah.” Ia menutup buku itu, menaruhnya di dalam tas yang sama, lalu memberi tahu Amir, “Suatu saat, ketika dunia tenang, aku ingin membacakan ini di depan orang banyak.”

Amir menepuk pundaknya. “Kau akan membaca. Dan aku akan datang, tentu saja. Kalau tidak, kau tahu aku akan mengadukanmu pada langit.” Mereka tertawa, seperti dulu sebelum semua ini bermula.

Malam menutup dengan sunyi yang tak sepenuhnya sunyi—ada doa, ada napas yang berganti. Di bawah langit yang kadang cerah, kadang kelabu, dua sahabat itu terus melangkah, membawa sisa-sisa kemanusiaan seperti lentera kecil, berharap bahwa cahayanya cukup untuk menerangi jalan bagi banyak orang. Mereka tahu bahwa hari-hari buruk akan kembali berdatangan; itu bagian dari kehidupan mereka. Namun mereka juga tahu bahwa selama ada tangan untuk bergandengan, selama ada kata yang menulis kebenaran, maka segala reruntuhan tidak akan cukup untuk merobohkan rumah yang dibangun dari persahabatan.

Dan di antara debu dan doa, mereka berjalan — bukan sebagai pahlawan legenda, tetapi sebagai dua insan yang tak pernah merasa sendiri satu sama lain. Itu saja, dan itu sudah cukup.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image