Bertemu dan Berpisah di Langit
Kisah | 2025-11-20 14:31:07Pesawat menuju Gaza itu bergetar halus ketika menembus awan. Di kursi 27A duduk Arfan, seorang wartawan muda dari Indonesia yang ditugaskan kantornya untuk meliput kondisi terkini di Gaza. Di balik rasa bangga yang menghangatkan dada, ada kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan. Foto-foto kehancuran yang ia lihat sebelum berangkat masih menempel di kepala. Ia mencoba menenangkan dirinya dengan menarik napas panjang, tiba tiba seseorang duduk di kursi sebelahnya 27B. Seorang pria seusianya, berwajah ramah dan membawa kamera yang terlihat lelah oleh banyak perjalanan. Pria itu bernama Reza, sesama warga Indonesia yang ternyata juga seorang wartawan. Mereka saling memperkenalkan diri dengan percakapan ringan tentang tugas, kota asal, dan kekhawatiran masing-masing sebelum akhirnya perjalanan panjang membuat mereka akrab dengan sendirinya.
Arfan pertama kali melihat Reza saat ia sedang berusaha memasukkan tas kameranya ke kompartemen atas pesawat. Reza—yang duduk di kursi sebelahnya—berdiri untuk membantu tanpa diminta, sekadar mengangguk sambil tersenyum ramah. Awalnya itu hanya interaksi kecil seperti sesama penumpang lain, tetapi ketika pesawat mulai lepas landas, keduanya sama-sama memperhatikan bahwa peralatan mereka hampir serupa. Dengan sedikit ragu, Arfan bertanya apakah Reza seorang wartawan, dan Reza menjawab singkat bahwa ia sudah beberapa kali ditugaskan keluar negeri, namun baru kali ini ke wilayah yang situasinya sekeras Gaza. Dari percakapan ringan itulah, perlahan keduanya mulai menemukan titik-titik yang membuat mereka merasa tidak lagi duduk di samping orang asing.
Selama beberapa jam perjalanan, mereka saling bertukar cerita tentang alasan menerima penugasan tersebut. Arfan mengaku bahwa ia masih menyimpan ketegangan karena ini adalah penugasan pertamanya ke wilayah konflik. Reza mendengarkan tanpa menghakimi, lalu menenangkan dengan mengatakan bahwa semua wartawan pernah punya “tugas pertama” yang menakutkan. Ada ketulusan dalam nada suaranya yang membuat Arfan merasa dihargai, bukan dianggap sebagai anak baru. Ketika pramugari membagikan makanan dan banyak penumpang sibuk dengan film atau tidur, keduanya masih saja berbicara—tentang keluarga, perjalanan mereka sebelumnya, hingga alasan mereka memilih menjadi wartawan. Perlahan, percakapan itu berubah dari formal menjadi personal; mereka saling menemukan bagian diri yang tidak mudah diceritakan kepada orang lain.
Saat pesawat memasuki malam, kabin diredupkan. Sebagian besar penumpang tidur, tetapi Arfan dan Reza justru sulit memejamkan mata. Mereka berbicara lebih pelan, seakan suara keras bisa memecah kenyamanan kecil yang baru terbentuk. Di momen itu, Arfan bercerita bahwa ia sebenarnya hampir menolak tugas ini karena takut tidak pulang. Reza hanya menatapnya lama, lalu berkata pelan, “Takut itu wajar. Yang penting jangan sendirian.” Itu kalimat sederhana, tetapi cukup untuk membuat Arfan merasakan kehadiran seseorang di sisinya bahkan sebelum mereka menginjakkan kaki di Gaza. Sejak saat itu, ada rasa percaya yang tumbuh dalam diam.
Setibanya Di Gaza, Arfan dan Reza mendapati kenyataan yang jauh lebih keras daripada yang pernah mereka lihat di berita. Hari-hari mereka dipenuhi oleh suara sirene, bau asap, dan debu bangunan yang runtuh tertiup angin. Namun di tengah atmosfer yang penuh ancaman itu, keduanya perlahan membentuk ritme kerja dan kebersamaan yang seolah terjadi begitu saja. Setiap pagi mereka berangkat bersama, menyusuri jalan-jalan sempit yang dipenuhi reruntuhan sambil membawa kamera, recorder, dan keberanian yang terkadang lebih rapuh dari yang terlihat. Mereka saling menjaga tanpa perlu diminta; jika Arfan melangkah terlalu dekat ke gedung retak, Reza menegurnya pelan, dan jika Reza berhenti terlalu lama di tempat terbuka, Arfan akan menepuk bahunya untuk mengingatkan agar terus bergerak.
Pada wawancara pertama mereka dengan keluarga penyintas, Arfan sempat kehilangan kata-kata saat melihat seorang anak kecil memeluk mainan yang setengah hangus. Reza menepuk punggungnya pelan, mengambil alih wawancara tanpa perlu saling bicara. Keduanya mulai memahami cara bekerja satu sama lain hanya lewat bahasa tubuh. Sore harinya, saat duduk di depan tenda pengungsian sambil berbagi sebotol air, Reza sempat bergumam pelan, “Kita harus kuat, Fan,” dan kalimat itu menjadi penopang bagi Arfan sepanjang hari-hari berikutnya.
Setiap malam mereka pulang dengan langkah berat, tetapi selalu sempat duduk sebentar di atap bangunan tempat mereka menginap. Tidak selalu berbicara—kadang hanya saling diam sambil memandangi langit Gaza yang dipenuhi asap tipis—tetapi kehadiran satu sama lain membuat beban yang mereka bawa terasa sedikit lebih ringan. Arfan mulai menyadari bahwa ia tidak lagi bangun dengan rasa cemas yang menyesakkan seperti hari pertama; ada Reza yang akan menyeringai sambil berkata, “Ayo, kita hidup lagi hari ini,” sebelum memulai liputan. Dan di balik gurauan itu, mereka tahu bahwa mereka saling memberi keberanian untuk tetap berdiri.
Pada peristiwa tertentu, kedekatan mereka teruji semakin dalam. Pernah suatu hari ketika suara ledakan terdengar sangat dekat, Arfan tertegun karena bayangan reruntuhan yang jatuh mengingatkannya pada kisah yang baru mereka liput sebelumnya. Reza tanpa banyak bicara menariknya ke balik dinding beton dan menunggu bersama sampai suasana kembali tenang. Di lain waktu, Reza sempat terpeleset saat memanjat puing, dan Arfan menangkapnya sebelum ia jatuh menggelinding. Setelah itu mereka tertawa lirih, bukan karena lucu, tetapi karena menyadari betapa tipis jarak mereka dengan bahaya. Momen-momen kecil semacam itu, berlangsung berulang kali, menumbuhkan persahabatan yang tidak dibuat oleh waktu panjang, tetapi oleh keadaan ekstrem yang memaksa mereka saling mempercayai hidup satu sama lain.
Setiap malam ketika mereka menutup hari, mereka tidak lagi merasa seperti dua wartawan asing yang kebetulan satu pesawat; mereka kini seperti saudara seperjalanan yang dibentuk oleh rasa takut yang sama, beban yang sama, dan tekad yang sama untuk membawa pulang cerita tentang manusia-manusia yang bertahan di tengah kehancuran. Kedekatan itu semakin nyata di mata warga setempat yang mengenal mereka; beberapa kali seorang bapak di kamp pengungsian bercanda, “Kalian ini kalau jalan selalu berdua. Kayak bayangan.”
Hingga suatu siang, ketika mereka sedang mewawancarai seorang warga di dekat gedung yang sudah retak-retak, suara dentuman besar terdengar di kejauhan. Debu naik ke udara, lalu suara tembakan menyusul. Serangan itu bergerak cepat mendekat. Orang-orang berlarian. Arfan dan Reza terpaksa berlindung di balik tembok yang hampir roboh. Ledakan kedua membuat struktur bangunan itu goyah, serpihan beton berjatuhan, dan suara besi patah mengiris telinga. Reza sempat terjatuh, hampir tertimpa balok, namun Arfan menariknya tepat waktu. Lari mereka memanjang seperti mimpi buruk, sampai akhirnya mereka tiba di sebuah lorong sempit yang cukup aman dari pecahan-pecahan yang beterbangan. Dalam keheningan setelahnya, napas mereka tersengal. Tanpa banyak kata, keduanya menyadari mereka hampir mati bersama. Dan justru pada detik itu, persahabatan mereka terasa seperti sesuatu yang dikirimkan takdir agar mereka mampu bertahan di tanah yang tak kenal belas kasihan. Sejak hari itu, ketika serangan besar itu hampir merenggut nyawa mereka, ikatan itulah yang membuat mereka tidak runtuh oleh rasa panik. Mereka sudah terlalu sering saling menolong, terlalu sering saling menjadi sandaran, sehingga ketika dunia di sekitar mereka tiba-tiba meledak, mereka secara refleks berlari dan bertahan bersama, seolah bertahan hidup adalah janji diam-diam yang sudah mereka sepakati sejak hari pertama menjejak tanah Gaza.
Waktu berjalan, dan tugas mereka akhirnya selesai. Sore hari menjelang keberangkatan ke bandara, langit Gaza memerah seperti sedang menutup tirai perlahan. Di dalam mobil, mereka berbicara tentang hal-hal yang jarang keluar dari mulut wartawan seperti ketakutan, rasa syukur, keluarga yang menunggu di rumah, serta betapa pertemuan mereka terasa seperti anugerah di tengah kekacauan. Ada tawa kecil, ada kesepian, dan ada rasa lega karena mereka berhasil menjalani semua itu bersama. Ketika pesawat lepas landas dari bandara, suasana kabin sempat terasa tenang. Arfan duduk bersandar sambil menatap gelap malam di luar jendela, mencoba meredakan rasa berat yang tersisa setelah berminggu-minggu di Gaza. Di sampingnya, Reza memandangi awan yang dilalui pesawat dengan ekspresi lelah namun lega. Mereka sempat berbicara pelan, sekadar mengingat pertemuan pertama mereka di pesawat berangkat dan bagaimana perjalanan itu justru mempertemukan dua orang asing menjadi sahabat. Setelah itu mereka lebih banyak diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing sambil menikmati suara mesin pesawat yang stabil.
Beberapa jam kemudian, kabin diredupkan, banyak penumpang mulai tertidur, sementara Arfan menulis catatan akhir liputannya dan Reza memeriksa foto-foto hari terakhir mereka. Sesekali mereka saling menunjukkan gambar dan tersenyum kecil, mengenang momen ketika mereka saling menolong saat serangan mendadak di Gaza. Reza hanya berujar singkat, “Kita beruntung, Fan,” dan Arfan mengangguk tanpa menambahkan apa pun karena sama-sama tahu seberapa dekat mereka dengan maut waktu itu.
Ketika lampu kabin tiba-tiba menyala kembali, suasana berubah. Pengumuman dari pilot terdengar tegang meski berusaha ditutupi, meminta semua penumpang mengenakan sabuk pengaman. Penumpang mulai gelisah, beberapa langsung terbangun, dan seorang ibu memeluk anaknya lebih erat. Pesawat kemudian mulai berguncang; awalnya ringan seperti turbulensi biasa, lalu semakin kuat hingga baki makanan terjatuh dan beberapa barang di kompartemen atas bergeser. Guncangan berikutnya membuat banyak orang memekik. Masker oksigen belum turun, tetapi tanda-tanda bahwa ada sesuatu yang tidak normal mulai terasa. Getaran pesawat berasal dari hentakan seperti sesuatu mengenai bagian luar pesawat. Arfan mencengkeram kursinya, sementara Reza memandang ke arah jendela meski yang terlihat hanya kegelapan. Ketika suara letupan terdengar dari arah belakang, penumpang serempak berteriak. Pesawat langsung condong miring, membuat beberapa orang terpental dari kursi karena belum memakai sabuk.
Kabin berubah menjadi kepanikan. Pramugari berusaha memberikan instruksi tetapi terlempar ke kursi terdekat ketika guncangan berikutnya terjadi. Alarm pesawat mulai berbunyi dan masker oksigen akhirnya jatuh dari atas, bergoyang-goyang liar. Teriakan, doa, dan isak memenuhi seluruh ruang. Reza menatap Arfan dengan wajah pucat, membisikkan kalimat pendek yang hampir tak terdengar, “Kayaknya pesawat kita kena sesuatu ” Namun Arfan hanya membalas dengan tatapan yang menyadari hal yang sama tanpa perlu kata-kata. Di tengah kekacauan itu, pesawat kehilangan ketinggian terlalu cepat. Penumpang berpegangan pada apa pun yang bisa dijangkau, beberapa menutup mata, beberapa menangis histeris, dan sebagian lagi terpaku diam karena ketakutan. Guncangan makin brutal, suara gesekan logam terdengar dari luar, dan seluruh kabin terasa seperti ditelan gelap. Di saat-saat itulah, Arfan dan Reza hanya saling menatap bukan panik, tetapi dengan ketenangan getir dua orang yang sudah terlalu sering melihat maut dari dekat. Dan perlahan, pesawat itu terus menukik, menuju akhir yang tak dapat lagi mereka hindari.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
