Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nabil R

Ke Mana Ibu Pergi

Sastra | 2025-11-20 12:58:23

Nama ku Dio, aku berumur 15 tahun, aku dibesarkan oleh kedua kakek nenek ku, ayahku seorang nelayan yang didiagnosa penyakit keras yang membuat ia lumpuh, kakek dan nenek ku berjuang mati matian demi menghidupi kebutuhan sehari hari ku dan untuk biaya pengobatan ayahku, suatu hari aku membayangkan dapat berkumpul dengan keluarga kecil ku dan menemukan ibu ku yang telah berpisah sejak aku berumur 3 tahun, bahkan aku tidak dapat mengingat kembali wajah ibuku saat itu.

Kakek berkata bahwa ibu pergi ke Eropa untuk melakukan suatu tugas pekerjaannya yang harus diselesaikan, namun ibu tak kunjung kembali, aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Suatu saat aku menemukan selembar surat yang bertuliskan tentang pernyataan pemindahan kependudukan atas nama ibu beserta lokasi yang ibu tempati saat ini lokasi itu tertulis jelas di negara Jerman pada kota Munich. Dengan penuh tekad, aku yakin bahwa aku dapat menemui ibu ku dan mewujudkan impianku menjadikan keluarga yang harmonis “aku bakal bersungguh-sungguh untuk mewujudkan impianku”.

Setiap harinya aku berlayar di samudra untuk menangkap ikan yang nantinya akan di jual, untuk menghidupi kebutuhan sehari hari, tak lupa aku menyisihkan uang hasil tangkapan tersebut untuk ditabung, hari demi hari, waktu demi waktu, aku berlayar tak kenal lelah. Hingga pada saatnya waktu pun tiba, tabunganku sudah cukup untuk membiayai pengobatan ayahku, melihat kondisi ayah yang semakin membaik, akupun meminta izin kepada ayah dan kakek nenek ku untuk berniat mencari ibu. Mendengar hal tersebut, kakek nenek tidak mengizinkanku untuk melakukan hal tersebut, namun aku berusaha untuk meyakinkannya bahwa aku akan balik dengan baik baik saja dan akan mewujudkan kembali impianku.

Aku berhasil meyakinkan kakek nenek ku untuk pergi mencari ibu, 28 Desember aku akan berangkat ke Jerman dan akan berupaya untuk menemui ibu, “aku bakal balik sebelum tahun baru kakek, nenek..” Keesokannya aku berangkat menuju Jerman, perjalanan ku tempuh selama 18 jam menggunakan pesawat, sesampainya aku langsung bergegas menuju alamat yang aku ketahui, aku tidak terlalu mahir dalam berbahasa inggris, namun aku sedikit paham. Di keramaian kota Munich aku menanyakan orang-orang sekitar terkait identitas ibuku, namun semuanya tidak mengetahuinya.

Sudah dua hari aku mencari ibuku namun hasilnya tetap nihil, hingga suatu ketika ada seorang wanita yang menghampiriku di sebuah taman dekat stasiun kereta. Ia memandangku dengan raut terkejut, seolah mengenali sesuatu dalam diriku.

“Kau.. kau mirip sekali dengan seseorang,” ia berkata pelan sambil menatapku lebih dekat. “Dengan ibu?” tanyaku, Wanita itu mengangguk pelan. “Ya.. kau mirip dengan sahabatku dulu, namanya Amina.” Jantungku berdetak cepat.

Wanita itu memperkenalkan dirinya sebagai Helena. Ia bercerita bahwa ia dan ibuku dulu bekerja bersama di sebuah lembaga sosial internasional. Namun, bertahun-tahun lalu ibuku tiba-tiba keluar dari pekerjaannya dan memutus semua kontak, bahkan dengan sahabat terdekatnya. “Aku tidak tahu alasan pastinya,” kata Helena,Tapi sebelum pergi, ia sempat menitipkan sebuah kotak kecil padaku..” katanya jika suatu hari seorang anak laki-laki mencarinya, aku harus memberikannya.”

Ia mengajakku berjalan menuju apartemennya yang tidak jauh dari taman. Begitu sampai, ia mengambil sebuah kotak kayu kecil yang terbungkus kain merah. Tanganku bergetar saat menerimanya.

Aku membuka kotak itu perlahan. Di dalamnya terdapat sebuah foto lama seorang wanita muda yang tersenyum sambil menggendong bayi kecil. Di belakang foto itu tertulis dengan tulisan tangan:

“Untuk Ali, anakku. Jika suatu hari kau membacanya, ketahuilah bahwa Ibu mencintaimu, selalu.”

Mataku mulai berkaca-kaca.

Helena kemudian menyerahkan secarik kertas berisi alamat. “Alamat ini tempat terakhir yang kutahu ia tinggali. Itu tidak jauh dari pusat kota, tapi aku tidak pernah memastikan apakah ia masih di sana.”

Dengan penuh harap, aku bergegas menuju alamat tersebut. Salju turun perlahan, menutupi jalan-jalan Munich yang tampak tenang. Setibanya di depan bangunan tua berwarna putih krem, langkahku terasa berat. Aku mengetuk pintu apartemen nomor 3B. Namun tak ada jawaban.

Aku mencoba lagi. Dan lagi. Hingga akhirnya pintu itu terbuka sedikit, memperlihatkan seorang wanita dengan rambut cokelat. Saat ia melihat ke arahku, ia terdiam seperti membeku.

“ Ali?” suaranya bergetar, hampir tak terdengar.

Dadaku sesak. “Ibu...?”

Wanita itu menutup mulutnya, dan meneterkan air mata. Ia membuka pintu lebar-lebar dan memelukku dengan erat. “Aku kangen banget sama ibu...”. Aku berkata. “Aku juga, Bu.” Namun masih banyak pertanyaan yang menggantung, mengapa ibu pergi, apa yang sebenarnya terjadi, dan mengapa ia tak pernah kembali?, namun aku tidak memperdulikan hal tersebut, yang terpenting aku bisa kembali bertemu ayah, kakek dan nenek.

Di situlah perjalanan baruku dimulaibukan hanya menemukan ibu, tetapi aku berhasil menyatukan kembali keluarga kecil ku yang aku impikan selama ini.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image