Korupsi Kian Menggurita, Demokrasi Tak Mampu Menjaga Amanah
Eduaksi | 2025-11-19 14:24:03
Kasus korupsi di Indonesia seperti tak ada matinya, terus dan terus. Bak sampah yang terus menggunung, menyebarkan aroma busuk dan memenuhi seluruh sel-sel kehidupan umat. Dari korupsi recehan hingga megakorupsi yang menyeret para pejabat tinggi, semuanya berseliweran di media. Korupsi seakan menjadi denyut nadi sistem politik negeri ini—berulang seperti gerbong kereta api yang tak pernah berhenti. Belum selesai satu kasus, telah muncul kasus lainnya, saling susul-menyusul tanpa jeda.
Publik kembali digemparkan dengan kasus korupsi terbaru di Provinsi Jambi. Kejaksaan Negeri Muarabulian resmi menerima berkas perkara dugaan korupsi di Dinas Pendidikan Kabupaten Batanghari yang merugikan negara hingga Rp21,89 miliar. Empat orang langsung ditahan, yakni pejabat dan rekanan proyek yang diduga memainkan anggaran pengadaan dan kegiatan fiktif di lingkungan Disdik Jambi. (Sumber: Detik Sumbagsel – “Kejari Terima Berkas Korupsi di Disdik Jambi Rugikan Rp 21,89 M, 4 Orang Ditahan”, 19 November 2024) Fakta ini menambah panjang daftar korupsi sektor pendidikan—sektor yang semestinya menjadi pilar mencerdaskan bangsa, bukan ladang memperkaya diri.
Belum reda kasus ini, masyarakat masih mengingat berbagai skandal lain yang menyeruak dalam beberapa bulan terakhir. Kasus dugaan korupsi dana hibah KONI yang menyeret pejabat Kemenpora, terkait penyalahgunaan anggaran pembinaan olahraga. (Sumber: Kompas.com, 24 Juni 2024). Korupsi proyek BTS Kominfo jilid lanjutan yang kembali menimbulkan kerugian negara, hingga kasus suap pejabat daerah yang melibatkan kepala dinas, bupati, dan anggota DPRD di berbagai daerah.(Sumber: CNN Indonesia, 3 Juli 2024). Kasus suap dan gratifikasi sejumlah kepala daerah dan pejabat dinas, seperti Bupati Sidoarjo hingga pejabat Pemprov Jawa Barat, yang tertangkap operasi tangkap tangan KPK. (Sumber: Tempo.co, 2024–2025). Semua itu semakin menegaskan bahwa korupsi telah mendarah daging dalam sistem yang berjalan hari ini.
Fenomena ini membuat publik makin sangsi. Lembaga seperti KPK, yang dulu dipuja sebagai “macan pemberantas korupsi”, kini justru dipandang tak lagi bertaring. Penanganan korupsi kerap dinilai tebang pilih, bahkan tak jarang dikaitkan dengan kepentingan politik kekuasaan. Revisi UU KPK yang mengharuskan penyidik meminta izin sebelum penggeledahan, semakin mempertebal keraguan masyarakat. Mampukah skandal korupsi diberantas dengan mekanisme penindakan semata dalam sistem yang bahkan memberi ruang melindungi “pemain besar”?
Demokrasi Lahan Subur Korupsi
Korupsi dalam lingkaran kekuasaan adalah penyakit bawaan sistem sekuler, khususnya demokrasi yang bertumpu pada kapitalisme. Dalam demokrasi, kekuasaan selalu diperoleh dengan modal besar. Biaya kampanye, logistik politik, hingga “mahar partai” adalah realitas yang tak terbantahkan. Maka setelah jabatan diraih, hal pertama yang harus dilakukan adalah “balik modal”. Di sinilah lingkaran setan suap, mark-up anggaran, dan jual-beli kebijakan bermula.
Sistem demokrasi tidak mengenal batas halal-haram. Standar moralnya bukan ajaran Tuhan, melainkan asas manfaat dan kepentingan. Sepanjang menguntungkan dan tidak tertangkap, korupsi dianggap sekadar bagian dari “risiko bermain dalam kekuasaan”. Bahkan jika tertangkap pun, seringkali dianggap sekadar “nasib buruk”.
Mengharapkan demokrasi bebas dari korupsi ibarat hendak menegakkan benang basah—sebuah ilusi yang terus dijanjikan tetapi mustahil diwujudkan. Selama sistem yang menopangnya adalah sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan, korupsi akan tetap menjadi budaya, bukan sekadar pelanggaran.
Islam Solusi Tuntas Korupsi
Islam sebagai agama paripurna membawa seperangkat aturan yang bukan hanya menindak pelaku korupsi, tetapi menutup seluruh celah yang memungkinkan korupsi tumbuh. Sistem Islam tidak hanya menyoroti perilaku individu, tetapi juga struktur dan mekanisme pemerintahan yang mencegah korupsi sejak akarnya.
Islam membangun pencegahan korupsi melalui empat pilar utama.
Pertama, kontrol iman. Para pemimpin dan pejabat menyadari bahwa setiap tindakan mereka akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Keyakinan ini bukan slogan, tetapi realitas psikologis yang terbentuk dari pendidikan ruhiyah yang kuat. Rasa takut kepada Allah menjadi benteng pertama terhadap korupsi, suap, dan pengkhianatan amanah.
Kedua, pemberian gaji dan santunan yang mencukupi. Dalam sistem Islam, jabatan adalah amanah, bukan sarana memperkaya diri. Karena itu negara memastikan kebutuhan pejabat terpenuhi agar mereka dapat fokus menjalankan tugas tanpa tergoda mencari pemasukan tambahan secara haram.
Ketiga, sistem pembuktian terbalik harta pejabat. Rasulullah ﷺ bersabda bahwa harta yang melebihi hak pejabat adalah ghulul—harta haram yang akan dipikul di hari kiamat. Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, pejabat yang gaya hidupnya mencolok atau hartanya tiba-tiba meningkat drastis langsung diselidiki dan disita bila terbukti tak wajar.
Keempat, sanksi tegas dan menjerakan. Islam menerapkan hukuman ta’zir bagi koruptor, dapat berupa penjara, penyitaan harta, hingga hukuman mati apabila korupsi itu mengancam stabilitas dan ekonomi negara. Sanksi ini tidak hanya memberi efek jera tetapi juga menjadi pelindung bagi masyarakat agar tidak terus dirampok oleh para pemegang kekuasaan.
Inilah sistem yang mampu mengakhiri budaya korupsi secara struktural, kultural, dan spiritual—bukan sekadar menambal dengan regulasi atau lembaga yang mudah dilemahkan oleh kepentingan politik.
Wallahu a’lam bish shawab.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
