Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Revalina Helwin Hasvian

Komunikasi Veteriner: Bagaimana Dokter Hewan Berinteraksi dengan Pasien dan Pemiliknya

Pendidikan dan Literasi | 2025-11-19 12:38:02
Sumber : www.eleman.net/meslek_img/veteriner.jpg

Komunikasi dalam dunia veteriner seringkali dianggap sederhana, padahal kenyataannya justru merupakan salah satu aspek paling kompleks dalam praktik kesehatan hewan. Tidak seperti manusia, hewan tidak dapat mengutarakan bagian mana yang sakit, seberapa parah sakit itu, atau kapan gejala mulai muncul, sehingga dokter hewan harus menggali informasi melalui pemilik, pengamatan klinis, dan bahasa tubuh hewan itu sendiri. Selama melakukan field study di sebuah Rumah Sakit Hewan Pendidikan (RSHP) di Universitas Airlangga, saya menyadari bahwa seorang dokter hewan tidak hanya dituntut memiliki keterampilan medis, tetapi juga kemampuan komunikasi yang kuat, baik dengan pemilik hewan maupun hewan itu sendiri. Pentingnya komunikasi terlihat tidak hanya dalam interaksi dokter hewan dengan pemilik, tetapi juga dari bagaimana seluruh layanan veteriner dikelola. Hal ini sejalan dengan temuan Husnawati, Idawati, & Suryanto (2025) yang menyebutkan bahwa “kualitas pelayanan, kompetensi petugas, dan kepercayaan masyarakat memiliki pengaruh signifikan terhadap kepuasan dalam pelayanan kesehatan hewan,” sehingga komunikasi yang baik menjadi elemen penting dalam menjaga kepercayaan tersebut.

Dalam field study tersebut, saya didampingi oleh seorang mahasiswa koas yang menjelaskan alur kerja rumah sakit hewan dari luar pemeriksaan. Karena saya tidak diperbolehkan masuk ke area pemeriksaan demi menjaga sterilisasi ruangan, saya hanya mengamati dari jendela kaca dan koridor. Meskipun begitu, justru dari sudut pandang tersebut saya bisa melihat gambaran besar bagaimana komunikasi di klinik terjadi secara bersamaan: antara dokter dan pemilik, antara mahasiswa koas dan pasien, serta antara seluruh staf yang saling bekerja sama. RSHP ini terbagi menjadi beberapa ruang rawat inap berdasarkan kebutuhan hewan, misalnya ruang rawat inap kucing, ruang rawat inap anjing, ruang isolasi untuk penyakit menular, serta ruang khusus pasien pascaoperasi. Setiap koas dalam pengawasan dokter bertanggung jawab atas satu pasien yang harus dipantau secara rutin, mulai dari kondisi fisik, perilaku, nafsu makan, hingga catatan perkembangan harian. Pengaturan seperti ini tidak hanya mempermudah kontrol klinis, tetapi juga memastikan bahwa komunikasi antarpetugas berjalan terstruktur dan tidak menimbulkan miskomunikasi.

Dari berbagai hal yang dijelaskan mahasiswa koas, ada satu cerita yang menurut saya sangat berkesan dan menggambarkan betapa pentingnya komunikasi veteriner. Mahasiswa koas bercerita bahwa pernah ada pasien anjing yang membutuhkan rawat inap karena kondisinya melemah. Secara medis, rawat inap adalah langkah terbaik agar hewan dapat dipantau lebih intensif. Namun, masalah muncul ketika anjing tersebut menunjukkan tanda-tanda stres berat setelah dipisahkan dari pemiliknya. Menurut cerita mahasiswa koas, anjing itu terus gelisah di dalam ruangan dan tidak mau makan. Walaupun sudah diberi perawatan medis, kondisinya justru memburuk karena tekanan psikologis.

Namun, Ketika pemilik datang menjenguk, kondisi anjing tersebut berubah drastis, anjing itu menjadi lebih tenang. Dokter hewan yang menangani kasus tersebut kemudian menjelaskan kepada pemilik bahwa beberapa anjing memang sangat bergantung secara emosional pada pemiliknya. Mereka mudah mengalami separation anxiety, yaitu kecemasan berlebih ketika ditinggalkan. Dokter juga memberikan solusi dengan meminta pemilik untuk lebih sering datang, atau pada jam-jam tertentu menemani hewan selama pemulihan. Mahasiswa koas mengatakan bahwa setelah pendekatan tersebut dilakukan, kondisi anjing perlahan membaik dan respons medisnya pun meningkat. Pengalaman itu menjadi salah satu momen penting yang menunjukkan bahwa komunikasi bukan hanya antara dokter dan pemilik, tetapi juga bagaimana dokter memerhatikan kebutuhan emosional pasien. Hal ini sesuai dengan temuan Sari dkk. (2022) yang menjelaskan bahwa “komunikasi antara dokter hewan dan pemilik hewan sangat mempengaruhi penilaian klinis serta keputusan tindak lanjut perawatan.”

Mendengar cerita tersebut, saya semakin sadar bahwa peran dokter hewan jauh lebih kompleks daripada yang saya bayangkan. Mereka tidak hanya menyembuhkan hewan secara fisik, tetapi juga harus memahami aspek emosional yang memengaruhi proses penyembuhan. Mereka harus mampu memberi edukasi kepada pemilik secara jelas dan penuh empati, serta memastikan bahwa pemilik merasa dilibatkan dan dihargai dalam proses pengobatan. Di RSHP Universitas Airlangga ini, komunikasi terlihat berjalan sebagai aliran yang menyatu: dokter berbicara dengan pemilik, koas memantau kondisi pasien, staf memastikan kebersihan dan kenyamanan ruang rawat inap, lalu semua informasi dirangkai menjadi satu keputusan klinis.

Secara keseluruhan, pengalaman field study ini membuat saya memandang dunia veteriner dengan sudut pandang yang lebih luas. Komunikasi veteriner bukan sekadar percakapan, tetapi keterampilan profesional yang menentukan kualitas perawatan. Dengan komunikasi yang baik, dokter hewan dapat membangun kepercayaan dengan pemilik, menciptakan lingkungan yang aman bagi hewan, serta memastikan proses penyembuhan berjalan efektif. Di era modern seperti sekarang, komunikasi veteriner menjadi semakin penting karena pemilik hewan semakin sadar, kritis, dan ingin merasa terlibat dalam kesehatan hewan kesayangannya. Pada akhirnya, komunikasi yang efektif adalah jembatan yang menghubungkan ilmu medis, empati, dan kerja sama antara dokter hewan, pemilik, dan tentu saja hewan itu sendiri.

Referensi

Husnawati, H., Idawati, I., & Suryanto, S. (2025). Pengaruh Kualitas Pelayanan, Kompetensi Petugas dan Kepercayaan terhadap Kepuasan Masyarakat di Puskeswan Kota Palopo. Jurnal Triton, 16(1), 1–14. https://doi.org/10.47687/jt.v16i1.979

Sari, M., Wulandari, D., & Hidayat, F. (2022). Hubungan Komunikasi Dokter Hewan dengan Kepuasan Pemilik Hewan di Klinik Hewan Kota Bandung. Jurnal Kedokteran Hewan Nusantara, 4(1), 45–53.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image