Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image hafiz athallah

Target Pertumbuhan Indonesia 2026

Politik | 2025-11-17 19:37:01

Presiden Prabowo Subianto dalam pidato pengantar RAPBN 2026 menetapkan target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4 persen. Angka ini sekaligus menjadi sinyal optimisme pemerintah bahwa Indonesia masih berada pada jalur pertumbuhan di tengah-tengah global. Target tersebut tampak ambisius, meski tidak sepenuhnya mustahil. Namun, di balik optimisme, terdapat pertanyaan mendasar: apakah target ini benar-benar realistis tercapai, atau sekadar simbol politik untuk menjaga kepercayaan masyarakat dan investor? Tantangan Eksternal yang Menghimpit Kondisi ekonomi global saat ini menghadirkan berbagai risiko.

Harga komoditas utama—seperti minyak, batu bara, dan CPO—masih berfluktuasi, membuat ketergantungan Indonesia pada eksportir rentan terhadap guncangan. Ketegangan geopolitik antara Amerika Serikat dan Tiongkok juga berdampak pada rantai pasokan, sekaligus memperlambat perdagangan internasional. Selain itu, kebijakan moneter ketat di banyak negara maju membuat arus modal asing cenderung berhati-hati masuk ke pasar negara berkembang, termasuk Indonesia. Dalam situasi demikian, target pertumbuhan ekonomi 5,4 persen memerlukan strategi lebih dari sekadar pengelolaan anggaran rutin.

Konsumsi Domestik Sebagai Penopang Sejauh ini, konsumsi rumah tangga tetap menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Program unggulan pemerintah, seperti makan bergizi gratis (MBG) bagi pelajar, memang berpotensi menjaga daya beli sekaligus memperbaiki kualitas sumber daya manusia dalam jangka panjang. Namun implementasi program ini masih menimbulkan pertanyaan mengenai kesiapan anggaran, mekanisme distribusi, hingga dampaknya pada defisit fiskal. Tanpa tata kelola yang transparan dan akuntabel, program konsumsi jangka pendek justru berisiko menjadi beban anggaran dibandingkan pendorong pertumbuhan.

Di sisi lain, efek berintai (multiplier effect) dari konsumsi baru bisa terasa apabila dicapai dengan peningkatan produktivitas, terutama di sektor pertanian dan manufaktur. Investasi, Kunci yang Masih Rawan Pemerintah memperkirakan kebutuhan investasi baru mencapai Rp7.500 triliun (sekitar USD 465 miliar) pada tahun 2026. Jumlah tersebut tentu sangat besar, dan hanya mungkin tercapai apabila iklim investasi benar-benar diperbaiki. Reformasi regulasi, kepastian hukum, serta penyederhanaan birokrasi menjadi syarat mutlak untuk menarik investor. Selain itu, potensi Indonesia sebagai pusat energi hijau, hilirisasi mineral, serta digitalisasi ekonomi harus dikelola dengan konsisten. Tanpa keberanian mengambil langkah reformasi struktural, target investasi tersebut akan sulit terealisasi, dan pertumbuhan ekonomi berpotensi meleset.

Disiplin Fiskal, Penting Tapi Belum Cukup Komitmen pemerintah menjaga defisit anggaran pada kisaran 2,5 persen dari PDB patut diapresiasi. Disiplin fiskal memang penting untuk menjaga ketersediaan pasar dan memastikan beban utang tidak melonjak. Namun, defisit yang terkendali tidak serta merta menjamin pertumbuhan ekonomi lebih tinggi. Yang lebih menentukan adalah bagaimana belanja negara digunakan. Jika alokasi belanja lebih banyak terserap untuk program populis tanpa efek jangka panjang, pertumbuhan cenderung rapuh. Sebaliknya, bila diarahkan pada strategi infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan penelitian, defisit yang rendah bisa menjadi fondasi kokoh pertumbuhan jangka panjang.

Reformasi Struktural: Jalan Menuju Keberlanjutan Sejarah menunjukkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia seringkali bergantung pada konsumsi domestik dan ekspor komoditas. Pola ini rentan karena tidak menumbuhkan daya saing industri manufaktur, apalagi teknologi tinggi. Oleh karena itu, reformasi struktural tidak dapat ditunda lagi. Pemerintah perlu memperkuat sektor industri pengolahan agar tidak sekadar menjadi pengekspor bahan mentah. Hilirisasi nikel, misalnya, harus benar-benar diarahkan pada peningkatan nilai tambah, bukan sekadar memindahkan pemrosesan awal ke dalam negeri. Selain itu, digitalisasi ekonomi harus mencakup UMKM dan pedesaan, agar pertumbuhan tidak hanya terlihat di kota besar.

Reformasi pasar tenaga kerja juga penting. Produktivitas buruh Indonesia masih tertinggal dibanding negara tetangga. Tanpa peningkatan keahlian dan efisiensi, bonus demografi akan terbuang percuma. Antara Optimisme dan Realitas Optimisme memang diperlukan untuk menggerakkan roda perekonomian. Target 5,4 persen bisa menjadi penguat kepercayaan masyarakat dan investor, sekaligus mengirimkan pesan bahwa pemerintah serius menjaga momentum pertumbuhan. Namun, optimisme tanpa realisme bisa berbahaya. Apabila target terlalu ambisius tanpa disertai langkah konkret, kredibilitas pemerintah akan diungkap. Yang lebih penting bukan sekedar angka pertumbuhan, namun kualitas pertumbuhan: apakah mampu menekan ketimpangan, memperluas lapangan kerja, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image